SAMBIL menunggu jam penerbangan Yogyakarta– Jakarta,
tanpa disengaja saya berjumpa teman dan guru saya, KH Dr Agil Siraj, yang
pernah tinggal dan menuntut ilmu di Arab Saudi selama 13 tahun.
Saat berbincangbincang mengamati perkembangan dakwah
Islam di Indonesia belakangan, secara ringan dia mengungkapkan komentarnya yang
membuat saya terhenyak. ”Mestinya kita belajar dari Bung Hatta dan Kiai Hasyim
Asy’ari,”katanya. ”Apa maksud Ustaz?” tanya saya. Coba lihat, Bunga Hatta lama
tinggal di Eropa, tetapi tetap menjadi orang Indonesia.
Menjaga dan memperjuangkan
kepribadian Indonesia. Begitu pun Kiai Hasyim Asy’ari, kakeknya Gus Dur. Bertahun-tahun belajar
dan tinggal di Arab Saudi, tetapi tetap menjadi orang
Indonesia. Berpakaian dan berperilaku sebagai muslim Indonesia.Keduanya sangat
mencintai Indonesia. Berjuang dan berkorban demi kejayaan Indonesia. Sampai di
situ saya semakin dibuat merenung, ingin mendengarkan komentar lebih lanjut
dari teman asal Cirebon dan meraih doktor dari Universitas Ummul Qura ini.
Meski Bung Hatta lama di Barat,
mendalami ilmu dari Barat, tapi beliau berani berkonfrontasi dengan Barat
ketika kekuatan Barat merugikan bangsanya sendiri. Begitu pun Kiai Hasyim.
Dalam banyak hal yang sangat mendasar bahkan beliau mengkritik tradisi dan
pemikiran Islam yang tumbuh di Arab Saudi, yang dikenal literalistik dan kurang
menghargai tradisi.
Meski tampak sepele, ternyata
Ustaz Agil juga mengamati masuknya pengaruh pakaian Arab ke Indonesia. Kiai
Hasyim dan kiai-kiai lain yang lama belajar di Arab Saudi dan Timur Tengah
tidak mempromosikan pakaian gamis model Arab. Beliau hanya mengenakan pakaian
gamis sewaktu salat saja. Tetapi ketika ke luar rumah, semuanya berpakaian
Indonesia.
”Saya sendiri yang lama tinggal
di Arab Saudi kadang jadi heran, mengapa pakaian gamis model Arab semakin populer
di Indonesia, dipakai di mana-mana, bahkan untuk berdemonstrasi di jalanan dan
di lapangan Monas,” kata Ustaz Siraj dedengkot NU ini. Dalam hati saya
bertanya, apakah pendapat semacam ini hanya dimiliki Ustaz Agil Siraj ataukah
juga ulama ulama NU yang lain?
Apakah semakin meluasnya pakaian
model Arab menunjukkan naiknya semangat Islam Indonesia yang datang dari Arab?
”Ada orang Indonesia yang kebarat-baratan, ada pula yang kearab-araban. Mengapa
kita tidak bercermin dan belajar dari Bung Hatta dan Kiai Hasyim,” gugatnya
lagi. Para kiai saya dulu, lanjutnya, kalau mengajar membaca
Alquran pada santrinya sangat tegas dan keras. Kalau salah tajwidnya, yaitu cara benar membaca Alquran, beliau marah.
Bahkan ada yang sampai memukul
dengan lidi, sehingga para santri harus serius belajar karena takut kena marah
dan kena pukul. Tapi yang sangat mengagumkan, begitu bergaul dengan masyarakat
dan menyampaikan dakwah, para kiai dulu sangat lembut dan santun. Dengan sabar
mereka membimbing umat ke jalan yang benar dan tidak pernah menggunakan
kekerasan.
Tak ada teriak-teriak sambil
mengacung-acungkan pentungan. ”Mereka belajar dari cara dakwah Wali Songo yang
memang sangat cocok untuk masyarakat Indonesia,” lanjut Ustaz Agil. Karena
sikapnya yang bijak, sabar dan lembut itu, maka Islam menjadi agama yang
dipeluk mayoritas bangsa ini dan secara perlahan tradisi yang tidak sejalan
dengan ajaran Islam diluruskan, bukan dengan jalan kekerasan dan permusuhan.
Ketika asyik bincang-bincang, terdengar panggilan untuk naik pesawat.
Sepanjang perjalanan saya
renungkan kembali apa yang disampaikan Ustaz Agil, termasuk kritiknya yang
cukup tajam terhadap fenomena pesantren, kiai, dan politik. Menurutnya, dulu
para kiai dan pesantren sangat independen secara ekonomi dan politik sehingga
wibawanya disegani oleh pemerintah dan masyarakat. Pesantren dulu ibarat sumur,
orang berdatangan untuk menimba air, minta berkah, dan wejangan pada kiai,
termasuk para pejabat negara.
Bahkan ketika orangtua melahirkan
bayi, mereka datang untuk meminta nama bagi anaknya.Ketika sebuah keluarga akan
membagi harta waris, mereka minta fatwa pada kiai. Kiai dulu tidak pernah minta
bantuan ke pemerintah atau siapa pun. Sebaliknya, justru bantuan yang
berdatangan tanpa diminta dan diundang.
Sekarang suasana sudah berubah.
Sudah muncul kekuatan baru yang namanya negara dengan jaringan birokrasinya,
dari tingkat presiden sampai lurah, bahkan RT/RW. Sangat disayangkan,
pemerintah dan politisi ikut merusak kultur pesantren yang semula mandiri
menjadi kian melemah dan tergantung pada negara. Para politisi datang
menawarkan berbagai bantuan dengan imbalan agar mereka memberikan dukungan
politik setiap pemilu atau pemilihan kepala daerah.
Repotnya lagi, kalangan kiai dan
pesantren juga sulit menolak karena mereka memerlukan dana, baik untuk
pesantren maupun untuk diri dan keluarganya.Bahkan ada kiai yang senang
memintaminta bantuan kepada pejabat pemerintah. Mestinya, baik para politisi,
pemerintah, maupun dunia pesantren saling menjaga integritas dirinya,bukan
saling menjatuhkan dan menggerogoti wibawanya.
Kalau sudah saling menjatuhkan,
yang rugi adalah negara, umat, dan bangsa. Negara yang maju dan kuat adalah
negara yang masyarakatnya mandiri, dibentuk melalui pendidikan yang baik, dan
lapangan kerja yang tersedia. Masyarakat yang bodoh dan miskin pada akhirnya
akan menjadi beban negara,bahkan potensial menjadi musuh negara.
Bayangkan, bagaimana kita akan
memasuki kompetisi tingkat global kalau energi negara dan masyarakat habis
terkuras untuk berantem, bukannya saling mendukung untuk membangun bangsa.
Itulah yang pernah terjadi di Aceh dan di beberapa tempat lain. Aset dan energi
bangsa, baik berupa uang, sumber daya alam, budaya, agama maupun militer,
mestinya diarahkan untuk hal-hal produktif demi memajukan bangsa. Bangsa ini
tengah mengalami situasi mismanagementalias salah urus.
Para politisi lebih sibuk
mengurus dirinya katimbang rakyatnya. Dua tokoh yang dikemukakan Ustaz
Agil, yaitu sosok Kiai Hasyim Asy’ari dan Bung Hatta, adalah dua figur bapak
bangsa yang pantas dan bahkan harus diteladani. Bertemu dalam keduanya
kedalaman dan keluasan ilmu, integritas yang kokoh, patriotisme tinggi, dan
sangat santun dalam berpolitik.
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar