JANGAN
membayangkan hidup tanpa problem. Bahkan sejak keluarga Nabi Adam pun
percekcokan dan tragedi berdarah antarmanusia sudah dimulai.
Kabil dan Habil bertikai
memperebutkan pasangan hidup mereka—yang berakhir dengan pembunuhan.
Kecemburuan dan kekerasan seakan melekat pada diri manusia. Hanya mereka yang
sadar, lalu berhasil menahan dan mendidik dirinya, akan mampu memperkecil
tindakan destruktif bagi diri dan orang lain. Di balik ingar-bingar panggung
politik,ekonomi dan sosial yang disajikan media massa saat ini, sesungguhnya
ada tekanan, penindasan dan teror bagi mental anakanak kita.
Belum lagi beban ujian nasional dan
sekian macam ujian lain. Kalau saja anak-anak kita memperoleh pendampingan dan
pendidikan yang bagus, mereka akan tumbuh menjadi anak yang kuat, cerdas,dan
berwawasan luas ketimbang anak-anak zaman dulu. Perhatikan saja dunia anakanak
kita, terutama yang tinggal di kota besar. Mereka tidak memiliki fasilitas
untuk tumbuh dan bergaul dalam suasana yang edukatif.Di rumah, mereka setiap hari
disuguhi acara televisi yang tidak mendidik.
Berbagai berita korupsi yang
dilakukan para pejabat tinggi yang juga berpendidikan tinggi akan membuat
mereka tidak percaya bahwa sekolah tinggi itu bisa membuat seseorang sebagai
panutan hidup. Kehidupan artis yang serbaglamor dan menjadi bahan gosip tiap
hari juga memperlemah etos belajar dan kerja keras sebagai seorang ilmuwan bagi
anak-anak kita.
Belum lagi suasana dan pengalaman
perjalanan ke sekolah yang tidak aman dan tidak nyaman serta iklim belajar yang
hanya semata mengejar nilai ujian nasional. Hidup anak-anak menjadi linier, miskin
imajinasi dan kreasi budaya. Sekolah lalu menjadi sebuah perjalanan panjang dan
melelahkan, namun tidak memberi jaminan masa depannya.Uang menjadi daya tarik
paling kuat, meski harus mengorbankan integritas.
Ruang untuk pengembangan bakat
anakanak sangat sempit, sehingga hidup tidak warna-warni dan menyenangkan
layaknya sebuah festival. Padahal, ciri dan kekayaan bangsa ini adalah
pluralitas budayanya, tapi pendidikan olahraga dan budaya justru telantar di
negeri ini. Situasi sosial anak-anak kita di perkotaan tentu berbeda dari
mereka yang lahir dan tumbuh di desa. Saya masih ingat, ketika di desa dulu, praktis
yang mendidik anakanak adalah warga desa dengan pola hidup yang relatif
terkontrol.
Ada ritme kehidupan anak-anak yang
menjadi kurikulum aktivitas sehari-hari. Saya masih ingat, kalau pagi jam
sekolah tapi tidak masuk karena membolos,ada rasa malu kalau keluyuran di
jalan.Famili dan tetangga dekat akan menegur, mengapa tidak masuk sekolah?
Kemudian, kalau sore adalah jam bermain dengan permainan tradisional yang
sekarang semakin langka, bahkan hilang.
Dalam istilah psikologi, permainan
anak-anak zaman dulu itu akan mendorong kecerdasan emosional karena selalu
bersifat sosial, bukannya asyik di depan komputer sendirian. Juga menumbuhkan
kreativitas dan imajinasi ketika mengerjakan tugas sekolah berupa kerajinan
tangan seperti membuat mobil-mobilan atau rumah-rumahan dari kulit jeruk dan
kardus.
Tapi, lagi-lagi, sekarang anak-anak
di kota tidak lagi mengalami pendidikan seperti itu. Berbagai macam permainan
sudah tersedia di toko, sehingga menggeser wilayah imajinasi anak untuk
mencipta. Hal yang membuat saya sangat berterima kasih pada lingkungan
pendidikan di desa adalah menjadikan masjid sebagai pusat permainan anak-anak.
Orang tua tidak perlu menyuruh belajar mengaji, anak-anak desa waktu itu pasti
akan belajar ramai-ramai bersama temannya di masjid.
Mereka berlomba membaca dengan
benar dan berlomba menghafal surat-surat pendek Alquran. Kenangan itu begitu
indah dan mendalam, sehingga masjid bagi kami adalah rumah kedua. Tenggang rasa
dengan teman terpupuk dalam kehidupan di desa, sampai-sampai kalau ada teman
memakai baju baru agak canggung karena akan disindir sebagai mendahului
Lebaran.
Kenangan dan tradisi indah yang
hilang adalah ketika pak guru atau bu guru datang, kami sudah berbaris di depan
pintu sekolah untuk hormat dan mengucapkan selamat pagi, lalu berebut menuntun
sepedanya untuk disandarkan di tempatnya. Bahkan masingmasing murid juga
mendapat tugas menyapu dan membersihkan kelas sebagai pendidikan tanggung
jawab. Demikianlah, masih banyak unsur pendidikan anak-anak di desa yang sangat
positif dan sekarang semakin hilang.
Tentu saja anakanak sekarang memiliki
kelebihan untuk mengakses berbagai informasi pengetahuan dengan tersedianya
sarana televisi, komputer, dan internet, suatu hal yang tidak dimiliki
anak-anak di desa. Tapi dalam hal pendidikan karakter dan pertumbuhan
jiwa,anak-anak yang tumbuh di desa lebih sehat; sementara yang tumbuh di kota
terlalu berat menghadapi beban dan tantangan.Kalau pemerintah, guru, dan orang
tua tidak bijak membuat kebijakan dan pendampingan, sungguh kasihan mereka itu.
Mereka menjalani masa
kanak-kanaknya tidak lagi ceria. Setiap mau ujian dibayangi stres. Mau
berangkat sekolah selalu macet. Belum lagi kalau terjadi tawuran atau di-palak.
Lebih stres lagi kalau orang tuanya tidak rukun. Padahal merekalah calon
penerus bangsa ini.Jangan sampai nasib bangsa ini diurus oleh generasi yang
tumbuh dengan salah asuh dan salah urus proses pendidikannya.(*)
0 komentar:
Posting Komentar