M. Amin Abdullah
Perbedaan
antara agama-agama Timur (Buddhisme, Hinduisme, Konfusionisme) dan agama-agama
Barat (Abrahamic religions = Yahudi, Kristen, Islam) terletak pada kekuatan
teks atau wahyu. Bagi Yahudi ortodok, Kristen Protestan, dan Islam, sikap
mereka yang bersandar pada kitab suci lebih menonjol daripada yang lain. Ini
bukan berarti Katolik dan Yahudi non-ortodoks tidak bersandar pada kitab suci,
tetapi secara umum, agama-agama besar dunia selalu bersandar pada kitab suci.
Hajnya saja, tingkat kekentalan dan rigiditasnya saja yang berbeda-beda. Dari
perspektif antropologi, fenomena wahyu, kitab suci, teks atau nash merupakan
pertanda bahwa budaya manusia saat itu memang telah memasuki tahapan melek
huruf (literate people), bukan lagi non-literate people (buta aksara). Budaya
manusia sebenarnya memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menciptakan
simbol-simbol huruf atau aksara sebagai alat komunikasi. Sebelumnya, mereka
cuma berkomunikasi secara “oral” atau ”lisan”. Untuk sampai ke tahapan oral
pun, umat manusia butuh waktu yang cukup panjang juga. Belum lagi perpindahan
dari “oral” ke “tulis”. Diperlukan waktu cukup panjang pula untuk mengubah
budaya “lisan” ke budaya “tulis”. Tahapan ketika manusia memasuki budaya tulis
itulah apa yang disebut dengan kitab suci yang menggunakan “huruf-huruf” sebagai
alat komunikasi penyampaian ide-ide, pokok-pokok pikiran dan keyakinan atau
keimanan tampil ke permukaan sejarah.
Umat
beragama -apapun agamanya- biasanya melupakan proses sejarah yang amat panjang
ini demi kebutuhan praktis keagamaan. Ketika budaya tulis-menulis muncul
kepermukaan, maka secara otomatis terjadi perubahan cara berpikir, berinteraksi
dan berkomunikasi. Fleksibilitas dalam budaya lisan berubah menjadi rigiditas
dalam budaya tulis. Dalam budaya tulis, sebenarnya terjadi proses panjang dan
rumit yang melibatkan antara lain proses pengumpulan informasi, baik secara
hafalan atau dengan cara lain, penyimpanan, penyusunan redaksi, penyuntingan,
dan pelepasan informasi-informasi penting secara selektif.
Umumnya,
umat beragama menganggap semua ini tidak ada. Mengapa? Bukan semata-mata
ditutupi oleh keyakinan bahwa kitab suci adalah wahyu yang secara verbatim
turun dari Allah, tetapi juga karena desakan kebutuhan praktis. Yang diperlukan
oleh umat beragama, lebih-lebih oleh para elit yang mempunyai kepentingan
ideologis serta orang-orang yang disibukan oleh profesi yang ditekuni
sehari-hari (division of labour) adalah memperoleh “pedoman praktis” yang dapat
diperoleh dengan cepat, yang siap saji dan siap pakai, secara instant tanpa
harus berpikir mencari akar sejarah (asbab al-nuzul) dari rangkaian ayat-ayat
kitab suci.
Istilah
“siap saji” dan “siap pakai” menunjukkan adanya psikologi ketergesa-gesaan,
keterburu-buruan, ketidaksabaran, pencarian jalan pintas, dan penghematan waktu
di dalam memahami kitab suci. Begitu pembaca menatap dan membaca huruf-huruf
atau kalimat-kalimat yang tertera dalam kitab suci, lebih-lebih jika apa yang
dibaca itu sesuai dengan cita-cita sosial-politik dan kecenderungan subjektif
diri sendiri tanpa harus berpikir panjang atau angen-angen maknane (memahami
esensi, substansi dan arti terdalam dari untaian kalimat yang dibaca beserta
konteks yang menyertainya), pembaca atay penafsir teks tersebut berharap bahan
yang dibaca tersebut langsung dapat dijadikan norma kehidupan, membimbing
kehidupan membentuk sikap, mempola perilaku, dan bahkan mewarnai tindakan
sosial.
Norma-norma
kehidupan seringkali juga terbentuk dari hasil ketergesa-gesaan, pemahaman
terburu-buru. Namun, karena desakan kebutuhan praktis, maka para pembaca
kemudian cepat-cepat dikodifikasikan dan menjadikannya sebagai pedoman serta
melestarikannya. Beberapa saat sesudahnya, -bisa jadi dalam kurun waktu
tertentu: satu abad atau beberapa abad kemudian, muncul para pembaharu (Reform
Movement) yang mempertanyakan ulang relevansi norma-norma yang selama ini
berlaku dan dianggap baku oleh masyarakat.
a. Pemahaman Literal-Skriptural dan Sikap Eksklusif-Apologetik
Pemahaman
tekstual-skriptural terhadap kitab suci merupakan suatu jenis pemahaman kitab
suci yang paling mudah diperoleh. Dalam Ulum al-Qur’an (studi ilmu Alquran)
dikenal istilah munasabah al-ayat. Istilah ini mengindikasikan bahwa pemahaman
tekstual-literal-skriptural terhadap potongan ayat atau hadis tidak begitu
bagus, karena ayat tersebut belum sempat diperbandingkan dengan ayat-ayat lain
supaya memperoleh pemahaman yang lebih utuh. Pemahaman tekstual-skriptural
adalah jenis pemahaman kitab suci yang dangkal, karena tidak ada upaya
memperbandingkan secara mendalam – lebih-lebih secara kontekstual yang membutuhkan
analisis histories dan psikologis –antara satu ayat dengan ayat-ayat lain yang
mungkin memberi pemahaman dan pengertian yang berbeda atau justru berseberangan
– untuk tidak menyebutnya bertentangan.
Istilah-istilah
atau kosa kata dalam kitab suci al-Qura’an atau Hadis nabi, biasanya dipahami
secara sepihak oleh berbagai pemangku kelompok kepentingan sosial, politik,
ekonomi, sosial. Antara lain dapat diambil contoh, seperti Jahiliyyah
(Jahiliyyah al-asr al-hadits), Khalifah (dipopulerkan dengan sistem
pemerintahan khilafah), Kufr (menjadi gerakan al-takfir wa al-hijrah), wadhribu
hunna wahjuru hunna (gender equity), dan begitu seterusnya.
Pemahaman
skriptural-tekstual ini mudah sekali membentuk sikap sosial yang bersifat
apologetik dan eksklusif. Dalam percaturan dan pergumulan dunia sosial adalah
wajar jika ada kelompok lain yang tidak sepakat dengan pandangan kita,
mengkritik, tidak menyetujui, memberikan catatan-catatan kritis terhadap pola
hidup, pandangan hidup, keyakinan, serta tindakan yang kita anggap secara
sepihak paling benar. Ketika ada orang atau kelompok lain, lebih-lebih jika
orang atau kelompok tersebut merupakan pengikut agama lain, yang melontarkan
kritik atau menyatakan ketidaksetujuan mereka, maka instink sosial kita secara spontan
akan menolak, paling tidak ingin mempertahankan diri, memegang teguh ide,
keyakinan dan pendapat kita tanpa harus diteliti secara cermat dan diuji
terlebih dahulu. Seringkali, ketika argumen dan posisi kita sedang lemah dan
sedikit terdesak, kita pun memerlukan backing dari kitab suci yang kita pahami
secara instant, siap saji dan siap pakai, supaya posisi dan argumen kita lebih
legitimate dan berwibawa (charismatic).
Dalam
kehidupan sosial keagamaan, jika seseorang dan lebih-lebih kelompok telah terpaku
kuat pada pemahaman kitab suci secara literal-skriptural, maka tiga kata kunci
sosial mendadak hilang yaitu “kompromi”, “konsensus” dan “negosiasi” hilang,
lebih-lebih kosa kata “kritik” (al-Naqd), In uridu illa al-Islah tenggelam
dalam pelukan hegemoni kekuasaan tafsir kepentingan individu, kelompok (partai,
agama, suku, ras, organisasi keagamaan). Kompromi dan konsensus adalah kata
kunci penting bagi masyarakat yang hidup di era kemajemukan, multirelijius dan
multikultural. Oleh karena desakan kebutuhan untuk memperteguh identitas diri
dan kelompok, pemahaman keagamaan yang bersifat skriptural-literal yang mudah
dan cepat dapat dipegangi, maka dua kata kunci sosiologis secara mudah
diplesetkan arti dan maknanya menjadi “kemunafikan”, ketidakkonsistenan,
kelemahan iman dan pada puncaknya “kekafiran”. Betapa bedanya pandangan
teologis dan pandangan sosiologis dalam hal ini. Sudah barang tentu, model
pendekatan teologis yang bercorak literal-skriptural dapat membantu
mengantarkan pada posisi penguatan, penegasan dan pengukuhan identitas diri dan
kelompok secara umat, tetapi pada saat yang sama pemahaman tersebut juga
mengindikasikan betapa “miskin” dan “rapuh”nya corak pemahaman seperti itu
terhadap keberadaan orang lain (the others). Posisi dan pemahaman seperti itu
tidak hanya terbatas pada golongan umat beragama tetapi juga pada
kelompok-kelompok lain yang non-agama. Boleh dibilang bahwa konsekwensi yang
tak diharapkan dari corak pemahaman literal-skriptural terhadap kitab suci
adalah lemahnya pandangan seorang dan kelompok agamawan terhadap keberadaan
kelompok lain diluar diri dan kelompoknya. Jangankan memikirkan proexistence
dengan orang kelompok lain, pada tingkat coexistence saja amat sulit diperoleh.
Benih-benih,
akar-akar, tahapan sangat awal dan bentuk paling dini munculnya “violence” atau
tindak kekerasan bermotifkan agama adalah dari pemahaman keagamaan yang
bercorak literal-skriptural, dan sikap sosial yang bersifat eksklusif dan
apologetik. Tidak salah jika “Ilmu Kalam” dalam studi ulumu al-diin yang masih
diteruskan hingga sekarang memang didefinisikan sebagai bangunan ilmu
pengetahuan tentang ketuhanan Islam yang dimaksudkan untuk “menolak argument
sistem kepercayaan yang dianut orang lain.”
Sampai
di sini
tidak ada masalah sesungguhnya. Kitapun maklum bahwa peneguhan dan penegasan
indentitas diri, dan lebih-lebih identitas kelompok lebih lagi identitas
kelompok keagamaan memang harus dibangun diatas fondasi yang kokoh, tak
tergoyahkan dengan cara apapun. Kalau perlu dengan segala cara yang dianggap
wajar dan masih dalam batas-batas dapat dipertanggungjawabkan secara sosial.
Semua entitas sosial, lebih-lebih entitas agama akan melakukan defence
mechanism jika identitas diri dan kelompoknya terusik dan terganggu oleh
kritikan apalagi serangan dari kelompok lain. Jika tidak begitu maka hakekat
jati diri dan kelompok akan luntur.
Berikutnya
akan diulas kapan tahapan yang dianggap wajar ini kemudian berkembang dan
berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi wajar, tidak nyaman dan mengarah kearah
yang lebih destruktif-membahayakan kehidupan bersama umat manusia.
b. Ketidakpercayaan Sesama Anggota Kelompok Masyarakat (Mutual
distrust).
Perasaan
tidak senang, tidak setuju, tidak sepakat adalah wajar. Setiap individu dan
kelompok selalu mempunyai watak atau sifat dasar seperti itu. Namun perasaan
tersebut bisa bertambah menjadi-jadi, bertambah kuat dan berkembang luas jika
dibarengi ramuan sikap-sikap sosial dan beban-beban sejarah masa lalu yang
biasanya tidak mudah dilupakan karena terdokumentasikan dengan baik, baik dalam
ingatan kolektif maupun buku-buku literatur dan film-film dokumenter.
Beban
sejarah masa lalu seperti penjajahan (kekuasaan Ottoman Empire [Dinasti Turki
Utsmani] di sebagian wilayah Eropa pada masa lalu atau penjajahan Belanda atas
Indonesia), perebutan wilayah dan sumber ekonomi (wilayah Quebec, Canada,
sebagai wilayah yang diperebutan antara Inggris dan Perancis di Amerika Utara),
tindakan pengusiran dari tanah air (Palestina), eks-komunikasi atau pengucilan
(pengasingan Presiden dan Wakil Presiden Pertama RI, Soekarno dan M. Hatta ke
Digul, penahanan Sanana Gusmao di Jakarta, atau kasusu Nelson Mandela di Afrika
Selatan), keinginan untuk melakukan balas dendam terhadap peristiwa masa lalu
yang tidak mengenakkan (perang salib dan jihad), pendudukan wilayah (peristiwa
Timor-Timur atau aneksasi Kuwait oleh Irak), sengketa wilayah (perebutan
wilayah Kashmir antara India dengan Pakistan atau sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan dan Ambalat antara Malaysia dengan Indonesia), dan sebagainya.
Beban-beban sejarah masa lalu ini akan memperbesar, memperkuat, mempertajam dan
memperuncing hubungan antar kelompok sepanjang masa – untuk tidak menyebut
selamanya. Hubungan sosial tidak sehat antara dua atau tiga pihak yang
berselisih akan memunculkan tuduhan-tuduhan liar yang sulit dikendalikan.
Kelompok yang satu dianggap sebagai “mata-mata” atau bahkan musuh oleh kelompok
yang lain, hanya semata-mata karena berbeda pendapat. Kaum intelektual yang
progressif dianggap agen CIA (Fazlur Rahman di Pakistan; tokoh pejuang hak-hak
wilayah dan kultural, atau peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh
Kompeni Belanda); karya ilmiah dianggap sebagai alat untuk menggoncang akidah
umat (Nasr Hamid Abu Zaid di Mesir) , perbedaan epistemologi pemahaman
keagamaan (kasus al-Hallaj pada era Islam klasik atau Syaikh Siti Jenar di
lingkungan budaya Jawa); perebutan pengaruh dalam percaturan politik-ekonomi di
dalam negeri (Mahatir Muhammad versus Anwar Ibrahim di Malaysia); penghinaan
terhadap martabat dan nama baik agama, negara, atau rezim (Fatwa Imam Khomaini,
pimpinan tertinggi Iran 1979-1989, atas Salman Rushdie), fatwa MUI tahun 2005
tentang sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) bagi gerakan
intelektual dan sosial keagamaan yang kritis terhadap perilaku sosial politik
keagamaan ditanah air dan begitu seterusnya. Dalam literatur agama Islam baik
yang diambil dari kitab suci maupun kitab-kitab ilmu kalam, dapat dijumpai
banyak kosa kata yang sesungguhnya tidak hanya dapat dipahami secara teologis,
namun juga secara sosiologis politis, seperti kata-kata ”kafir”, ”murtad”,
”munafiq”, ”inkar” (mungkir al-sunnah), ”mujrim”, ”bughat” dan sebagainya.
Sikap-sikap
seperti ini, yang ujung-ujungnya tidak menyetujui dan tidak mengakui keberadaan
serta hak-hak orang atau kelompok lain, jika memuncak dan menumpuk akan
membentuk serta memupuk sikap-sikap tidak toleran (intolerance), kebencian
(hatred), kemarahan (anger), ancaman (threat), dan tindakan diskriminatif. Pada
gilirannya, akan tumbuh penyakit hati yang disebut buruk sangka (prejudice atau
su’udzan) pada orang lain dan kelompok lain yang tidak seide, sepaham,
seaqidah, seiman, sesekte, separtai atau seorganisasi. Pada puncaknya, ketika
semua prasayarat telah terpenuhi, maka akan muncul ketidakpercayaan antar
sesama individu, sesama anggota keluarga, sesama kelompok atau antar kelompok
(mutual distrust).
Ketika
hendak menyiapkan tulisan ini, penulis ingin mengecek Encyclopaedia of Religion
terlebih dahulu. Saya yakin bahwa di dalam literature semacam itu, khususnya
yang terbit setelah tahun 1990, seharusnya telah mencantumkan entry “violence”
dalam kosa kata bahasa agama. Jika tidak, penulis menganggap ensiklopedia
tersebut tidak mengikuti perkembangan sejarah agama-agama era modern. Ternyata
benar dugaan penulis. The Oxford Dictionary of World Religions, misalnya,
menguraikan violence dalam agama sebagai berikut:
Violence:
An aspect of human behaviour often bound up with emotion (especially anger),
which religions cannot ignore-and often express. Opinion is divided as to as
where violence should be located along the nature – nurture spectrum. Those
favouring natural processs or psychodynamics theory hold that religious activities
reduce violence if they function cathartically, but increase violence if they
result in frustation. Those favouring cultural processes, hold that religious
function as learning systems. It is pointed out that apparently non-aggressive
societies are informed by religions which function to instil peace by
presenting the adverse consequences of violence. Aggressive peoples, on the
other hand often live with aggressive religious ideologies.
Ada
tiga kata kunci yang tersirat disitu: pertama, Agama sama sekali tidak bisa
meninggalkan- untuk tidak menyebutnya lengket dengan ”emosi”, sedangkan ”emosi”
merupakan cikal bakal agresivitas yang mudah berbelok arah kepada tindak
kekerasan.
Kedua,
aktifitas dan kegiatan keagamaan dapat mengurangi tindak kekerasan, jika ia
berfungsi dengan baik sebagai alat peredam (katarsis). Tetapi sebaliknya,
aktivitas keagamaan bisa menjelma menjadi daya dorong yang hebat dan memicu
kekerasan, jika ia justru menimbulkan perasaan frustasi dan tidak puas bagi
para pemeluknya.
Ketiga,
masyarakat beragama yang tidak agresif biasanya dikondisikan oleh corak dan
model pendidikan agama (learning system) yang ditawarkan oleh para pimpinan
agama, masyarakat, atau kelompok agama yang santun secara sosial. Para guru dan
pemimpinnya memang selalu mempromosikan dan menyemaikan nilai-nilai perdamaian
pada umatnya, sedangkan masyarakat beragama yang agresif biasanya memang
dibentuk oleh corak pemahaman keagamaan para elit pemimpinnya (guru, mentor,
dosen, kiai, pastur, romo, pendeta, tokoh agama) yang berubah dan menjelma
menjadi ”ideologi” pembela kepentingan tertentu.
Pimpinan
elit agama termasuk didalamnya guru, orang tua, dosen, kyai, da’i, ustadz,
pimpinan gerakan mahasiswa, pimpinan organisasi sosial keagamaan, dan pimpinan
politik yang berbasis agama, pimpinan usrah, halaqah, tarbiyah dan sejenisnya
ternyata memegang kunci penting kemana layar akan berkembang, dan kemana biduk
doktrin agama akan dibawa. Ke arah konsensus dan kompromi yang mengarah ke
kesejukan dan perdamaian, atau ke arah pertentangan, mutual distrust, konflik
dan kekerasan. Pada dasarnya agama bersikap mendua (ambivalent) bisa sejuk,
bisa juga beringas; bisa lunak, bisa keras; bisa damai, bisa juga perang.
Karena sifatnya yang mendua, lalu para elit pimpinan agama perlu ekstra
hati-hati dan benar-benar waspada. Tingkah laku, akhlak sosial-politik, solah
bowo, muna-muni (bahasa Jawa), dan fatwa-fatwa keagamaan , yang dikeluarkan
oleh pemimpin agama akan sangat membentuk corak perilaku agresif atau
non-agresif dari umatnya. Termasuk yang perlu diwaspadai adalah bagaimana corak
pendidikan agama yang diberikan sejak dari pilihan materi, metode, sampai
teknik pengajaran di sekolah-sekolah umum, pesantren, sekolah-sekolah agama,
perguruan tinggi, gerakan mahasiswa, kursus-kursus ”kilat” keagamaan, model
penjaringan anggota baru lewat gerakan dan pemahaman keagamaan, majelis-majelis
taklim, arena serta tempat-tempat kebaktian, rapat-rapat, dan pidato-pidato
keagamaan yang bersifat agitatif di tempat-tempat umum, seperti di lapangan terbuka,
masjid, pura, gereja dan begitu seterusnya.
c. Penyebaran Merata Rasa Ketidakadilan Sosial-Ekonomi dan Sosial
Politik
Tidak
fair menjadikan agama sebagai kambing hitam jika terjadi kekerasan dalam
masyarakat. Benih-benih kekerasan yang telah ada secara intrinsik dalam agama
tidak bisa serta merta tumbuh subur dan tersebar luas jika tidak ada faktor di
luar agama yang ikut berperan. Faktor di luar entitas agama yang bisa
membonceng adalah situasi riil politik, ekonomi, dan sosial. Gerakan ”fundamentalisme”
agama yang biasa disebut-sebut belakangan adalah masuk dalam wilayah ini. Karen
Amstrong menyebut gerakan fundamentalisme agama sebagai ”highly political
spirituality” (Keberagamaan yang sangat berbobot politik kekuasaan)
Masalah
ketidaksetaraan (inequality) atau kesenjangan yang sangat mencolok antara the
have dan the have not sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat luas .
Negara-negara kapitalis menjadi digdaya, karena ditopang dengan kekuatan ilmu
pengetahuan, baik secara teoretis maupun terapan, serta digerakkan dengan mesin
globalisasi ekonomi dan perdagangan melalui multinasional, program WTO, dan
AFTA. Sedangkan yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan tersebut menjadi negara
miskin. Jika perubahan era postmodernitas berjalan secara liar- yang kalaupun
diatur hanya akan memihak kepada negara-negara adi kuasa, maka proses ini akan
menimbulkan keresahan sosial yang bersifat massif. Menumpuknya hutang
negara-negara dunia ketiga sejak di Amerika Latin, Afrika dan Asia, yang
disebabkan kesalahan manajemen di dalam negeri- apalagi kalau dibarengi dengan
persekongkolan dan penyuapan antara pemberi hutang dan penerimanya- tanpa ada
penyelesaian yang jelas, maka hal ini akan menambah tumpukan rasa frustasi
banyak anggota masyarakat dunia ketiga.
Ketidakadilan
global berakibat pada ketidakadilan lokal. Ketidakadilan lokal ikut memicu
berkobarnya rasa iri, dengki, tidak puas, frustasi anggota masyarakat. Tindak
KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di berbagai tempat, perselingkuhan birokrasi
pemerintah dengan pengusaha dan partai politik menjadikan rakyat tidak berdaya
dan tidak mempunyai akses yang setara ke sentral-sentral ekonomi, pusat-pusat
kekuasaan politik, dan pendidikan; hukum dan sosial. Lambannya penegakan hukum
terhadap pelaku tindak korupsi semakin mendorong warga untuk frustasi. Singkat
kata, lemahnya kinerja pemerintah dari pusat sampai daerah dalam melayani
kebutuhan dan rasa keadilan rakyat menambah akumulasi rasa ketidakpuasan
masyarakat luas.
Ketidakadilan
yang disebabkan oleh struktur (politik, ekonomi, sosial, agama), dan menjadi
tanggungjawab pemerintah terekspresikan dalam wilayah pelayanan sosial, seperti
kesehatan, sandang pangan, pendidikan, penerangan, transportasi, air bersih,
komunikasi, hukum. Ini menjadi tolak ukur kesungguhan dan kepedulian struktural
pemimpin politik (DPR, MPR, Pemerintah) terhadap rakyat. Rezim pemerintah paska
kemerdekaan, yang dianggap ”sekuler”, dicap gagal dalam menaikkan taraf
kehidupan rakyat kecil pada umumnya. Sebagian kelompok agama ingin kembali ke
sistem pemerintahan ”khilafah” (baca: bukan demokrasi) ang dianggap akan dapat
mengatasi kesulitan-kesulitan ini.
Pemerintahan
yang stabil biasanya tercermin dan terukur lewat layanan sosial yang diberikan.
Pergantian regim lewat pemilikan umum tidak jadi soal jika layanan sosial dari
semula memang sudah prima. Layanan sosial perlu menjadi primadona sebuah rezim
pemerintahan. Kebutuhan masyarakat yang tercukupi akan menopang stabilitas
pemerintahan. Begitu pula sebaliknya, mutu pelayanan sosial yang rendah akan
melemahkan roda pemerintahan. Dan lemahnya roda birokrasi pemerintahan
melemahkan wibawa dan otoritas negara untuk melanjutkan kepemimpinan yang
diinginkan oleh rakyat.
Tidak
terpenuhinya rasa keadilan secara struktural dalam masyarakat sangat rawan bagi
stabilitas pemerintahan. Intrik-intrik, manipulasi konspirasi, oligarki,
gerakan bawah tanah, clandestine activities, dan persekongkolan untuk
menjatuhkan pemerintah yang sah mulai dihembus-hembuskan oleh lawan-lawan
politik . Lawan-lawan politik tersebut dapat dengan mudah menjual ide-ide
mereka, jika memang situasi riil politik memungkinkan. Perlawanan ideologis
dari kelompok-kelompok pesaing pemerintah yang inilah yang akan menjelma
menjadi cikal bakal kekerasan yang bersifat terbuka. Gerakan fundamentalise
keagamaan hidup subur dalam situasi melemahnya birokrasi kepemerintahan dalam
melayani hajat masyarakat banyak –yang belakangan- untuk konteks Islam- disebut
Islamism.
Pada
era demokrasi dan transparansi, kekerasan struktural bisa bermula dari rezim
yang sedang memerintah, pergumulan ideologis antara eksekutif dan legislatif
dalam merancang dan memberlakukan kebijakan ekonomi negara (tarif listrik, BBM,
telepon, harga-harga bahan pokok), pergumulan antara pemerintah dan
lembaga-lembaga non-pemerintah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan
kelompok-kelompok kepentingan yang lain seperti partai politik, kelompok
militer, birokrasi, ulama, barisan sakit hati, dan begitu seterusnya.
Perkawinan
dan percampuran antara ketiga faktor sebagaimana terurai di atas, yaitu
pemahaman yang sempit terhadap teks-teks kitab suci, perasaan tidak aman secara
socio-psikologis dan ketidakadilan ekonomi global – lebih-lebih ketidakadilan
lokal, menciptakan situasi yang sangat rumit, dan kompleks, Keadaan tersebut
lebih rumit dibandingkan dengan situasi pada abad pertengahan, lantaran
canggihnya ilmu dan teknologi dan media komunikasi publik yang dimiliki oleh
generasi umat manusia sekarang ini. Jika ini dianggap sebagai gejala penyakit,
maka cara penyelesaiannya pun harus berbeda dari cara-cara yang dahulu pernah
dipakai oleh peradaban umat manusia di masa lalu. Ibarat penyakit kanker yang
kronis, pertemuan antara ketiga faktor ini belum ada obat penyembuhnya.
Sampai
di sini,
sebenarnya juga tidak ada masalah. Kekerasan yang sifatnya keluar terbuka belum
muncul ke permukaan, meskipun kekerasan yang sifatnya ke dalam sudah hampir
merata dirasakan banyak orang, khususnya para elit. Timbul ketidakpastian,
kegelisahan, dan kekalutan yang campur aduk dalam benak beberapa orang,
khususnya para elit yang ingin memperbaiki keadaaan yang dianggap tidak nyaman
dan mengusik rasa keadilan. Biasanya, perasaan tersebut diekspresikan lewat
demokrasi unjuk rasa dengan berbagai variasi dan aksi pendahuluan, seperti
surat kaleng, diskusi ahli, protes, permohonan ancaman, boikot, walk out,
tulisan artikel dimedia massa, konferensi pers, debat publik, penyebaran
selebaran, pamplet, dan begitu seterusnya.
Selagi
pemerintah tetap membuka diri untuk berkomunikasai dan berdialog dengan semua
kalangan, semua cara untuk menyampaikan akumulasi aspirasi tersebut masih
wajar-wajar saja. Lebih-lebih jika pemerintah mau mencari solusi yang dianggap
tepat oleh para penyampai aspirasi. Namun, hukum sosial tidak berjalan linear
seperti itu. Diluar yang ”resmi”, masih banyak cara dan jalur ”tidak resmi”,
yang seringkali berdampak lebih fatal daripada jalur-jalur
konstitusional-formal tersebut. Poin berikut akan diuraikan apa yang diebut
”pemicu” (trigger) yang membuat keadaan menjadi tidak terkendali. Tahapan ini
seringkali, luput dari telaah para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan,
tetapi sangat ditunggu-tunggu oleh berbagai pemangku kelompok kepentingan
(politik).
d. Pemicu (Trigger) Rumput Kering Sangat Rawan Terbakar.
Situasi
psiko-sosial seperti tergambar di atas sesungguhnya amat sensitif dan rawan.
Ibarat air dalam panci yang diletakkan di atas tungku api yang sudah mulai
”memanas”, dan sebentar lagi akan ”mendidih”. Ibarat rumput kering, tinggal
menunggu percikan sedikit bahan bakar dan api, maka seluruh area akan cepat
terbakar habis.
Pertemuan
3 faktor tersebut di atas ibarat ladang rumput yang sudah hampir mengering
semuanya. Tidak ada lagi celah diantara sisa hamparan rumput tersisa yang masih
hijau, yang dapat menjaga tidak meluasnya api. Begitu ada sedikit saja percikan
api, maka rumput kering itu langsung terbakar. Tanpa mengenal ampun, seluruh
padang rumput terbakar karena tak ada kekuatan yang dapat menghalangi dan
meredam jilatan api yang mengganas.
Anehnya,
tidak terlalu sulit mencari ”bahan bakar” untuk membakar dan melauapkan emosi,
ketidaksabaran, frustasi, kebencian sosial, dan rasa tidak saling percaya
tersebut. Ibaratnya, tidak diperlukan bergalon-galon atau berdrum-drum bahan
bakar untuk membakar padang rumput. Inilah wilayah yang sangat sulit diduga dan
sulit diantisipasi.. Kekuatan intelijen sekalipun tidak bisa menciumnya.
Apalagi jika intelijen dan aparat keamanan ikut bermain di dalamnya.
Jika
kita mencermati bagaimana kekerasan sosial dapat meledak ditanah air 2-3 tahun
sebelumnya dan sesudah turunnya Soeharto, maka kita akan memperoleh beberapa
faktor sosial yang dapat dikategorikan sebagai ”pemicu” munculnya kekerasan
sosial, baik seperti tawuran antar kampung, tawuran antar pelajar, pembakaran
dan pengrusakan gedung, pembakaran gereja atau masjid, pemusnahan gedung milik
pemerintah (gedung DPRD, Kepolisian, Kejaksaan), pembakaran toko-toko milik
etnis tertentu dan begitu seterusnya.
Di Pekalongan, misalnya,
seorang yang dianggap tidak waras menyobek kertas kitab suci al-Qur’an. Oleh
para elit, yang sedang mencari alasan yang kuat untuk menggerakkan dan membakar
emosi massa demi tujuan dan kepentingan tertentu, kejadiaan ini dijadikan
sebagai alat hulu ledak untuk membakar emosi massa untuk berbuat kekerasan
sejadi-jadinya dengan cara membakar tempat-tempat niaga dan pertokoan miilik
etnis Cina tanpa ada yang bisa menghalanginya.
Contoh
lain, pembangunan gedung gereja yang terlalu mewah menurut ukuran lingkungan
sekitar, seperti di Situbondo, dapat dijadikan pemicu untuk menyentuh isu
ketidakadilan masyarakat. Dengan mudah masyarakat digerakkan untuk membakar
gereja dan sekolah-sekolah. Di lain tempat, penulis diberitahu mantan Dandim
(Komandan Distrik Militer) Wilayah Ambon, bahwa kesalahan tulis yang tidak
disengaja ketika kata ”nabi” manjadi ”babi” (karena, di mesin ketik, letak
huruf ”n” dan ”b” berdekatan) menjadi sumber pemicu kekerasan sosial yang
hampir-hampir tidak bisa dibendung. Ini terjadi sebelum paristiwa tahun 1999.
Banyak
kejadian-kejadian sepele lain yang dapat dijadikan dalih oleh tokoh
sosial-politik atau figur sosial-kemasyarakatan yang tidak bisa menguasai diri
dan kelompoknya untuk menciptakan situasi chaos dengan cara membakar emosi
massa. Pola-pola dan modus operandi kekerasan sosial ini dapat terulang
kembali. Yang berbeda hanyalah situasi dan konteks disertai pergantian pemain
dan pelaku utamnya. Situasi-situasi sosial dan kejadian-kejadian pemicu
bentrokan massa itulah yang sangat ditunggu oleh para ”provokator” yang memiliki
target, tujuan, dan kepentingan tertentu.
Pola-pola
”baku” yang bisa dimainkan oleh para provokator inilah yang semestinya juga
diperkenalkan kepada anak didik dalam pendidikan agama disekolah, forum
pengajian, majelis taklim, kebaktian, atau rapat-rapat organisasi sehingga
sistem early warning dapat terbangun dalam sistem pendidikan keagamaan kita.
Hal ini perlu, karena agama dapat diracik dengan bahan oplosan atau ingredient
yang salah, sehingga sangat jitu digunakan untuk membakar situasi. Ini dimungkinkan,
lantaran emosi dan agresivitas melekat dalam watak dasar setiap agama.
Pada
era sekarang, tidak cukup hanya mempelajari agama dari sisi-sisi normatif
kebaikannya saja, tetapi perlu diperkenalkan dan dijelaskan juga sisi-sisi
historitas ”keburukannya”. Yang seringkali memang sangat rumit dideteksi adalah
jika agama bercampur dengan politik dan kekuasaan (al-aql al-lahuti al-siyasy)
. Upaya menjelaskan kepada anak didik tentang sisi-sisi negatif dari penonjolan
collective identy (identitas kelompok) yang disertai penanaman nilai-nilai
fundamental sosial-keagamaan setidaknya dapat membantu anak didik dan
masyarakat secara umum untuk lebih berhati-hati dalam mempermainkan agama demi
kepentingan-kepentingan lain yang berasal dari luar agama itu sendiri.
Fundamentalisme Keagamaan Kontemporer
Istilah
fundamentalisme keagamaan, sesungguhnya telah ada semenjak dahulu sampai
kapanpun jua. Banyak istilah llain yang biasa digunakan untuk menggambarkan
fundamentalisme keagamaan, seperti radikalisme, hardliners (aliran keras),
ekstrimisme, militanisme, dan pada puncaknya terorisme. Bahkan belakangan
muncul istilah ”Islamisme”.
Perilaku
kekerasan yang berbasis sektarianisme keagamaan yang seringkali kita saksikan
di berbagai tempat, baik di Barat maupun di Timur. Pertikaian dan permusuhan
sengit yang berkepanjangan antara Muslim sekte Sunni dan sekte Syi’ah dan
antara Katolik dengan Protestan di Irlandia, Itrak pasca rezim Saddam Hussein
sampai sekarang ini, dan juga di negara-negara pecahan Yugoslavia, belum lagi di
Afganistan dan Pakistan mengingatkan orang akan sejarah perang agama di Eropa
yang berujung pada langkah pemisahan ”agama” dan ”negara”, dan sekularisme di
Perancis. Gerakan radikalisme keagamaan atau fundamentalisme pada dasarnya
merupakan gerakan politik yang diselubungi oleh keyakinan agama. Kaum minoritas
merasa ditindas, dihegemoni, dan ditekan oleh kelompk mayoritas. Tidak ada
power sharing (pembagian kekuasaan) diantara mayoritas-minoritas. Pluralisme
dan multikulturalisme tidak pernah bersemai di situ. Masing-masing bertahan
dengan kelompok mereka sendiri-sendiri. Golongan mayoritas mempertahankan
status quo tanpa memperhatikan dan memperdulikan hak-hak minoritas.
Yang
mayoritas –baca: persekutuan antara pemerintah yang sedang berkuasa dan ulama,
untuk kasus di Mesir- ingin menguasai segalanya, dari hulu sampai hilir, sedang
yang minoritas karena tidak punya akses apapun dalam wilayah politik, ekonomi,
maupun sosial apalagi militer, maka mereka rela dan bisa berbuat nekat,
misalnya membunuh dan meledakkan bom ditempat-tempat yang dianggap
simbol-simbol kepentingan. Bahkan tidak menutup kemungkinan golongan mayoritas
sendiri yang meledakkan bom untuk mempertahankan status quo kekuasaannya.
Hubungan relasi kekuasaan yang mengandung unsur kekerasan dan ketidakadilan
seperti ini tidak hanya berlaku bagi hubungan Barat dengan Timur atau antara
Barat dengan Islam (clash of civilization), tetapi juga berlaku dalam hubungan
satu atap kelompok agama sendiri (clash within civilization) di kalangan umat
Islam, umat Protestan, dan begitu seterusnya. Pada akhirnya, terjadilah proses
balas-membalas tanpa kesudahan, dan lagi-lagi masyarakat kecil yang menjadi
korban.
Relasi
kekuasaan (power relation) dalam gerakan fanatisme, radikalisme dan
fundamentalisme, belum lagi apa yang disebut sebagai gerakan global salafisme
kontemporer memiliki hubungan yang sangat dekat untuk tidak menyebutkan
identik. Hampir seluruh tindak kekerasan (violence) yang terjadi di berbagai
daerah dan negara yang mengatasnamakan agama sangat terkait dengan power
relation (relasi kekuasaan), karena kekuasaan (power) adalah simbol bertemunya
muara kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan militer sekaligus.
Menurut
hemat penulis, yang membedakan gerakan radikalisme keagamaan era klasik dan
kontemporer, selain karena digerakkan oleh pemahaman keagamaan yang sempit,
perasaan tertekan, terhegemoni, tidak aman secara psikososial, serta
ketidakadilan lokal dan global adalah juga digunakannya kecanggihan teknologi
modern yang bersifat semi militer untuk merancang, menyalurkan, melampiaskan ,
dan mengegolkan cita-cita sosial-politik tertentu. Bom bunuh diri yang merebak
di daerah-daerah konflik yang panas, seperti di Palestina, Irak, Afganistan,
Chechnya, Pakistan, Saudi Arabia, dan bahkan Indonesia, adalah gabungan yang
kuat antara ketiganya (relasi kekuasaan, gerakan fanatisme, dan radikalisme
keagamaan). Istilah al-Tatarruf at-Diniy (ekstrimisme keagamaan), seringkali
lebih nyaman dari pada istilah fundamentalisme (dalam konteks Protestan di
Amerika)..
Kejadian
paling dramatis adalah gerakan teror11 September 2001 yang dikerjakan dengan
tekun disertai networking yang rapi dan akhirya memperoleh keberhasilan serta
media coverage yang luar biasa. Rupanya, kemajuan ilmu dan teknologi (perspektf
sains) yang terpisah jauh dari isu keadilan (perspektif ekonomi) serta
pemahaman yang rapuh terhadap keberadaan orang atau kelompok lain agama
(perspektive pemahaman agama) dapat mendatangkan mara bahaya yang tak
terperikan di kemudian hari.
Bertemunya
kemampuan ilmu dan teknologi dengan pemahaman keagamaan yang sempit serta tidak
sensitifnya kepekaan sosial dapat menghimpun kekuatan dahsyat yang berdaya
ledak yang luar biasa. Manusia tertegun dan menundukkan kepala melihat
kenekatan gerakan terorisme yang membumi hanguskan simbol kekuatan dan
kekuasaan dunia modern yang termanifestasikan dalam supremasi teknologi,
globalisasi uang dan stock-market, komputer, aeronautika, dan jaringan media.
Lagi-lagi,
disini manusia modern diingatkan bahwa kemajuan sains dan teknologi belum dapat
menjamin segala-galanya. Karena tertinggal dan ditinggalkan oleh Barat dengan
monopoli atas sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui (organik) maupun
yang tak dapat terbaharui (non-organik), oleh negara-negara kuat (superpower),
negara-negara dunia ketiga mempunyai cara lain dalam menghitung dan
mengkalkulasi keadaan, meskipun kalkulasi tersebut bisa benar dan bisa juga
salah.
Kalau
Einstein dulu pernah menyatakan ”Science withort religion is blind, religion
sciences lame”, maka hal itu ada benarnya, tetapi pertanyaan saya adalah
seperti apakah agama seperti apa yang dimaksud oleh Einstein? Jika kemampuan
dan kekuatan sains dan teknologi dipadukan dengan corak keberagamaan dan
pemahaman keagamaan yang sempit serta bertambahnya gap yang terjembatani antara
negara-negara kaya dan negara miskin, hasilnya adalah merebaknya tindakannya
radikal, ekstrim dan teror. Sedangkan agama yang dipelajari secara
provinsialistik, untuk era globalisasi kultural dan ekonomi seperti saat ini,
juga tidak akan dapat banyak menolong menyiram kedahagaan spiritual apalagi
material umat manusia.
UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
10
Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar