Faham Keagamaan Dan Kebangsaan Indonesia Diatas Keberagamaan Yang Majemuk Dan Multikultural


Amin Abdullah

Sewindu Pasca Reformasi: Cermin Keindonesiaan Masa Kini
Kepemimpinan publik, elit politik, elit agama dan pertarungan “kepentingan” adalah mata rantai kehidupan sosial-politik yang tak terpisahkan. Mahasiswa cepat atau lambat akan memasuki wilayah itu, karena tidak semua alumni Perguruan Tinggi akan memasuki pasaran kerja formal seperti pegawai negeri (PNS), dokter, hakim (agama), guru (agama), pekerja di berbagai perusahaan dan pabrik, dan begitu seterusnya. Banyak diantara para alumni diawal, ditengah atau diakhir perjalanan karir kehidupannya bercita-cita sebagai aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sebagai kader partai, aktivis organisasi sosial-keagamaan, aktivis organisasi sosial-politik dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi. Code of Conduct seperti apa yang pernah diperkenalkan kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi sebelum mereka kembali ke masyarakat luas?.

Tiga peristiwa sosial-politik yang terdekat dari hari peringatan Sewindu Reformasi[1] adalah peristiwa tarik menarik kekuatan dan pertarungan kepentingan antar elit pimpinan politik di Kabupaten Kaur Bengkulu (Ketidakpuasan para konstestan yang tidak menang pilkada), Kabupaten Tuban, Jawa Timur (kejengkelan rakyat pemilih atas kekalahan dan tidak dapat menerima hasil pilkada yang belum sempat diumumkan), Komplek Senayan Jakarta (demo anarkis sehari setelah memperingati hari buruh 2 Mei 2006) dan Kota Banyuwangi (mempertanyakan kebijakan Bupati terpilih oleh para pesaing yang kalah). Beberapa waktu saat yang lalu, aksi masa “menyerang” kelompok Ahmadiyah di berbagai tempat di tanah air juga menghiasi berita TV nasional. Sebuah tindakan kekerasan sosial yang jelas-jelas berlatar belakang ideologi keagamaan. Tak terhitung peristiwa tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar pemuda kampung, antar RT-RW, antar angkatan (antara kepolisian dan tentara), antar mahasiswa dan pengemudi angkot (Makassar), demo mahasiswa yang brutal dan anarkis.

Singkat kata, rakyat, masyarakat dan bangsa Indonesia sedang mengalami anomaly(penyimpangan) dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Patologi sosial sedang mewabah ditanah air. Anomali-anomali kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa ini, jika berlangsung terus-menerus dan berlarut-larut maka akan (atau telah) masuk tahapan “krisis”. Cara berpikir lama, termasuk cara mendidik moral Pancasila, civic education, dan mendidik agama dan nilai-nilai pada setiap level jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi mengalami krisis relevansi. Kode Etik kehidupan bersama seperti apa yang sesungguhnya diperlukan oleh bangsa Indonesia dalam era keterbukaan pasca Reformasi?.

Kepemimpinan publik yang diperoleh lewat Pemilu, Pilkada dan berbagai macam pemilihan yang lain sejak dari Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa sampai pimpinan Partai Politik selalu berhimpitan dengan kepentingan kelompok yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan kepentingan komunalitas keberagamaan kelompok. Jika tidak dikelola secara ekstra hati-hati akan setiap pemilihan selalu akan menyisakan berbagai persoalan sosial, agama, ekonomi dan politik, yang berujung pada kekerasan struktural yang berakibat langsung tidak mensejahterakan rakyat. Jangankan memilih Kepala Daerah, memilih pimpinan partaipun belum lengkap jika belum dihiasi dan dibarengi kekerasan seperti yang terjadi di Bali (BPR) baru-baru ini. Betapa rapuhnya kondisi sosial masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini? Apa yang kurang dalam proses pendidikan sosial, pendidikan kewarganegaraan (civic education) dan pendidikan agama yang telah diberikan selama ini pada setiap jenjang pendidikan?.

Lewat  media massa dan lebih-lebih media elektronik, rakyat dan bangsa Indonesia pada umumnya melihat dengan mata kepala telanjang berbagai jenis kekerasan struktural yang dipertontonkan oleh para tokoh elit politik (dan agama) baik yang ada di lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan lembaga sosial-kemasyarakatan dan keagamaan maupun kekerasan atau benturan kepentingan antar lembaga-lembaga ini dengan lembaga-lembaga baru (State auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lain-lain. Belum lagi ditambah kekerasan yang ada dalam intern partai politik dan kekerasan ekstra parlementer di jalanan, di wilayah publik. Tidak adakah Role of Cunduct yang lebih transparan, berwibawa, disegani, dipatuhi yang dapat memandu perilaku politik para elit politik dan elit agama dan dapat meredam berbagai benturan kelompok kepentingan?.

Mesin sosial-politik dan sosial-keagamaan terasa “panas” terus-menerus sepanjang waktu, sejak menjelang runtuhnya Orde Baru sampai sekarang 8 tahun kemudian tanpa istirahat dan tanpa kenal henti. Rasanya selama 8 tahun pasca Reformasi dari hari ke hari tidak pernah ada hari yang tidak dipenuhi “kekerasan” sejak dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai dengan Irian Jaya. Bersamaan dengan itu, kondisi rakyat belum beranjak membaik. Untuk  sebagian rakyat, kondisi justru memburuk.[2] Ditemukannya kasus gizi buruk dan busung lapar pada sejumlah anak balita di beberapa daerah memotret dengan jelas betapa makin buruknya kondisi ekonomi untuk sebagian rakyat. Tidak adakah panduan etis yang mengikat bagi para penyelenggara negara yang lebih memprioritaskan Layanan Total terhadap rakyat banyak dan bukannya sibuk melayani birokrasi itu sendiri?.

Kompleksitas, anomali dan krisis yang dihadapi bangsa Indonesia memang luar biasa. Hampir di semua lini kehidupan. Presiden pun harus mengurusi masalah pembuangan sampah di kota Bandung karena Pemerintah kota tidak mampu menyelesaikannya. Sejak dari kondisi geografis negara kepulauan dengan tersebarnya pulau-pulau besar-kecil yang sangat terpencil, percampuran budaya masyarakat sejak dari agraris, industri sampai informasi (pasca industri), tingkat ekonomi rakyat yang lemah, tingkat pendidikan yang sangat memprihatinkan, persoalan pencemaran lingkungan yang sangat mengkhawatirkan, hutang luar negeri yang menumpuk meskipun telah ada upaya untuk menguranginya[3], KKN yang masih merajalela dan berbagai “kepungan” masalah yang lain. Pemerintah yang legitimate manapun dan oleh Partai Pemenang Pemilu yang manapun akan menghadapi persoalan yang sama. Semua merasakan seolah-olah pemerintah yang dipilih rakyat secara langsung “tak berdaya” dan mencapai titik lemah. Birokrasi tidak efektif. Masih adakah harapan dan optimisme untuk hidup berbangsa dan negara dimasa depan dan apakah Perguruan Tinggi masih dapat menyumbangkan sesuatu untuk menghadapi dan menanggulangi krisis nilai dan keberagamaan yang melanda kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdampak luas pada kehidupan ekonomi, budaya, sosial dan ketahanan negara?.

Pendidikan Nilai dan Pendidikan Keagamaan di Perguruan Tinggi
Pendidikan di Perguruan Tinggi adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diperoleh anak didik/mahasiswa sebelum terjun dan kembali ke masyarakat. Model, metode, pendekatan, materi dan teknik pembelajaranpun perlu didesign khusus sesuai dengan tingkat usia mahasiswa dan yang tidak begitu saja disamakan dengan cara, metode, materi, dan teknik pembelajaran nilai dan agama di bangku sekolah Menempuh Pertama dan Menengah Umum yang lebih berorientasi pada teacher-centered orientation ke cara, metode, materi dan teknik pembelajaran yang lebih berorientasi pada student-centered orientation.

Nilai-nilai fundamental yang dapat memperkokoh dan menopang kehidupan bersama antar warga negara yang jelas-jelas berbeda ras, suku, agama, etnis, dan tingkat pendidikan merupakan skala prioritas yang perlu didiskusikan secara mendalam dan berkesinambungan oleh para dosen pengampu dan pembimbing materi mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Perbedaan agama (aspek teologis) dan keanekaragaman ritual-peribadatan tidak lagi menjadi prioritas utama pembelajaran dan perkuliahan di Perguruan Tinggi. Mahasiswa pada umumnya telah sangat paham bahwa perbedaan-perbedaan teologis dan ritual tidak mungkin dikompromikan, apalagi dihilangkan. Semuanya telah mereka anggap sebagai sesuatu yang telah “given” dan realitas empiris-konkrit seperti itu merupakan prerequisite” (syarat yang tak bisa ditolak atau dihindari) dari matakuliah (MPK). Bagaimana membentuk integritas kepribadian warganegara (tidak hanya mahasiswa) yang kokoh, berpandangan luas, memiliki keterampilan sosial (social skill), tidak mudah terprovokasi oleh tarikan-tarikan kepentingan kelompok adalah merupakan obsesi dan skala prioritas bagi para pendidik dan pengajar Matakuliah Pengembangan Kepribadian.

Sadar akan kesulitan yang memang lengket pada watak kemanusiaan, upaya para pendidik, tenaga pengajar dan dosen adalah bagaimana “membantu” mahasiswa mengatasi berbagai persoalan yang mengitarinya dan dapat keluar dari jebakan, jeratan dan kepungan masalah yang bersumber dari perbedaan agama, etnis, budaya, ras dan kelompok kepentingan (berorientasi pada problem solver) dan bukannya malah membesar-besarkan dan meniup-niup api dalam sekam (berorientasi pada trouble maker).

Tidak mudah memang mengapresiasisasi kembali dan menegaskan nilai-nilai fundamental yang diperlukan untuk kehidupan bersama antar berbagai umat beragama (juga antar etnis, budaya, ras dan kelompok). Ada 3 (tiga) himpitan “identitas” yang sama-sama fundamental, yang sama-sama menggoda, yang sama-sama hendak dipertahankan oleh manusia baik sebagai pribadi maupun kelompok. Pertama adalah peneguhan identitas yang bersumber dari tuntutan loyalitas pada hubungan seseorang atau kelompok kepada Tuhan (the identity generated by one’s relation to God) yang dikonsolidasikan dan dikristalkan lewat sistem politik-keagamaan dan kedua, identitas yang bersumber pada pengalaman riil seseorang atau kelompok untuk memenuhi tuntutan loyalitas kepada kelompoknya sendiri. Kedua tuntutan peneguhan identitas seringkali berbenturan dan sulit dicari konsensus. Belum lagi, bagaimana seseorang dan lebih-lebih kelompok memenuhi tuntutan loyalitas kepada keduanya, namun pada saat yang sama seseorang atau kelompok harus pula mampu mensupport identitas ketiga, yakni mendukung nilai-nilai yang diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatasi kedua loyalitas sebelumnya.[4]

Oleh karenanya diperlukan metode baru pendidikan nilai dan pembelajaran agama yang dapat mendukung dan menyeimbangkan ketiga himpitan tuntutan identitas tersebut tanpa dibarengi rasa bersalah. Berbuat seadil mungkin terhadap ketiga tuntutan identitas, tanpa harus melebihkan loyalitas kepada yang satu dan mengurangi yang lain. Begitu titik equilibrium antara ketiganya dilanggar, atau ketiganya berjalan sendiri-sendiri tanpa rambu-rambu yang jelas yang dapat memandu pandangan hidup (world view) pimpinan kelompok agama, pimpinan masyarakat dan pejabat negara maka disharmoni, mutual distrust, eksklusivitas, segregasi akan mengedepan dengan sendirinya dan membuka peluang munculnya tindak kekerasan dalam masyarakat.

Keberagamaan yang “sehat” dan keberagamaan yang “sakit”
Bagi kalangan tertentu, sub-title diatas tidak lazim. Menurut mereka, setiap keberagamaan mestilah positif, baik, sehat dan normal-normal saja. Namun, keyakinan ini dipatahkan oleh perilaku empiris sebahagian umat beragama yang ternyata memang bermacam-macam, tidak semuanya positif dan sehat. Ada juga perilaku beragama yang tidak sehat, untuk tidak menyebutnya sakit.

Kita semua dikejutkan oleh bukti-bukti dimeja pengadilan, ketika simbol-simbol keagamaan (seperti “Allahu Akbar”) diteriakkan dengan penuh keyakinan dan semangat untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, seperti tindakan bom bunuh diri untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sebagai musuh-musuh Tuhan. Sebuah tindakan yang sangat menyengsarakan banyak keluarga korban yang terkena bom bunuh diri tersebut.

Dari sini, kira-kira satu abad yang lalu ahli psikologi agama, William James membuat kategori keberagamaan yang sehat (Healthy minded) dan keberagamaan yang sakit (sick soul). Tanda-tanda keberagamaan yang “sehat” antara lain mempunyai sikap dan pandangan dunia (world view) yang optimistik (penuh harapan, besar hati, berpandangan luas, melihat dunia tidak selebar daun kelor), extrovert (terbuka, luwes bergaul dengan siapa saja, memiliki sense of humor tidak suka menyembunyikan perasaan jengkel dan beban berat, persahabatan luas tanpa sekat-sekat primordialisme) dan gradual (selalu sabar, lebih menekankan proses yang bertahap dan berkesinambungan tidak instant dalam mencapai cita-cita, termasuk kebaikan). Sedangkan ciri keberagamaan yang “sakit” antara lain adalah pandangan dunia (world view untuk tidak menyebutnya belief, aqidah, credo, dogma) yang bercorak pesimistik (kecil hati, tidak punya harapan masa depan yang cerah dan baik, tidak begitu menggembirakan, berwajah muram-murung), introvert (tertutup, tidak banyak bicara, tidak humoris, tidak mudah bergaul, persahabatan dan pergaulan hanya terbatas pada kelompok sendiri) dan non-gradual (jika ingin punya cepat tercapai, tidak sabar, instant, tidak memperhatikan proses panjang yang harus dilalui jika mempunyai cita-cita atau keinginan).[5]

Selain William James, ahli psikologi sosial keagamaan Gordon W. Allport juga mempunyai kategori keberagamaan manusia yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Keberagamaan yang intrinsik lebih menekankan pada hal-hal yang terkait langsung dengan tujuan akhir (end, ghayah) keberagamaan umat manusia, yaitu nilai-nilai dasar yang dapat menopang kehidupan bersama antar umat manusia secara baik. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai intrinsik yang fundamental ini, maka sikap-sikap kewenang-wenangan (ingin benar sendiri), buruk sangka terhadap orang dan kelompok lain diluar kelompoknya, (prejudice) sifat-sifat yang hanya menekankan diri dan kelompok agamanya sajalah yang paling benar (dogmatism, fanatism) sedikit dapat dihindari. Untuk dihindari sama sekali tidaklah mungkin karena sifat dasar (nature) dari manusia memang punya bakat seperti itu.

Sedangkan keberagamaan yang bersifat ekstrinsik menganggap sebaliknya. Keberagamaan yang ekstrinsik menurutnya selalu terjebak pada simbol-simbol (means, wasitah, media, alat). Agama dilihat hanya sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Bersikap buruk sangka pada pengikut kelompok agama lain (prejudice, su’u al-dzan) selalu berkait dengan keberagamaan yang ekstrinsik karena entitas agama hanya melulu dilihat sebagai alat sosial (social function) untuk menambah banyaknya anggota-anggota organisasi supaya umat atau kelompok tertentu bertambah kuat untuk merebut dan menghegemoni kekuasaan. Politisasi agama masuk wilayah ini. Tidak mengherankan jika nilai-nilai, yang menurut William James dikategorikan keberagamaan yang sakit (sick soul) tumbuh subur disini, seperti mempertebal perasaan tidak suka atau buruk sangka kepada kelompok lain, buruk sangka kepada kelompok pesaing (rival), memperkuat kecenderungan segregasi, pengkotak-kotakan masyarakat, politics of difference, kesewenang-wenangan dalam beragama (authoritarianisme), fanatisme kelompok yang sangat akut dan begitu seterusnya.[6]

Keberagamaan yang sakit ini mudah sekali menjadi target bidik dan makanan empuk bagi para provokator yang dengan “kepentingan” sendiri ingin mengail di air keruh. Masyarakat akan menjadi sangat rentan, rapuh, frigile, mudah pecah, mudah terpancing oleh isu, mudah terpikat oleh iming-iming, dan mudah dibakar (suggestibility). Keberagaman yang bercorak ekstrinsik memang sangat rentan.

Jika mengikuti analisis Gordon Allport, tindak kekerasan di tanah air baik domestic violence dan lebih-lebih public violence, tidak bisa terlepas sama sekali dari pola pendidikan agama di sekolah, pesantren, seminar, majlis-majlis taklim, lembaga dakwah kampus, dan perguruan tinggi. Perlu penelitian lapangan yang lebih mendalam untuk menolak atau menerima hipotesa ini.

Mutual distrust (rasa tidak saling percaya) antar berbagai kelompok di masyarakat seperti yang dialami di tanah air saat sekarang ini, disamping dipicu oleh lemahnya kinerja pemerintah dengan masih menguatnya KKN di berbagai lembaga-lembaga negara, jangan-jangan corak keberagamaan bangsa Indonesia memang lebih dominan yang bersifat ekstrinsik daripada yang intrinsik. Bagaimana cara keluar dari jebakan dan jeratan yang menggurita ini?.

Tiga hal pokok pendidikan agama di perguruan tinggi : Tema-tema, metode dan pendekatan serta issu-issu kontemporer

a. Berbeda dari materi pendidikan agama yang berjalan secara konvensional(menurut adat-kebiasaan) seperti yang berjalan selama ini, maka tema-tema pokok yang didiskusikan secara mendalam di Perguruan Tinggi, paling tidak diupayakan mencakup tiga hal pokok yang menjadi keprihatinan bersama para pengikut agama-agama besar dunia dan aliran-aliran, sekte-sekte, dan organisasi sosial-keagamaan yang menjadi ikutannya. Tema pokok tersebut pada dasarnya adalah 3 wilayah bahasan,  (1) Ketuhanan (2) Kealaman dan (3) Kemanusiaan dan saling keterhubungan antar ketiga tema tersebut.

Tema pertama adalah Ketuhanan yang mencakup konsep dasar agama-agama besar dunia dalam mengkonseptualisasikan dan menjabarkan ide ketuhanan mereka. Pada umumnya ada 5 wilayah kajian pokok dalam studi agama (1) Public knowledge atau Simple understanding (belief, dogma, aqidah, credo) (2) Comprehended knowledge (theology/kalam) (3) Practiced knowledge (ritual, fikih) (4) Exoteric knowledge (mysticism, tasawuf) (5) Transcendental knowledge (philosophy, filsafat).[7]

Tema kedua adalah Kealaman terkait erat dengan bagaimana agama-agama besar dunia memandang alam semesta dalam hubungannya dengan ide ketuhanan mereka. Munculnya ilmu pengetahuan sebagai kreasi budaya manusia paling spektakuler dalam karir menjalani kehidupan di dunia merupakan hal yang tak terpisahkan dari diskusi keagamaan kontemporer. Isu hubungan “agama” dan “Ilmu Pengetahuan” merupakan hal pokok yang tak terpisahkan dari mata kuliah pendidikan agama di Perguruan Tinggi.

Tema ketiga adalah Kemanusiaan. Bagaimana makna kesejajaran dan kesetaraan dalam penciptaan (equal in creation) dapat dipahami oleh manusia beragama yang telah terlanjur tersekat-sekat dengan identitas teologis, etnis, ras, kelompok, gender dan begitu seterusnya? Mungkinkah diperoleh common goal dan dapatkah dicapai kembali overlapping consensus antar mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia (planet bumi) yang telah disekat-sekat oleh cita-cita kenegaraan (nasionalisme), sekat-sekat geografis (Barat dan Timur), sekat-sekat ekonomi (developed dan underdeveloped), sekat-sekat agama (Yahudi-Kristen-Islam-Buddha-Hindu) dan begitu seterusnya?[8]

b. Metode dan pendekatan

Untuk menghadirkan tema-tema besar tersebut diatas diperlukan penyempurnaan metode yang telah ada (tanpa berpretensi dapat meninggalkan yang telah ada) dan melakukan pembaharuan metodologi pembelajaran di Perguruan Tinggi.

Metode dan pendekatan merupakan “alat” berpikir keagamaan yang seringkali jauh lebih penting daripada materi pembelajaran dan perkuliahan agama khususnya di Perguruan Tinggi (Al-Tariqatu ahammu min al-madah : metode perkuliahan lebih penting daripada materi perkuliahan). Pada bangku SLTP dan SLTA dan Tsanawiyah dan Aliyah hampir-hampir tidak pernah dikenalkan metode dan pendekatan dalam pembelajaran agama. Mungkin dianggap belum saatnya. Saya pribadi meragukan keyakinan tidak perlunya diperkenalkan metode dan pendekatan pada jenjang SLTP dan SLTA, Tsanawiyah-Aliyah. Tetapi jika larangan itu terulang kembali di Perguruan Tinggi, maka sebenarnya para pendidik tidak bersungguh-sungguh ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, bernegara dan juga beragama dan bermasyarakat.

“Alat” berpikir akan sangat membantu peserta didik untuk mendewasakan dan mematangkan cara berpikir sosial-keagamaannya dan tidak gagap menghadapi realitas pluralitas dan keanekaragaman dalam hal apapun, lebih-lebih dalam hal agama, yang dianggap sebagai ultimate concern. Mereka akan melakukan pilihan-pilihan rasional dan otonom yang bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Jika tidak diperkenalkan, maka keberagamaan akan menjadi “tertutup”, “eksklusif”, menggenang dan “tidak mengalir”. Air yang mengalir akan menjamin kebersihan dan kejernihannya (otentisitas) nya. Sedang air yang menggenang lama kelamaan akan “berbau” tidak segar dan keruh. Begitu pula kehidupan beragama dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer, era derasnya teknologi informasi yang menembus ke relung-relung paling dalam kehidupan umat manusia dimanapun mereka berada.

Ada 3 (tiga) metode dan pendekatan pokok yang penulis usulkan sementara ini.

a. Pendekatan historis-kesejarahan agama

Agama-agama besar dunia yang membentuk kebudayaan manusia telah melewati usia ratusan untuk tidak menyebutnya ribuan tahun. Semuanya mengalami evolusi sejarah sejak era munculnya, perubahan ditengah perjalanannya dan perkembangan lebih lanjut sekarang ini. Banyak faktor yang mendorong perubahan (change) dan perkembangan (development) dari tempat ia semula berasal (origin).

Faktor penyebaran dan perluasan kawasan geografis berkembangnya penganut agama menjadi faktor utama dimungkinkannya perubahan dan pengembangan. Faktor geografis meniscayakan keterlibatan bahasa, budaya setempat dan kondisi sosial yang mengitarinya. Ketika agama Hindu keluar dari asal mulanya (India), sebutlah Bali, maka secara otomatis terjadi perubahan dan pengembangan disesuaikan dengan bahasa dan budaya setempat. Begitu agama-agama lain, termasuk Islam.

Adat istiadat setempat (Iran, Turki, Mesir, Melayu) memberikan andil yang cukup signifikan untuk pengembangan praktik ajaran-ajaran agama Islam yang semula berasal dari Saudi Arabia. Ketika “tradisi” Islam Timur Tengah bertemu dengan tradisi Melayu dan lebih-lebih Jawa, luar biasa proses “take and give”, akulturasi, inkulturasi masyarakat dan budaya antara kedua budaya agama tersebut. Budaya Jawa melakukan tawar menawar dengan budaya baru yang masuk. Begitu juga Katolik dan Protestan yang berasal dari Eropa.[9] Hasil tawar menawar yang cukup alot inilah yang menjadi corak Islam di Jawa yang berbeda dari corak Islam di wilayah Timur Tengah.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan transportasi antar wilayah juga merubah landscape keberagamaan manusia. Kemajuan industri di Eropa memerlukan pasokan tenaga kerja dari Timur Tengah dan negara-negara Asia yang lain. Perkembangan jumlah imigran Muslim di Eropa, tidak saja merubah karakter orang Eropa-Kristen dalam menerima kehadiran agama lain (Hindu, Islam, Kong Hu Cu), tetapi juga berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan keislaman, kehinduan, kebuddhaan yang tumbuh di Eropa ketika memasuki budaya modernitas dan teknologi canggih. Penyesuaian ini bersifat alami dan jika tidak dilakukan maka akan terjadi split of personality untuk tidak menyebutnya class of civilization atau class within civilization.

Untuk itu, pendekatan kesejarahan yang menekankan aspek continuity and change (Al-Tsawabit and al-Mutaghayyirat) dalam aspek praktik ajaran agama-agama perlu dicermati, untuk menghindarkan diri dari keterjebakan pada absoluditas dan absurditas otentisitas. Selain mengakui adanya al-Tsawabit (hal-hal yang tetap) dalam ajaran agama, pada saat yang sama sekaligus secara sadar sesadar-sadarnya perlu juga mengakui adanya al-Mutaghayyirat dalam praktik ajaran-ajaran agama pada level budaya, bahasa dan kehidupan sosial sesuai dengan tantangan kondisi sosial yang mengitari daerah baru wilayah pengembangan dan pemekaran agama. Dengan begitu, apa yang disebut “bid’ah” dalam hal mu’amalah merupakan suatu keniscayaan sejarah.

Pendekatan sejarah dalam pembelajaran dan pendidikan agama perlu diperkenalkan kepada mahasiswa yang memeluk berbagai macam agama untuk mencegah terjadinya klaim absoluditas (kemutlakan) dalam praktik beragama (absolutely absolute). Namun pendekatan sejarah tidak serta merta menggiring kearah pemahaman bahwa seluruh agama-agama pada hakekatnya adalah berbeda-beda sehingga seluruhnya bersifat relatif (absolutely relative) seperti halnya cultural relativism. Pemahaman yang hendak dikedepankan dalam pendekatan sejarah adalah bahwasanya agama-agama secara sosial, kultural dan bahasa (linguistik) memang berbeda-beda (relative; al-mutaghayyirat) tetapi di dalam keperbedaan dan kebinnekaan itu ada nilai-nilai intrinsik-fundamental yang dapat dipahami, meaningful, mengikat, memandu kehidupan bersama. Nilai-nilai intrinsik-fundamental inilah yang bersifat absolut (al-tsawabit) dalam arti mengikat semua pihak. Perpaduan dan anyaman antara unsur “relativitas” dan unsur “absoluditas” inilah yang penulis sebut relatively “absolute”.[10]

b. Pendekatan penomenologi agama

Pengajar dan dosen agama pada setiap jenjang pendidikan, yang berangkat dari tradisi, pola pikir dan keyakinan agama yang dipeluknya sendiri secara “subjektif” (insider), selalu dihadapkan pada pertanyaan yang amat sulit : kacamata, cara pandang, teori, dan model seperti apa yang dapat membantunya untuk melihat secara adil dan jernih realitas keberagamaan orang lain (outsider), tanpa harus berakibat menipiskan kadar keimanan (aqidah) sendiri dan kelompoknya?.

Apakah menghargai dan mengapresiasi keberagamaan orang lain secara otomatis akan mengurangi kadar keimanan dan keyakinan (aqidah) yang dipegang teguh dan dipercayainya sebagai kebenaran mutlak? Adilkah jika seseorang – apalagi kelompok – harus bersikap keras sekeras-kerasnya terhadap kelompok lain, dengan cara menyalah-nyalahkan, mengkafir-kafirkan, memurtad-murtadkan orang lain, hanya demi untuk memperteguh identitas diri pribadi (egoisme) dan identitas kelompok (fanatism), tanpa mengenal perasaan orang atau kelompok (feeling of the people) yang menjadi objek olok-olokan tersebut?[11]

Pertanyaan ini, jika tidak dapat diselesaikan dengan baik dan adil, maka akan muncul sikap keberagamaan yang “ekstrinsik” seperti disinggung di depan. Pada gilirannya pandangan dan kebijakan yang bersifat diskriminatif akan muncul, jika persoalan yang pelik dan rumit ini tidak mempunyai jawaban yang memuaskan baik secara teologis, sosiologis maupun politis.

Jika memang demikian realitas kehidupan beragama di lapis paling bawah dan lebih-lebih lagi lapis paling atas (elit) karena, baik disadari atau tidak disadari, ikut campurnya dan ikut bermainnya kelompok “kepentingan” disitu, yakni realitas “subjektif” yang amat sangat kental dalam kehidupan beragama, maka pertanyaan yang dikemukakan oleh peminat studi agama-agama : “Tidak ada sama sekalikah sisi “objektif” (scientific objectivism) dalam studi agama-agama, selain yang “subjectif” (fideistic subjectivism)?[12]

Penomenologi agama muncul ke permukaan untuk mencoba menjawab berbagai pertanyaan dan kegelisahaan akademik tersebut diatas. Dengan terinspirasikan oleh Edmund Husserl, ada 3 (tiga) presupposisi metodologis yang digunakan oleh fenomenologi agama. Untuk memahami kepelbagaian fenomena keagamaan umat manusia,

(1)  Penomenologi agama lebih menekankan corak pendekatan yang bersifat terbuka (open, transparant, accountable) serta pendekatan empati (emphathetic).

(2)  Untuk itu, yang pertama perlu dilakukan oleh si peneliti, pengajar, dosen agama dan para elit pimpinan agama ketika bergaul dan berhubungan dengan pimpinan dan pengikut agama lain adalah dimilikinya kemampuan untuk menahan diri (self restrain) dan menunda terlebih dulu (epoche; the suspension of value judgement) segala macam keputusan dan tindakan penghakiman yang hendak dialamatkan kepada pengikut agama lain serta kemampuan diri dan kelompok untuk dapat meninggalkan prasangka-prasangka (prejudice) teologis yang membatasi ruang gerak dan fleksibilitas pergaulan selama ini.

(3) Membangun sikap dan mental dasar ini diperlukan untuk selanjutnya setapak melangkah lebih maju untuk mencari dan memahami hakekat dan esensi (eiditic vision; to grasp the essence that lay behind religious phenomena) dibalik semua yang tampak secara lahiriyyah kehidupan beragama yang partikularistik.

(4)  Penomenologi agama memahami agama (dalam artinya yang universal) bukannya merupakan produk dari rangkaian panjang evolusi sejarah melainkan merupakan bagian esensial, bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada.

Disini penomenologi agama berbeda dari pendekatan filologis-historis, tetapi lebih mirip mendekati model pendekatan ilmu-ilmu sosial. Dengan bantuan antropologi sosial, para ahli penomenologi agama dibekali modal yang dapat menjernihkan berbagai macam ekspresi tingkah laku keberagamaan umat manusia untuk mencari ”pola dasar” (common pattern) yang bersifat universal dari berbagai kepelbagaian dan keberagaman manusia yang secara partikularistik memang berbeda-beda (particular pattern).

c. Pendekatan Hermeneutik (al-Takwil al-ilmiy)
Pemahaman (understanding) pada hakekatnya adalah tindakan penafsiran (interpretation). Ketika guru berdiri di depan kelas, dosen di bangku kuliah dan da’i atau ustadz berceramah di depan jama’ahnya, sebenarnya amat sangat sulit menentukan secara korespondential apakah pemahaman murid, mahasiswa atau jama’ah tadi “sama dan sebangun” dengan pemahaman yang dimiliki oleh guru, dosen atau ustadz. Dosen, guru, dan ustadz ketika menyampaikan materi pembelajaran, perkuliahan dan penggajiannya sesungguhnya juga sedang melakukan tindakan penafsiran terhadap apa yang ia baca dan ketahui sebelumnya untuk disampaikan kepada audiennya dan begitu pula para murid, mahasiswa dan jama’ah tadi juga berupaya keras melakukan “interpretasi” supaya dapat memahami apa yang disampaikan oleh guru, dosen dan ustadz tadi.

Jika memang demikian gambaran yang sesungguhnya, maka “interpretasi”, baik tepat, kurang tepat, setengah salah, melenceng sama sekali atau bahkan salah merupakan jenis pemahaman subjektif yang dimiliki oleh umat manusia. Penafsiran dan pemahaman itu sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi yang melingkarinya (kontekstual) dan juga oleh model dasar pendidikan yang dimiliki sebelumnya. Begitu juga ketika manusia membaca kitab suci dan ajaran-ajaran agama pada umumnya. Hasil bacaan kitab suci atau hadis nabi atau kitab-kitab kuning adalah merupakan hasil penafsiran atau interpretasi seseorang atau kelompok terhadap apa yang dibacanya. Situasi dan kondisi yang mengitarinya dan latar belakang keilmuan yang dimiliki sangat berpengaruh pada hasil bacaan atau pemahaman yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dalam proses pemahaman ini sesungguhnya terjadi apa yang disebut proses negosiasi pencarian makna (negotiating process) antara teks, author dan reader.[13]

Gencarnya gerakan pengembangan sumber daya manusia lewat jalur pendidikan menjadikan budaya manusia mengalami perubahan yang signifikan. Beratus-ratus keahlian baru, profesi dan differensiasi pekerjaan muncul ke permukaan. Perkembangan ini meniscayakan perlunya interpretasi dan reinterpretasi (pemahaman ulang) terhadap ajaran-ajaran agama, tanpa meninggalkan esensi dan subtansialitasnya.

Agama “diturunkan” pada suatu era dimana kebudayaan manusia (cipta, karsa, dan rasa) belum seperti saat sekarang ini. Pergaulan antar bangsa, pertemuan antar budaya, perjumpaan antar berbagai model spiritualitas manusia tidak secepat seperti yang dialami oleh umat manusia saat ini. Fatwa-fatwa keagamaan yang terkait dengan isu apapun harus dengan cermat diperhitungkan dampaknya, implikasi dan konsekwensinya pada pola hubungan interaksi antar bangsa, antar umat dan antar intern komunitas umat beragama.

Kriteria kemasukakalan (reasonableness) dalam agama untuk era sekarang ini tidak lagi cukup hanya diukur dengan logika formal (aturan-aturan keilmuan) yang diikuti secara ketat oleh cabang ilmu tertentu, tetapi logika keilmuan tertentu tersebut perlu didialogkan dengan logika keilmuan lain untuk mencari tingkat realibilitas dan validitas yang lebih komprehensif-utuh. Disiplin ilmu apapun tidak lagi boleh bersikap eksklusif, termasuk ilmu-ilmu agama. Doktrin dan lebih-lebih fatwa-fatwa keagamaan, harus diujisahkan, diukur dan dikaitkan dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas publik, akuntabilitas sosial-budaya dan begitu seterusnya.[14]

Dalam pemahaman seperti itu, maka metode pendekatan dan perspektif hermeneutik (penulis menyebutnya al-Takwail al-ilmiy) menjadi relevan untuk dipertimbangkan sebagai “alat” berpikir dan analisis keilmuan ketika entitas “agama” memasuki wilayah atau ranah publik baik menyangkut wilayah ekonomi, budaya, sosial maupun politik.

Religious Leaders, Political Leaders sebagai Community Leaders
Ada keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara politik, agama dan ekonomi serta antara keduanya dengan sosial dan moral. Yang tampak mencolok diprioritaskan oleh para elit politik di tanah air sekarang ini adalah keterkaitan politik dan ekonomi, yang ditandai dengan persaingan kepentingan secara terbuka di kalangan elit dan memacetkan komunikasi politik. Namun, para aktor politik kurang mempertautkan hubungan keduanya dengan sosial dan moral, yaitu pertanggungjawaban sosial (social responsibility) dari para tokoh di hadapan rakyat Indonesia yang multi ras, multi agama, multi etnis, dan begitu seterusnya.

Pernyataan-pernyataan yang keluar dari para pimpinan publik baik pada level pemerintahan, pimpinan organisasi sosial-politik, pimpinan organisasi sosial-keagamaan (religious leaders) lebih menekankan pada “kepentingan” politik kekuasaan tanpa mempertimbangkan dimensi dan bobot implikasi dan konsekwensi sosial dan moral dari ungkapan-ungkapan disampaikan secara publik.

Sebagai institusi publik, pernyataan politik selalu berimbas pada kehidupan masyarakat secara luas. Seringkali tokoh-tokoh politik tidak menyadari hal itu dan berakibat fatal terhadap kohesi sosial dan berdampak pada kehidupan masyarakat luas. Tawuran antar etnis, antar suku, antar pemuda kampung, antar pelajar, antar kelompok agama yang berbeda, antar berbagai pendukung penafsiran ajaran agama di dalam “intern” umat beragama adalah contoh konkrit yang tak perlu diperdebatkan. Para ahli menyebut bahwa politik adalah “Seni”. Seni, kecerdasan dan kecanggihan, untuk mampu mengolah, menyeleksi, mengemas pernyataan-pernyataan publik yang direlease keluar dan mana yang tidak patut dikeluarkan di wilayah publik.

Harus dibedakan secara tegas mana pernyataan-pernyataan atau statement-statement yang berdampak positif bagi kemajuan kehidupan bangsa dan mana pernyataan-pernyataan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi perpecahan bangsa dan konflik horizontal sesama anggota masyarakat. Bagaimana rumusan-rumusan pernyataan publik yang dapat mendidik, mendisiplin mendewasakan berpikir dan bertindak anggota masyarakat, tetapi sekaligus dapat mengayomi dan melindungi mereka. Pada level mahasiswapun sudah perlu diperkenalkan hal-hal seperti itu. Lebih-lebih mereka mempunyai LKM dan UKM-UKM yang model penjaringan calon pengurusnya persis seperti pola rekruitmen pimpinan partai politik.

Memang sulit menjadi tokoh politik. Semata-mata menjadi tokoh “politik” yang hanya mewakili konstituennya sendiri tidaklah cukup. Begitu mereka terpilih sebagai pimpinan politik yaitu pimpinan publik (political leaders), maka sekaligus harus dapat berperan sebagai pimpinan masyarakat (Community leaders) dan menjadi public figure, sehingga tingkah laku perbuatan, pemikiran, keputusan yang diambil dapat dirasakan mengayomi dan melindungi seluruh lapisan masyarakat luas di luar konstituennya.

Modal Sosial: Menumbuhkan Rasa Saling Percaya Mutual Trust dan Memperteguh Prinsip Timbal Balik (reciprocity)
Dua saja modal sosial yang amat pokok yang diperlukan oleh setiap masyarakat yang sedang berubah. Pertama adalah kemampuan dari dalam, dari hati sanubari, untuk mampu membangun kepercayaan (trust building) dan kedua adalah menghargai dan menjunjung tinggi prinsip timbal balik (reciprocity). Dalam perjalanan sewindu reformasi, ketidak percayaan dan rasa saling curiga antar berbagai golongan dalam masyarakat, antar masyarakat dengan pemerintah dan begitu sebaliknya, antara kelompok umat beragama, bahkan antar “intern” umat beragama, antar etnis, suku, ras, dan seterusnya. Yang hidup subur di tengah masyarakat adalah “mutual distrust”. Sejak dari Ambon, Poso, Irian Jaya, Jawa sampai Aceh, fenomena itu mudah sekali dijumpai. Sebagai makhluk sosial, tidak akan ada habisnya sumber mata air konflik dan memang akan selalu ada mutual distrust itu. Namun, jika nilai itu yang dikedepankan, masyarakat kita memang sedang sakit parah dan harus masuk ICU. Dokternya siapa? Dokternya juga dihinggapi penyakit yang sama. Obatnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah dari diri sendiri, dari potensi rasionalitas alami-naluriah yang bisa memilah-milah mana yang “baik” dan yang “buruk” secara sosial dan moral. Disini perlunya peningkatan kualitas pendidikan sosial-humaniora termasuk pendidikan pengembangan kepribadian tidak bisa ditawat-tawar.

Diperlukan pimpinan dan calon pimpinan negara dan kuat, yang tidak mudah kompromi dan tidak ragu. Pemilu seharusnya mengantarkan bangsa untuk memilih pimpinan yang legitimate dan kuat. Pimpinan baru yang visioner, memahami sense of crisis yang sedang dihadapi bangsa, segera mengambil skala prioritas dan tidak kehilangan momentum untuk bergerak. Pimpinan yang mampu tidak hanya inspiring, tetapi juga mampu mengawal kebijakan-kebijakan publik yang utama.

Prinsip reciprocity atau timbal balik merupakan tatanan etika global (global ethics) yang dikukuhkan oleh alam pikiran manusia dan hati nuraninya dalam membangun norma-norma sosial yang sesuai dengan dinamika pergeseran jaman. Global etik melintasi sekat-sekat primordial dan sektarian, kekakuan ideologi dari manapun sumbernya, mampu memenuhi rasa keadilan, dapat mengurangi tingkat kemiskinan, menghilangkan penderitaan, memenuhi kebutuhan spiritualitas, dan keberanian menegakkan hukum. Kesemuanya merupakan hal-hal substansial yang perlu dipenuhi oleh siapapun dalam kapasitas apapun, baik di pemerintahan maupun non-pemerintahan.

Catatan Akhir
Pendidikan nilai dan pendidikan keagamaan yang mendukung Pendidikan Pengembangan Kepribadian (MPK) perlu disempurnakan terus-menerus mengingat bangsa Indonesia mengalami multikrisis yang tak kunjung berakhir. Semua pihak harus berani menata ulang materi, metode dan pendekatan dan issu-issu penting yang perlu diangkat di bangku kuliah atau seminar kelas. Pendidikan agama di Perguruan Tinggi bukanlah ditujukan sekedar untuk memperkokoh “keimanan” masing-masing pemeluk agama tetapi lebih diarahkan untuk mengangkat dan mengapresiasi kembali nilai-nilai agama yang substansial untuk mencetak calon religious leaders yang sekaligus juga community leaders yang lebih terbuka dan bertanggungjawab diatas realitas kemajemukan.

Core values yang dapat mengantarkan anggota kelompok agama yang satu dapat menghargai anggota kelompok agama lain adalah pemahaman bahwa umat manusia adalah senasib dan sepenanggungan, equal in creation (sederajat dalam penciptaan) dan memiliki common goal untuk kesejahteraan bersama. Nilai-nilai fundamental lain yang menjadi ikutannya adalah simpati, empati, loyalitas, toleransi terhadap berbagai jenis perbedaan dan mutual trust antar berbagai kelompok kepentingan yang berbasis agama, etnis, ras, suku. Bersumber dari nilai-nilai fundamental ini, maka tindakan sosial-politis kearah keluar berupa kebijakan akan melindungi, mempertahankan dan menjamin “hak-hak dasar” (basic human right), dan menjamin kesetaraan (equality) dalam kedudukan (status), kesempatan (opportunity) dan ekonomi (outcome), dan juga kesetaraan dalam memperlakukan dan menghormati (respect) dan pengakuan (recoqnition).

Pimpinan “elit” keagamaan, sebenarnya bukanlah hanya sekedar pimpinan kelompok agama tertentu, tetapi mereka adalah Pimpinan Masyarakat atau community leaders yang lebih luas. Ketika kedua pemahaman wilayah ini dipisahkan maka akar dan sumbu konflik akan terus menyala dan tidak padam-padam. Jika kesadaran dan pemahaman bahwa pimpinan kelompok agama adalah juga pimpinan masyarakat luas sekaligus, maka nilai-nilai dan keterampilan sosial baru (social skill) perlu dimiliki oleh para calon pemimpin dan para pemimpin dimaksud. Nilai-nilai baru dan keterampilan sosial yang dimiliki antara lain adalah mampu bertindak sebagai penengah (mediation) jika terjadi konflik. Selain itu mereka juga perlu terlatih untuk melakukan perundingan (negotiation), mempunyai daya tawar menawar yang tinggi (compromise) dan cakap untuk mengajukan kesepakatan-kesepakatan (consensus) jika situasi sosial-ekonomi dan sosial-politik nasional maupun internasional dalam keadaan tidak menentu. Teknik rujuk kembali (reconciliation) juga tidak boleh menghilang dari wawasan para pemimpin masyarakat.

Jika nilai-nilai utama (core values) tadi tidak dipertahankan, dipupuk dan dihidupkan oleh para pimpinan elit agama yang sekaligus pimpinan masyarakat luas, maka nilai sebaliknya yang akan tumbuh subur. Nilai-nilai intolerance, apatis dan disloyalty akan naik ke permukaan. Pergunjingan, buruk sangka (prejudice), kemacetan dan kebuntuan komunikasi politik segera menyebar kemana-mana. Jika keadaan sudah seperti itu, maka tindakan politik yang mengarah kepada tindakan diskriminatif (discrimination) isu masyarakat-minoritas dipertajam, bahasa-bahasa politik yang cenderung memaksakan kehendak seperti perlunya integrasi dan assimilasi yang menegasikan perlunya multiculturalism.

Jika nilai-nilai disktruktif tersebut berkembang biak maka pimpinan agama dan pimpinan masyarakat tidak jelas dimana posisinya, apakah mereka sesungguhnya sebagai “part of problem” atau “trouble maker” atau “problem solver”. Gangguan-gangguan sosial (disturbances), kerusuhan sosial (riots) akan segera muncul. Tindakan agresif kelompok tertentu dibiarkan tanpa ada peringatan. Dari situ, tinggal tunggu waktu apa yang disebut kekerasan kelompok beban (communal violence) dan bermotifkan agama (religious violence).

Metode, dan pendekatan pembelajaran agama di Perguruan Tinggi serta current issues yang terkait seperti (negative) fundamentalism, corruption nepotism dalam sistem kekerabatan agama, puritanism perlu menjadi topik-topik dan tema-tema diskusi yang menarik untuk diangkat dalam Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), lantaran kepribadian tidak bisa terpisah dari permasalahan sosial.

UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
28 Juni 2006







Bibliografi
Martin, Richard C., “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay” dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson : The University of Arizona Press, 1985.


Allen, Douglas, “Phenomenology of Religion”, dalam John R. Hinnels (Ed.), The Routledge Companion to the Study of Religion, New York: Routledge, 2005.


Merkur, Dan “Psychology of Religion”, dalam John R. Hinnells (Ed.) The Routledge Companion to the Study of Religion, New York, Routledge, 2005, h. 164-181


Bertrand, Jacques, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge: The University of Cambridge, 2004.


Mas’oed, Mohtar dkk. (Eds.) Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK UGM, 2000.


Abdullah, M. Amin, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, Jakarta, : PSAP, 2005.


El-Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi, 2003.


Noorhaidi, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, disertasi belum diterbitkan, diajukan di Universitas Utrecht, Belanda, 14 Juni 2005.

Smith, Gordon S. and Harold Coward, Religion and Peacebuilding, Albany: State University of New York, 2004.

Sachedina, Abdulaziz, The Role of Islam in Public Square: Guidance or Governance? Leiden: Amsterdam University Press, 2006.

Allport, Gordon W., “Religion and Prejudice”, dalam Personality and Social Encounter: Selected Essays, Boston: Beacon Press, 1960,  p. 257-67.

William, James, The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature, New York: New American Library, 1958.

Parekh, Bhikku, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory , Cambridge ; Harvard University Press, 2002.

Vroom, Hendrik M., Religions and the Truth : Philosophical Reflections and Perspectives, Amsterdam ; Wm. B. Eerdmans Publishing Co, and Editions Rodopi, 1989

* Disampaikan dalam Stadium General “Membangun Semangat dan Faham Kebangsaan Indonesia Diatas Keberagamaan yang Majemuk dan Multikultural”, Aula Lt.5, Gedung Rektorat, Kampus C. UNAIR, 28 Juni 2006.

[1] Rekaman peringatan Sewindu Reformasi dapat diikuti di harian Kompas hampir sepanjang bulan Mei, khusus tanggal 19 dan 20 Mei 2006 masing-masing 34 dan 24 halaman.

[2] Mohtar Mas’oed dkk (Eds.), Kekerasan Kolektif : Kondisi dan Pemicu, Yogyakarta: P3PK UGM, 2000. Juga Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge : The University of Cambridge, 2004. Informasi yang lebih kaya dapat dibaca Noorhaidi, Laskar Jihad: Islam, Millitancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia, disertasi belum diterbitkan, diajukan di University Untrecht, Belanda, 14 Juni 2005.

[3] Dapat dibaca Laporan Lembaga Pemeringkat Moody’s Investors Service yang mengumumkan hal tersebut di Singapura, Kompas, Sabtu, 20 Mei 2006, h. 17.

[4] Abdulaziz Sachedina, The Role of Islam in Public Square: Guidance or Governance?, Leiden: Amsterdam University Press, 2006, h. 5-23.

[5] William James, The Varienties of Religions Experience: A Study in Human Nature, New York: New American Library, 1958.

[6] Gordon W. Allport “Religion and Prejudice” dalam Personality and Social Encounter: Selected Essays, Boston: Beacon Press, 1960, h.257-67.

[7] Lebih lanjut Hendrik M. Vroom, Religions and the Truth: Philosophical Reflections and Perspectives, Amsterdam: Wm.B. Eerdmans Publishing Co. and Editions Rodopi, 1989, h. 301-320.

[8] Sebagai bahan perbandingan, dapat ditelaah Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980.

[9] Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid 1 dan 2, Maumere: Ledalero, 2006..

[10] M. Amin Abdullah, Islam Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 68-91.

[11] Al-Qur’an, Surat al-Hujurat, ayat 11.

[12] Douglas Allen, “Phenomenology of Religion”, dalam John R. Hinnells (Ed.), The Routledge Companion to the Study of Religion, New York, Routledge, 2005 dan Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies : An Introductory Essay” dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson: The University of Arizona Press, 1985.

[13] M. Amin Abdullah, Op.cit, h. 272-286.

[14] Khaled Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan : Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi, 2003.

0 komentar:

Posting Komentar