Amin Abdullah
Pengantar
Seperti yang biasa saya sampaikan dalam
beberapa tulisan bahwa agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat
dipisahkan tetapi dapat dibedakan, yaitu normativitas (teks, ajaran, belief,
dogma) dan juga historisitas (praktik dan pelaksanaan ajaran, teks,
belief, dogma tersebut dalam kehidupan konkrit di lapangan, seperti di
lingkungan kehidupan komunitas (organisasi sosial keagamaan;
organisasi profesi), masyarakat pedesaan (rural) atau perkotaan
(urban), situasi konteks politik (regim pemerintahan order lama, orde
baru, dan orde reformasi), jaman yang berbeda (abad tengah, modern,
postmodern), tingkat pendidikan yang berbeda ( Pesantren, MI, Mts,
Aliyah, atau SD, SMP, dan SMA dan lebih-lebih S 1, 2 dan 3 di perguruan tinggi
dan otodidak), pelatihan atau training (halaqah, tarbiyah, pengajian
majlis taklim), pendidikan umum dan pendidikan agama, pesantren kilat dan
begitu seterusnya. Bahkan sekarang ada yang merasa cukup lewat internet,
situs-situs, e book dan begitu seterusnya.Studi Agama dan Studi Islam kontemporer
perlu memperhatikan dua entitas tersebut dengan cermat, sehingga para dosen,
mahasiswa dan peminat studi agama dan studi Islam tidak terkejut-kejut dan
tidak perlu kecewa , apalagi marah-marah meluapkan emosi , jika terjadi dan
menjumpai “perbedaan tafsir keagamaan” pada level
historisitas, meskipun idealnya memang tak perlu adanya perpecahan
karena bersumber dari sumber ajaran normative yang sama, yaitu teks-teks atau
nash-nash al-Qur’an and al-Sunnah. Realitas seperti ini berlaku untuk
semua penganut agama-agama besar dunia, baik yang Abrahamik ( Yahudi,
Kristen, Islam) maupun agama-agama non Abrahamik (Hindu, Budha, Konghucu,
Sikh, Bahai dan lain-lain), serta tradisi-tradisi atau agama lokal yang
lain selain yang disebut diatas.
Lantaran rumit dan kompleknya situasi yang dihadapi
maka pendekatan antropologi terhadap
agama diperlukan untuk memberi
wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang
entitas dan substansi agama yang sampai sekarang
masih dianggap sangat penting untuk membimbing
kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial,
politik maupun budaya para penganutnya. Diperlukan ‘peta’ wilayah yang
cukup jelas sebelum masuk ke jantung kota yang sangat kompleks, minimal untuk
mengetahui jalan-jalan protokol supaya tidak tersesat jalan, shukur kalau
dapat diperoleh dan dilengkapi peta yang lebih detil sampai menjangkau ke
jalan-jalan kecil, gang-gang, nomor rumah yang dituju dan begiutu
seterusnya. Pendekatan antropologi terhadap entitas keberagamaan
dan entitas keilslaman adalah ibarat pembuatan peta yang dimaksud. Pendekatan
antropologi bersikap deskriptif, melukiskan apa adanya dari realitas yang
ada, dan bukannya normative , dalam arti tidak ada keinginan dari
si pembuat peta untuk mencoret, menutup atau tidak menggambar atau
menampilkan alur jalan yang dianggap kira-kira tidak enak atau berbahaya
untuk dilalui. Pendekatan antropologi harus bersikap jujur, apa adanya, tanpa
ada muatan interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis,
agam, gender, minoritas-mayoritas) untuk tidak membuat peta
(keagamaan manusia) apa adanya. Disini bedanya dari corak pendekatan Teologi
(dalam Kristen) atau Kalam dan fikih (dalam islam) lama, yang kadang tidak
ingin menampilkan gambar dan peta keagamaan apa adanya karena adanya
interes-interes golongan keagamaan (sekte, madzhab, organisasi
keagamaan)- seperti penekanan pentingnya pada sejarah penyelamatan (salvation
history) yang ditawarkan oleh agama tertentu dengan mengesampingkan
agama- agama lain- sehingga peta atau gambar yang dibuat menjadi
kabur dan tidak begitu jelas untuk melihat agama-agama secara
utuh-komprehensif. Jika memang begitu, lalu apa yang dimaksud dengan pendekatan
antropologi terhadao agama, atau sebutlah pendekatan antropologi agama?
Ciri Fundamendal Cara Kerja Pendekatan Antropologi
Setidaknya ada 4 (empat) ciri
fundamendal cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama. Pertama,
bercorak descriptive, bukannya normatif. Pendekatan
antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work),
berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang
diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam.
Inilah yang biasa disebut dengan thick description (pengamatan
dan observasi di lapangan yang dlakukan secara serius, terstuktur , mendalam
dan berkesinambungan). Thick description dilakukan dengan
cara antara lain Living in , yaitu hidup bersama masyarakat
yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam
waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bisa
bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkansecara akademik. John R Bowen, misalnya, melakukan
penelitian antropologi masyrakat muslim Gayo,di Sumatra, selama
bertahun-tahun. [1] Begitu juga dilakukan oleh para antropolog
kenamaan yang lain , seperti Clifford Geertz. Field note research
(penelitian melalui pengumpulan catatan lapangan) dan bukannya
studi teks atau pilologi seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis
adalah andalan utama antropolog. Talal Asad menggambarkan kerja antropologi
sebagai berikut:
“Anthropologists who seek to describe rather than
to moralize will consider each tradition in its own term-even as it has
come to be reconstituted by modern forces – in order to compare and contrast
it with others. More precisely, they will try to understand ways of
reasoning characteristic of given traditions. Such anthropologists will also
need to suppress their personal distaste for particular traditions
if they are to understand them. Beyond that, they should learn to treat some of
their own Enlightenment assumptions as belonging to specific kinds of
reasoning- albeit kinds of reasoning that have largely shaped our modern world-
and not as the ground from which all understanding of non-Enlightenment
traditions must begin”.[2]
Kedua, Yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi
adalah local practices , yaitu praktik konkrit dan nyata di
lapangan.[3] Praktik hidup yang dilakukan
sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih –lebih ketika
manusia melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam
menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang
dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
tersebut (rites de pessages) ? Persitiwa kelahiran,
perkawinan, kematian, penguburan . Apa yang dilakukan oleh manusia ketika
menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut?
Ketiga, antropologi selalu mencari keterhubungan dan
keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih utuh (connections
across social domains). Bagaimana hubungan antara wilayah
ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Kehidupan tidak dapat
dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan
manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat
berdiri sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
Keempat, comparative. Studi dan
pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial,
budaya dan agama-agama. Talal Asad menegaskan lagi disini bahwa “What is
distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded
concepts (representation) between societies differently located in time or
space. The important thing in this comparative analysis is not their origin
(Western or non-Western), but the forms of life that articulate them,
the power they release or disable.” [4] Setidaknya, Cliffort Geertz pernah
memberi contoh bagaimana dia membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan
Marokko. Bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang
terpokok adalah untuk memperkaya perspektif dan memperdalam bobot
kajian. Dalam dunia global seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat
membantu memberi perspektif baru baik dari kalangan outsider
maupun outsider.[5]
Meskipun menyebut local practices untuk era
globalisasi sekarang adalah debatable, tetapi ada empat rangkaian
tindakan keagamaan yang perlu dicermati oleh penelitian antropologi.
Pertama, adalah bagaimana seseorang dan atau kelompok melakukan
praktik-praktik lokal dalam mata rantai tindakan keagamaan yang terkait
dengan dimensi social, ekonomi, politik, dan budaya. Sebagai contoh ada
ritus baru yang disebut “walimah al-Safar”, yang biasa dilakukan
orang sebelum berangkat haji. Apa makna praktik dan tindakan lokal
ini dalam keterkaitannya dengan agama, sosial, ekonomi, politik dan budaya? Religious
ideas yang diperoleh dari teks atau ajaran pasti ada di balik
tindakan ini. Bagaimana tindakan ini membentuk emosi dan
menjalankan fungsi sosial dalam kehidupan yang luas?. Bagaimana
walimah safar yang tidak saja dilakukan di rumah tetapi juga di
laksanakan di pendopo kabupaten? Oleh karenanya, keterkaitan dan keterhubungan
antara local practices, religious ideas, emosi individu dan
kelompok maupun kepentingan sosial – poilitik tidak dapat dihindari.
Semuanya membentuk satu tindakan yang utuh.
Dengan demikian, pendeka an antropologi dalam dalam
studi Islam sangatlah diperlukan. Islam dimaksud disini adalah Islam yang telah
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari , Islam yang telah melembaga dalam
kehidupan suku , etnis, kelompok atau bangsa tertentu, Islam yang
telah terinstitusionalisasi dalam kehidupan organisasi sosial, budaya,
politik dan agama . Islam yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat yang
menganut madzhab-madzhab, pengikut berbagai sekte,
partai-partai atau kelompok-kelompok kepentingan tertentu.
Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di lapangan
akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai paham dan
penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil
masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun
internasional.
Praktik Kehidupan, Konteks dan Keanekaragaman
Dalam kacamata antropologi agama, agama adalah ‘Ideas and
practices that postulate reality beyod that which is immediuately available to
the senses” [6] (Agama adalah sekumpulan ide-ide atau
pemikiran dan seperangkat tindakan konkrit sehari-hari yang didasarkan
atas postulasi atau keyakinan kuat adanya realitas yang lebih
tinggi berada di luar alam materi yang biasa dapat dijangkau
langsung dalam kehidupan materi). Apa yang disebut agama, dalam praktiknya,
memang sangat berbeda dari satu masyarakat pemeluk agama tertentu ke masyarakat
pemeluk agama yang lain, baik yang menyangkut sistem kepercayaan yang diyakini
bersama, tingkat praktik keagamaan yang dapat melibatkan emosi para
penganutnya, serta peran sosial yang dimainkannya. Agama-agama Abrahamik
dan non-Abrahamik, dan lebih-lebih agama-agama lokal yang lain adalah sangat
berbeda dalam penekanan aspek keberagamaan ysng dianggap paling penting
dan menonjol. Ada yang menekankan pentingnya sisi ketuhanan (deities
atau spirits), ada yang lebih menekankan kekuatan impersonal (impersonal
forces) yang dapat menembus dunia alam dan sosial, seperti yang
dijumpai di agama-agama di Timur. Atau bahkan ada yang tidak memfokuskan pada
sistem kepercayaan sama sekali, tetapi lebih mementingkan ritual.
Pada umumnya, hasil field note research
di lapangan dari berbagai kawasan, para antropolog hampir menyepakati bahwa
agama melibatkan 6 dimensi : l) perform certain activities (Ritual), 2) believe
certain things ( kepercayaan, dogma), 3) invest authority in certain
personalities (leadership; kepemimpinan), 4) hallow certain text (kitab suci,
sacred book), 5) telling various stories (sejarah dan institusi) , dan 6)
legitimate morality (moralitas). Ciri paling menonjol dari studi agama –
yang membedakannya dari studi sosial dan budaya, adalah keterkaitan
keenam dimensi tersebut dengan keyakinan kuat dari para
penganutnya tentang adanya apa yang disebut dengan “non-falsifiable
postulated alternate reality” (Realitas tertinggi yang tidak dapat
difalsifikasi)[7] Keenam dimensi keberagamaan tersebut jika
dikontekskan dengan agama Islam, maka kurang lebih akan menjadi sebagai berikut
: 1) Ibadah, 2) Aqidah, 3) Nabi atau Rasul, 4) al-Qur’an dan al-Hadis 5)
al- Tarikh atau al-Sirah dan 6) al-Akhlaq. Keenam dimensi tersebut lalu
dikaitkan dengan Allah (yang bersifat non-falsifiable alternate reality) juga.
Sebutlah ke enam dimensi tersebut – peneliti dan
sarjana studi agama lain bisa menambah atau menguranginya – sebagai General
Pattern dari agama-agama dunia, tetapi begitu keenam dimensi
keberagamaan manusia tersebut masuk ke wilayah praktik sehari-hari
di lapangan, maka ia akan masuk ke wilayah Particular Pattern.[8] Wilayah Partcular Pattern dari
agama-agama tersebut adalah ketika agama bergumul dan masuk
dalam dalam konteks perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya,
juga geografi, perbedaan iklim dan kondisi alam yang berbeda-beda.
Semuanya akan jatuh ke wilayah diversitas atau kepelbagaian. Dalam pandangan
studi agama, lebih-lebih dalam perspektif antropologi agama, agama-agama di
dunia tidak ada yang sama. Kepelbagaian ada disitu. Dalam local practices
dari ke enam dimensi tersebut, yang ada hanyalah kepelbagaian dan
keanekaragamaan. Tapi, dengan muncul dan tumbuhnya kesadaran akan
pentingnya martabat kemanusiaan (human dignity), maka para
tokoh agama-agama tersebut juga menggarisbawahi pentingnya
General Pattern (atau, dalam bahasa Islam : Kalimatun sawa)[9] yang ada di balik diversifikasi Partcular
Pattern tersebut.
Penelitian dan studi antropologi agama akan sangat
membantu memahami akar-akar kepelbagaian (diversity) dalam
berbagai hal : kepelbagaian dalam menginterpretasi teks, perbedaan
ritual peribadatan, model-model kepemimpinan, perjalanan kesejarahan,
perkembangan kelembagaan agama, bagaimana pengetahuan dan ide-ide (
gender, hak asasi manusia, kemiskinan, lingkungan) didistribusikan
dan disebarluaskan dalam masyarakat luas lewat organisasi
sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga pendidikan, bagaimana keadilan
dan kesejahteraan diperbincangkan. Akan dapat dijelaskan dan
direkonstruksi kembali bagaimana praktik keagamaan (Local practices)
pada tingkat lokal dalam keterkaitannya dengan pelbagai macam penafsiran
oleh para tokoh (da’I, kyai, dosen, pemangku adat, tokoh agama, guru,
dosen) dan pemangku kepentingan lainnya serta akibatnya dalam
perbedaan kehidupan sosial. Dengan bantuan pendekatan antropologi,
semua kepercayaan agama terbuka untuk diperdebatkan dan
ditransformasikan kearah yang lebih baik-humanis. Dan ketika semua aktor
terlibat dalam perdebatan dan penjelasan tersebut , maka akan membawa
kepada pemahaman bahwa agama-agama sangat terbuka untuk
kemungkinan-kemungkinan[10] baru yang lebih kondusif untuk kesejahteraan
manusia di muka bumi.
Studi Islam dan Antropologi
Apa yang dibicarakan diatas menenui relevansinya
dengan perkembangan terakhir studi hukum Islam dan usul fikih pada
umumnya. Adalah Jasser Auda yang membuka perspektif baru tentang
bagaimana sesungguhnya peran para jurist dan fakih dalam
menentukan corak, perbedaan interpretasi serta tingkat kedalaman
pemahaman keagamaan.[11] Diuraikan bahwa terjadi pergeseran pemahaman
dan peran yang dimainkan oleh para fuqaha dalam setiap jaman.
Sebenarnya hal ini tidak baru, karena para fuqaha lama sudah
menjelaskannya. Yang penulis anggap baru adalah cara menjelaskan
dan perangkat keilmuan yang diikutsertakan yang berbeda dari uraian
terdahulu. Para pembaca semakin disadarkan betapa diversitas dan pluralitas
pemahaman keagamaan itu adalah memang begitu adanya dan perbedaan tafsir
keagamaan adalah min lawazim al hayah. Jika realitasnya memang
begitu, maka bagaimana cara para pemimpin agama menyikapi dan
mengantisipasinya? Bagaimana agama dijelaskan oleh para guru agama, para
kyai, para dosen, para tokoh dan pimpinan organisasi sosial keagamaan di era
global seperti sekarang ini ? Apakah fikih aghlabiyyah (fikih mayoritas) harus
berlalu pada wilayah fikih aqalliyyah (minoritas), misalnya? Ada semacam living
Qur’an dan living Sunnah atau Hadis yang berbeda dari satu wilayah
ke wilayah yang lain.
Pada era fikih era tradisional digambarkan
bahwa peran fakih (para ahli agama) dianggap sederajat dengan Syariah,
dan seolah-olah sederajat pula dengan al-Qur’an dan al Sunnah (Prophetic
tradition).Bahkan apa yang disebut Prophetic tradition pun tidak
atau belum dibedakan antar berbagai klasifikasi al-Hadis . Hadis-hadis
misoginik, misalnya, dijadikan satu atau sederajat dengan hadis-hadis lain.
Sedangkan pada era fikih era modernitas,
secara jelas sudah mulai dibedakan antara apa yang disebut Revealed Syariah,
dengan al-Qur’an dan Prophetic tradition disatu sisi dan peran Fakih
di sisi yang lain. Dalam wilayah Prophetic tradition juga sudah dapat
dipilah-pilah, mana Hadis yang matan nya dapat diterima dan mana yang kiranya
tidak dapat diterima, sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan literacy
umat manusia. Sedang Fikih (pemahaman keagamaan Islam dan praktiknya di
lapangan oleh seorang fakih) pun sudah jelas dimana tempatnya. Dia
sudah jelas berada di luar wilayah apa yang disebut dengan Revealed
Syariah.
Sedangkan para era pemahaman fikih era
postmodernitas, selain menggarisbawahi yang ada pada era Modernitas,
tetapi peran fakih jauh lebih jelas lagi perannya dalam memahami agama.
Yang baru disini adalah bahwasanya pemahaman para ahli hukum agama (jurist),
selain terinspirasi oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi dia sesungguhnya
sangat dipengaruhi oleh pandangan hidupnya sendiri, lingkungan yang ada
disekitarnya, bahkan tingkap ilmu pengetahuan yang dimiliki umat manusia saat
itu. Faktor-faktor inilah yang ikut membentuk pandangan hidupnya. (Competent
Worldview). Sedang Competent worldview nya sangat dipengaruhi
oleh tingkat penguasaan ilmu pengetahuan (Sciences), baik pengetahuan
alam, sosial, budaya dan humanitas kontemporer yang mengelilinginya). Artinya
penafsiran teks-teks kitab suci dan juga al-sunnah dan al-hadis sangat
bersifat lokal. Yaitu lokal dalam arti ditentukan oleh tingkat penguasaan ilmu
pengathuan sang jurist itu sendiri. Dan Fikih tidak bisa tidak adalah
sangat ditentukan oleh kondisi lokal (sosial, politik, budaya, ekonomi),
ilmu pengetahuan yang dikuasi oleh para ahli hukum agama (jurist)
tersebut.
Dan sangat dimungkinkan munculnya diversifikasi dan
kepelbagaian interpretasi dalam beragama. Dalam tingkat terakhir
ini, menurut hemat penulis, pendekatan antropologi agama dapat membantu dan
bahkan bekerjasama dengan studi Islam untuk menjelaskan dan melerai
berbagai isu yang sulit dipecahkan atau dijelaskan dengan hanya menggunakan
salah satu pendekatan saja , apalagi pendekatan kekuasaan, pendekatan mayoritas
– minoritas, tanpa mengaitkan dan mempertautkan antara Fikih dan Usulnya
dengan antropologi agama.
Cupuwatu, Yogyakarta, 12 Januari 2011
[1]John R. Bowen, Religions in Practice: An
Approach to the Anthropology of Religion, Boston, Allyn and Bacon,2002,
h. 2
[2]Talal Asad, Genealogies of Religion:
Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Baltimore
and London, The Johns Hopkins University Press, l993, h.200. Garis bawah dari
penulis.
[3]Ketika disebut local practices
(praktik-praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor di
lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal), maka
disinilah masalah terbesar, untuk tidak menyebutnya denga
ketegangan, dalam studi Islam muncul. Dalam studi Islam, khususnya dari
literatur hadis dikenal istilah “bid’ah” – baik yang hasanah maupun
sayyiah.Dengan sedikit menyederhanakan, praktik lokal dianggap keluar
dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut antropolog justru praktik
lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-sungguh untuk
dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh.
[4]Talal Asad, Formations of the Secular:
Christianity, Islam, Modenity, Stanford, California, Stanford
University Press, h.17, Cetak miring dari penulis.
[5]Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious
Studies: Review Essay,” , dalam Richard C. Martin (Ed.), Approaches to
Islam in Religious Studies, Tucson, The University of Arizona Press,
l985, h. 196. Juga Kim Knott, “Insider/Outsider perspectives” dalam John R.
Hinnells, The Routledge Companion to the Study of Religion,
London and New York, Routledge, 2005, h.243-255.
[6]Sudah barang tentu banyak sekali definisi agama yang
diajukan oleh para teolog maupun para ahli studi agama, dan lebih-lebih para
antropolog agama. Definisi tersebut diatas diambil dari John R. Bowen,
op.cit, h. 5
[7]James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of
Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates,
London and New York, The Continuum International, Publishing Group,
2006, h.236.
[8]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin,
“Islam and Religious Studies: An Introductory Essay”, dalam Richard C. Martin
(Ed.), ibid. , h. 7-8.
[9]Upaya baru yang digalakkan oleh para ulama dan
muslim scholars di seluruh dunia untuk menggarisbawahi kembali General
Pattern Kalimatun Sawa’ (Common Word) tersebut. Lebih lanjut
Waleed El-Ansary and David K. Linnan (Ed.), Muslim and Christian Understanding:
Theory and Application of “A Common Word”, New York, Palgrave
Macmillan, 2010.
[10]Diolah kembali dari tulisan Richard C. Martin
“Islam and Religious Studies: An Introductory Essay” dalam Richard C. Martin
(Ed.), ibid. h. 7-8.
[11]Jasser Auda, Maqasid al-Syariah as
Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London, The International
Institute of Islamic Thought, 2008.
0 komentar:
Posting Komentar