Manusia
itu makhluk yang senang menciptakan permainan. Hidup ini tidak saja diisi
dengan bekerja, tetapi juga bermain. Bahkan bagi sekelompok orang,bekerja dan
bermain itu telah menyatu, bagaikan gula telah menyatu dengan air di dalam
gelas, seperti halnya atlet dan seniman.
Homo ludens, kata Johan Huizingga, seorang filsuf Belanda. Man the player atau
playing man. Naluri untuk bermain ini tetap melekat sejak anak sampai
orang tua. Dan naluri ini bahkan telah ditangkap oleh pebisnis kelas dunia.Yang
paling spektakuler adalah permainan sepak bola. Di situ bertemu sekian banyak
variabel. Ada unsur hobi, bisnis, seni , nasionalisme, politik, perang
festival, rekreasi, dan sekian banyak variabel lain.
Manusia sebagai homo ludens
juga ditangkap oleh pencipta teknologi telepon genggam dan komputer. Di
mana-mana orang bisa hanyut asyik bermain-main dengan fitur yang tersedia dalam
telepon genggam, yang menyajikan sekian ragam permainan yang selalu berkembang
dari tahun ke tahun. Hampir dalam semua permainan yang bersifat publik terdapat
beberapa elemen pokok yang sama, yaitu sebuah perjuangan dan kompetisi mencipta
prestasi,berupa skor sebanyak mungkin untuk meraih kemenangan dan keunggulan
dari yang lain secara terbuka dengan mengikuti aturan baku yang dikawal oleh hakim
dan disaksikan publik.
Antusiasme pemain, suporter, taat
aturan, sportif, dan merayakan kemenangan merupakan festival kehidupan yang
akan mudah dijumpai dalam masyarakat mana pun di dunia. Terlebih ketika
permainan itu telah menjadi bagian dari proyek industri bisnis dan simbol
nasionalisme. Maka unsur ideologi dan mafia juga akan berusaha menyelinap masuk
dalam sebuah pertandingan akbar.
Haus kemenangan, popularitas, dan
uang merupakan bahan bakar yang membuat perhelatan pertandingan olahraga
seperti halnya sepak bola kelas dunia menjadi semakin heboh mampu menyedot
perhatian dunia. Bintang-bintang baru tampil susul-menyusul beradu keunggulan.
Ambil saja contoh kasus sepak bola.Ini sebuah proses metamorfosis kehidupan
yang luar biasa, yang semula merupakan perang tanding antarkelompok masyarakat
tribal dengan target membunuh lawan sebanyak mungkin, lalu dijinakkan menjadi
perang tanding terbuka dan sangat menarik ditonton.
Jika dahulu dalam peperangan
tribalisme yang hendak dibunuh adalah manusia, sekarang diganti berupa
memasukkan “anak panah” bola agar masuk ke “jantung” gawang lawan. Ketika itu
terjadi,sang pembunuh (striker) akan mengalami sebuah ekstasi,
perasaan bahagia yang tak terhingga yang diekspresikan dalam gerak loncat,
kepalan tangan ke atas, teriakan, joget-joget atau lari mendekati suporter. Dan
suporter pun teriak gemuruh meluapkan emosi kesenangan atas “kematian”lawan.
Jadi sesungguhnya terjadi sebuah
simbiosis dan hubungan dialektis antara kehidupan dan permainan sehingga
keduanya merupakan sebuah drama dengan beragam adegan dan perubahan emosi yang
fluktuatif.Pelajaran dan pesan paling mendasar dari permainan bola adalah
mengelola dan mengendalikan naluri, semangat dan ambisi untuk menundukkan lawan
dengan setia pada aturan, keindahan bertanding, sportif yang kesemuanya
ditampilkan dalam suasana festival.
Oleh karena itu sepak bola dan
kontestasi politik sangat mirip anatomi dan semangatnya. Hanya saja, teori
sepak bola dan demokrasi yang berkembang dan dilaksanakan di beberapa negara Barat
ketika dilaksanakan di Indonesia proses dan hasilnya banyak terjadi
penyimpangan sehingga tidak menarik ditonton, bahkan kadang kala menyebalkan.
Tak beda dari sepak bola yang ribut
melulu dan diduga banyak mafia judi yang ikut mengatur skor, dalam kontestasi
pemilu dan pilkada juga seperti itu. Mengapa bangsa ini lambat melakukan
metamorfosis untuk berkembang dan maju seperti bangsa-bangsa lain?
0 komentar:
Posting Komentar