Memaknai Jejak-jejak Kehidupan



SETIAP malam menjelang tidur, saat bersiap merebahkan badan untuk istirahat malam, kadangkala saya berdialog dengan bantal sambil saya usap-usap.
Rasanya sangat singkat waktu berlalu, semalam engkau menyangga dan membelai kepalaku mengantarkan tidur dan sekarang ketemu lagi denganmu. Serasa masih hangat bekas kepalaku melekat pada sarungmu ini. Terima kasih, bantalku sayang.
Ungkapan di atas mungkin terasa sentimentil, layaknya buku harian yang ditulis oleh anak belasan tahun. Tetapi itulah yang kadang terjadi pada diri saya. Setiap malam merenung sejenak, apa yang saya lakukan hari ini? Setiap hari kita semua menghabiskan jatah umur 24 jam, semuanya sama rata, adakah orang baik atau jahat, pintar atau bodoh, sakit atau sehat, presiden atau rakyat jelata semuanya sama.
Dua puluh empat jam. Meski jatah umur sama, pikiran, ucapan, tindakan, dan akibat yang dihasilkan berbeda. Dalam bahasa Arab, kata umur seakar dengan kata makmur. Jadi, setiap hari mestinya seseorang membuat prestasi menciptakan devisa, nilai tambah atau kemakmuran, minimal buat dirinya sendiri.
Syukur-syukur untuk keluarga, masyarakat, negara, dan bangsa. Menarik untuk dilakukan penelitian, rata-rata setiap orang berbicara berapa ribu kata setiap harinya, lalu dari sekian ribu kata yang membentuk kalimat itu, berapa persen yang bermutu dan bermanfaat, dan berapa persen yang tidak bernilai, bahkan menimbulkan problem dan sakit hati bagi sesamanya? Dalam ajaran agama, tak ada kata yang hilang dari catatan malaikat.
Dari kajian neuropsikologi, semua pikiran dan perkataan terekam dalam jaringan sel-sel syaraf neuron. Pikiran dan perkataan itu pada urutannya akan melahirkan sistem makna dan simbol yang antara lain diabadikan dalam buku, dongeng, dan tradisi lisan. Dari pikiran dan perasaan, muncullah tindakan.
Dengan demikian manusia tidak saja tinggal di dalam rumah dalam bentuk bangunan fisik, melainkan juga tumbuh dan berkembang dalam rumah budaya yang dibentuk dengan sistem simbol dan makna. Lebih dari itu, kita juga ikut membangun, memperbaiki, dan kadangkala merusak rumah budaya yang kita tempati.
Bangunan makna dan simbol yang sangat kokoh dan sulit berubah adalah agama. Agama sebagai tempat tinggal dan tumbuh sifatnya abstrak, tetapi dampak eksistensi dan bayangannya sangat nyata. Sekian ribu peperangan dan tindakan kekerasan yang berdarah-darah seringkali digerakkan oleh dan muncul dari ranah agama.
Sekali lagi, keyakinan agama itu abstrak, tetapi gerakan yang dimunculkan sangat nyata dan dahsyat sekali kekuatannya. Pertanyaannya, perjalanan kita dari jam ke jam, hari ke hari,minggu ke minggu,dan seterusnya dari tahun ke tahun, apakah dipandu oleh komitmen untuk meraih hidup bermakna dan berdaya guna ataukah sekadar beraktivitas layaknya hewan yang digerakkan oleh naluri untuk tumbuh dan makan serta mengejar kenikmatan fisik belaka?
Apakah kita sudah merasa nyaman tinggal dalam rumah institusi dan tradisi agama yang telah mapan ataukah yang lebih penting lagi hidup dengan nilai,spirit,dan intuisi agama untuk menjelajahi kehidupan nan luas ini? Rumah budaya dan institusi agama tentu sangat bermakna untuk dijaga.
Namun tak kalah pentingnya adalah melakukan eksplorasi kehidupan untuk partisipasi membangun peradaban agar anak-cucu kita suatu saat akan menerima warisan tradisi dan budaya serta rumah Indonesia ini dalam keadaan yang bagus dan sejahtera baik material, psikologikal maupun spiritual.
Lebaran lalu saya dan istri berada di Selandia Baru.Meski hanya seminggu di sana,ada kesan dan cerita yang valid dari teman-teman di sana bahwa kehidupan di Selandia Baru sangat damai,nyaman, dan indah, baik lingkungan sosial maupun alamnya.
Orangtua merasa beruntung mendapatkan pendidikan yang bagus bagi anak-anaknya dengan ongkos sangat murah. Ketika berada jauh dari Indonesia, terbayang sosok dan suasana rumah Indonesia yang mengundang gemas dan kasihan.
”Rakyat Indonesia itu miskin di tengah alamnya yang kaya raya,” komentar teman dengan gemas. Belum lama ini seorang teman dari Jepang juga berkomentar sama. Mestinya negara-negara Asia itu meminta bantuan dari Indonesia, bukan sebaliknya, karena kekayaan alam maupun jumlah tenaga kerja yang melimpah.
Demikianlah, baik sebagai individu maupun bangsa, setiap saat mestinya kita terpanggil untuk merenung dan memaknai apa yang kita rasakan, pikirkan dan lakukan setiap harinya. Begitu pun para politikus yang sekarang tengah bergairah, sibuk, dan bingung menyikapi perkembangan negara dan bangsanya.
Kualitas hidup macam apakah yang mereka kejar? Apakah sekadar mencari popularitas dan kedudukan meski dengan ongkos uang dan moral yang amat mahal? Kalau sudah tercapai, benarkah untuk memajukan bangsanya ataukah hanya sebuah pemenuhan ilusi semu untuk meraih self-glory?
Kadang terpikir, berapa miliar dan triliun dana dihabiskan untuk iklan promosi diri dan partainya? Apakah semua itu dikeluarkan dengan tulus untuk meramaikan demokrasi tanpa mengharapkan kembali ataukah sebuah investasi dengan bayangan keuntungan berlipat setelah meraih kemenangan politik?
Bukankah ada ungkapan, high risk-high profit? Bagaimana jadinya andaikan mereka yang telah mengeluarkan dana miliaran itu kalah dalam kompetisi politik? Begitu banyak peristiwa dan fenomena harian yang mendorong kita untuk merenung dan memaknainya.
Terlebih di saat suasana sosial, ekonomi, dan politik dirasa membingungkan dan pengap, diperlukan kiat untuk bermeditasi, mengambil jeda dan jarak barang sejenak lalu menata ulang keharmonisan hati, pikiran, ucapan, dan perilaku agar kita semua tumbuh semakin manusiawi.Agar hari-hari kita semakin bermakna.
Agar setiap jejak langkah didorong oleh niat yang mulia dan menghasilkan tindakan yang produktif dan bermanfaat bagi sesama. Setiap detik kaki kita melangkah ke depan menapaki lorong waktu. Namun adakalanya emosi dan pikiran terjerat atau bahkan berbalik ke masa lalu.
Kalau ini terjadi pada tataran bernegara, di saat bangsa dan negara lain tengah bermainmain dengan pesawat ulangalik ke angkasa, kita sedang hobi melakukan pemekaran jumlah partai politik dan kabupaten untuk tujuan dan target yang tidak jelas,tetapi dengan ongkos yang amat mahal.
Demokrasi itu bagus, sebagaimana sejarah telah membuktikan.Tetapi ”puber demokrasi” dan ”puber politik” itu norak dan menghambat kemajuan bangsa kalau tidak segera diakhiri. Almarhum Adam Malik pernah bilang, Indonesia itu senang meniru dan mengimpor kebudayaan negara lain yang dipandang maju.
Tetapi sangat disayangkan, kata Adam Malik, yang ditiru dan diimpor adalah sampahnya. Dari negara komunis bukan disiplinnya, tetapi otoriternya. Dari negara Barat bukan tradisi taat pada hukum dan undang-undang, melainkan kebebasannya. Jadi, bagaimana kita memaknai semua ini? (*)
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia 10 Oktober 2008.

Komaruddin Hidayat

0 komentar:

Posting Komentar