Pada mulanya, aktor sentral dalam
ibadah haji adalah Ibrahim, Ismail dan Hajar. Lewat tiga figur inilah
Allah ingin memberikan pelajaran dan pesan suci umat beragama, khususnya umat
Islam, bagaimana meraih keislaman yang total, yaitu sikap penyerahan diri pada
Allah meskipun pada awalnya dirasakan sangat berat dan menyakitkan. Demi
menuruti kehendak Allah Ibrahim mesti tegar dan tega menyembelih anak
kandungnya sendiri, Ismail. Drama hidup inilah yang kemudian diabadikan dalam
serangkaian ibadah haji. Melalui ibadah haji seorang mukmin diperintah untuk
membunuh berhala-hala egoisme yang terproyeksikan dalam bentuk kecintaan pada
dunia agar tidak menghalangi kecintaan dan ketaatannya kepada Allah.
Pesan Allah yang begitu mulia dan sangat berat ini
oleh Nabi Ibrahim diperankan dengan sangat dramatis dan berbenturan dengan
logika manusia. Betapa tidak, dia akhirnya sampai pada tekad yang tak
terhalangi untuk menyembelih putranya tercinta, meski syaitan telah berusaha membujuknya,
namun Ibrahim akhirnya menang. Ini semua dilakukan semata karena perintah
Allah. Mengingat adegan ibadah haji hampir seluruhnya mengenang dan menapak
tilas ajaran Ibrahim, maka sesungguhnya pesan haji ini juga berlaku bagi umat
Yahudi dan Nasrani. Dalam konteks ini maka jelas bahwa yang paling setia untuk
menjaga warisan Ibrahim bukannya umat Yahudi dan Nasrani, melainkan umat Islam.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, suatu hari Tuhan
berdialog dengan Musa. “Hai Musa, engkau mengaku beriman dan cinta pada-Ku,
tetapi engkau tidak peduli dan tidak mau menolong-Ku yang tengah kedinginan,
lapar, sakit, dan kesepian,” Dalam suasana takut dan bingung, Musa pun
menjawab, “Ya Tuhanku Yang Maha Agung, mana mungkin Engkau kedinginan, lapar,
sakit, dan kesepian? Bukankah jagat raya seisinya ini milik-Mu dan Engkau tidak
memerlukan semua ini?”
Maka, Tuhan menjawab, “Dengarkan baik-baik hai Musa.
Jika engkau memberi pakaian, makanan, obat-obatan, dan menghibur hamba-Ku yang
tengah dirundung duka dan derita, maka sama halnya engkau menolong-Ku karena
Aku selalu berada bersama dan di tengah mereka yang selalu berdoa pada-KU
mengadukan penderitaannya”.
Riwayat di atas mudah dijumpai dalam himpunan hadis
qudsi bahwa sesungguhnya kalau seseorang ingin dekat pada Allah, dekatilah para
fakir miskin dan mereka yang tengah teraniaya. Semangat untuk mendekat (taqarrub)
kepada Tuhan ini merupakan salah satu inti ajaran Nabi Ibrahim yang kemudian
diteruskan oleh Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Melalui Nabi Ibrahim,
Tuhan memberi pelajaran dan ujian pada kita semua, janganlah kecintaan pada
anak, yang merupakan simbol dan objek kecintaan duniawi, mengalahkan cinta kita
pada-Nya.
Setelah Ibrahim membuktikan kecintaan dan
kepasrahannya pada Allah, Maka Allah pun mengganti obyek yang disembelih
bukannya Ismail, melainkan diganti dengan domba, yang kemudian peristiwa
penyembelihan ini diabadikan dengan nama Idul Adha, hari raya menyembelih hewan
kurban. Hari raya ini juga dikenal sebagai Idul Kurban yang arti harfiahnya
adalah hari pendekatan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan. Caranya? Jika ingin
dekat pada Allah, dekatilah dan sayangilah orang miskin. Bantulah mereka,
ringankanlah beban hidup mereka.
Dengan memotong dan membagi hewan kurban, seorang
mukmin berusaha mendekati Tuhan dan sekaligus juga menjalin kedekatan dengan
orang-orang miskin. Jadi, kata kurban – seakar dengan kata karib - pada awalnya
bermakna positif, tetapi dalam bahasa Indonesia berubah menjadi victim
yang berkonotasi negatif.
Secara legal-prosedural menurut tuntunan fikih,
seluruh rangkaian ibadah haji tentu saja dilakukan di Tanah Suci Mekah. Namun,
spirit, pesan dan esensi haji sesungguhya berlangsungnya justru dalam kehidupan
sehari-hari di tanah air. Adegan wuquf di padang Arafah, misalnya. Bukankah
setiap hari kita mestinya meluangkan waktu untuk merenung, meditasi, dan
melepaskan seluruh atribut duniawi agar memperoleh makrifah? Bukankah medan
ngan sejati melempar jumroh dan konfontasi melawan syaitan berlangsung di
ruang-ruang kantor ketika muncul peluang dan godaan untuk korupsi? Bukankah
tawaf yang sejati adalah bagaimana memberi makna agar seluruh aktivitas dari
bangun tidur sampai kembali tidur hanya tertuju untuk memperoleh rida Allah?
Demikianlah, kita ikut berdoa dan berbahagia mendengar teman-teman dan famili
bisa menunaikan ibadah haji, semoga mereka memperoleh haji mabrur. Namun
kualitas dan buah haji itu akan dilihat justeru sepulang dari tanah suci nanti.
Terdapat sepenggal panggilan berhaji dalam Al-Qur’an
yang dimulai dengan “Hai manusia,” bukannya secara eksklusif menyeru “Hai umat
Islam”. Hal ini sedikitnya menunjukkan bahwa mereka yang melaksanakan ibadah
haji mesti masuk pada kesadaran insaniah, yaitu kemanusiaan universal. Mereka
yang telah berhaji haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Lebih
bersikap inklusif.
Mengingat Ibrahim diakui dan dimuliakan oleh ketiga
pembawa agama besar dunia - Yahudi, Kristen, dan Islam - mestinya spirit dan
ajaran yang terkandung dalam ibadah haji juga milik umat Yahudi dan Nasrani.
Alangkah indahnya andaikan, sekali lagi andaikan, penganut tiga agama melakukan
haji bersama untuk menghormati Nabi Ibrahim, Bapak ketiga agama, maka hubungan
antar ketiganya akan menjadi rukun dan damai, bukannya permusuhan. Tetapi,
sangat disayangkan, yang terjadi mereka saling menghujat dan bertikai di mana
pusat pertikaian yang berdarah-darah itu mengambil tempat di kota para nabi,
yaitu wilayah Palestina.
Melalui ritual haji seseorang diajak untuk lebih
menghayati makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi dan abadi. Kain ihram warna
putih tak brjahit tak ubahnya kain kafan pembungkus mayat ketika nanti ketika
ajal. Kita diajak merenung dan menyadari bahwa suatu saat kekayaan apa pun yang
dimiliki, jabatan apa pun yang melekat, dan kepintaran yang dibanggakan akan
sirna. Fisik kita akan membusuk dan mesti segera dikubur agar tidak menjadi
sumber penyakit.
Berbagai sumber krisis dalam politik dan ekonomi di
negeri ini adalah hilangnya semangat untuk berkurban, semangat untuk memberi
dan menolong, lalu yang dominant adalah sikap rakus, tidak malu-malu berburu
barang haram meskipun secara materi sudah kaya. Ibadah haji secara sangat
gamblang memgikatkan kita agar selalu berdamai dan santun dengan sesdama
manusia dan alam serta menghilangklan egoisme, melebur pada gelombang
kemanusiaan sebagaimana terpancarkan dalam pakaian ihram lalu tawaf
mengelilingi Ka’bah. Keakuan lebur dalam kekitaan, pertengkaran lenyap dalam
persaudaraan, semua sujud dan bertawaf bersama sujud dan tawafnya jagat raya.
Inklusivisme beragama sebagaimana yang terkandung
dalam makna dan ritual ibadah haji tidak berarti mengurangi bobot keimanan
seseorang, melainkan justru memasuki esensi ajaran agama yang mengajarkan
prinsip tauhid dan kemanusiaan. Setiap tahun kita merayakan idul adha, mestinya
semangat melaksanakan ritual berkembang menjadi aksi sosial.
0 komentar:
Posting Komentar