SALAH satu kesenangan saya adalah bersilaturahmi,
berbincang-bincang dengan orang yang sudah lanjut usia. Banyak pelajaran yang
amat sangat berharga untuk diperhatikan, mengingat orang tua pernah melalui
masa muda, sementara yang muda belum pernah menjadi tua.
Ketika masih muda, membayangkan perjalanan ke depan
itu terasa jauh, jalannya terjal. Tetapi ketika seseorang telah memasuki usia
lanjut, kata mereka, masa muda serasa baru kemarin berlalu.Waktu berjalan
begitu cepat. Panggung kehidupan berganti aktor dan cerita. Saya memiliki
sahabat sekaligus guru, usianya di atas 80 tahun, biasa saya panggil Pak Iwan,
tinggal di Jakarta Selatan.
Sebagai alumni ITB dia sangat bangga dengan
almamaternya yang senantiasa memelihara semangat Bung Karno untuk berani
menatap dunia dengan kepala tegak. Pak Iwan ini pernah belajar manajemen di AS
dan pernah bekerja sebagai konsultan Bank Dunia untuk Indonesia.
Dia sangat kecewa mengapa kita lebih kagum dan memberi
gaji tinggi kepada konsultan asing, padahal kualitas mereka tidak selalu lebih
baik dari orang Indonesia.“Orang kita lebih hebat dari konsultan asing, tapi
mental bangsa ini sakit, mudah kagum pada bangsa kulit putih,” keluhnya.
Di luar bidang manajemen, yang paling mengesankan bagi
saya adalah kecintaannya pada buku filsafat dan tasawuf. Tiada hari tanpa
membaca, lalu membuat beberapa catatan berupa kesimpulan dan kritik terhadap
buku yang dibacanya. Ketika ada teman yang berkunjung, dengan antusias Pak Iwan
akan berbagi ilmu dan pengalaman hidupnya yang sungguh sangat berharga.
“Sekarang saya lagi jatuh cinta pada Alquran,”katanya.
Menurutnya, terjemahan bahasa Inggris rasanya lebih pas ketimbang bahasa
Indonesia. Struktur dan karakter bahasa Indonesia terasa miskin, kurang mampu
mewadahi gagasan Alquran yang tertuang dalam bahasa Arab.
Saya malu, menyesal namun juga bersyukur, mengapa baru
sekarang setelah usia lanjut baru tertarik dan berkesempatan mendalami
Al-Qur’an dan buku-buku filsafat agama. Dulu saya merasa bangga dan senang
mengoleksi literatur asing yang menyajikan berbagai teori ilmiah kontemporer.
Tetapi setelah membaca terjemahan Al-Qur’an dan
buku-buku filasafat serta tasawuf, kebanggaan tadi lenyap. Semua koleksi
buku-buku itu tak lebih sebagai penafsiran dan elaborasi lebih lanjut dari
kandungan Al-Qur’an. Ada ilmuwan yang sering bersikap sombong menolak agama
dengan dalih ilmiah.
Di pihak lain ada orang yang kurang menghargai sains
modern karena alasan agama.“ Ilmu agama dan sains menawarkan kebenaran,
keduanya datang dari sumber yang sama, dari Tuhan Yang Mahabenar. Jangan
keduanya dipertentangkan. Dulu saya memuja sains, tetapi ternyata terbatas
hanya untuk menyelesaikan masalah teknis kehidupan.
Untuk memaknai dan memahami tujuan hidup, kita mesti
bertanya pada filsafat dan agama, dan semua ini ternyata saya temukan dalam
Al-Qur’an,” katanya. Semakin lanjut usia seseorang, tujuan belajar terasa
semakin ikhlas dan mendalam, yaitu untuk menemukan wisdom of life.Orang tua
yang suka belajar dan akrab dengan Al-Qur’an akan memperoleh kecerdasan
spiritual.
Hari tua dijalani dengan damai dan produktif secara
moral-spiritual, bukan lagi terobsesi dengan kenikmatan materi. Memahami
Al-Qur’an tanpa bantuan ilmu pengetahuan lain, ibarat berburu ikan,hasilnya
tidak akan banyak. Seorang ahli ilmu kedokteran pasti akan lebih peka dan lebih
dalam memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan kesehatan.
Begitu pun sarjana ahli ekonomi, psikologi, dan sains
lain, ilmu yang mereka kuasasi akan menjadi penunjuk jalan yang andal dan teman
dialog yang cerdas untuk menangkap pesan-pesan Al-Qur’an. Kesaksian dan
pengetahuan tentang Tuhan terasa dangkal kalau hanya sekadar ditandai dengan
ikrar dua kalimat syahadat, tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman
beragama.
Kesaksian tentang keesaan dan keagungan Tuhan tentu
lebih terasa mantap kalau seseorang menguasai ilmu alam yang didukung
laboratorium, sehingga lebih menghayati betapa kecilnya manusia di tengah
semesta dan di hadapan Tuhan. Saya merasa iri dan terinspirasi menyaksikan
orang tua yang sudah lanjut usia begitu antusias membaca buku dan lidahnya
semakin sering menyebut asma Allah.
Kalau diisi dengan belajar, berzikir, dan berbagi
dengan yang muda, hari tua bukannya hari-hari kekalahan dan pengangguran,
melainkan justru produktif untuk menambah kualitas hidup.“ Ketika membaca
Al-Qur’an, sering saya dibuat kaget,” kata Pak Iwan.
Banyak formula ayat Al-Qur’an membenarkan teori-teori
yang dia pelajari selama ini,namun ada pula yang mengkritiknya. Kadang dirinya
merasa diinterogasi dan ditelanjangi oleh Al-Qur’an. Semua ini membuatnya
semakin bergairah membaca Al-Qur’an, lalu diperhadapkan dengan teori-teori
ilmiah yang pernah dia pelajari.
Sekian banyak teori ilmiah modern, ternyata di abad
ketujuh sudah dikatakan oleh Nabi Muhammad. Kalaupun ada orang yang tidak
mempercayai kenabian Muhammad, sulit untuk menolak kenyataan bahwa dia seorang
superjenius. Sebab pada abad ketujuh di padang pasir ia bisa mewariskan untaian
kalimat-kalimat yang begitu indah, memancing analisis dan beberapa
pernyataannya sangat visioner.
Rupanya bersyahadat untuk mengenal Tuhan memerlukan
proses dan perjuangan panjang. Untuk melaksanakan perintah iqra’,
membaca, berefleksi, dan berkontemplasi tentang semesta dalam upaya mengenal
Sang Penciptanya, diperlukan kejernihan hati, kecerdasan nalar, dan keluasan
ilmu pengetahuan.
Dan usaha ini tak kenal henti sampai tarikan nafas
terakhir. Memasuki usia lanjut, kekuatan fisik seseorang pasti menurun. Namun
hal itu justru memberikan peluang bagi pengembangan moral-spiritual seseorang.
Bahkan anggota keluarga yang muda akan terinspirasi dan senang melihatnya
karena terjauhkan dari penyakit pikun.
Saya bersyukur dan sangat terinspirasi oleh beberapa
orang tua seperti Pak Iwan itu. Misalnya saja Kyai Ali Yafie yang saya jumpai
belum lama ini.Wajah mereka ceria,matanya selalu bersinar, otaknya sangat
aktif,hatinya selalu terbuka.Kalau diajak bicara selalu mengumbar senyum
kedamaian dan kepasrahan terhadap Tuhan. Beruntung sekali orang seperti itu dan
orang-orang yang menyayangi, menyantuni, dan mau belajar dari mereka mengenai
keagungan hidup dan kompleksitas kehidupan.
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia,
8 Mei 2009
0 komentar:
Posting Komentar