Pengembangan Pendidikan Non Formal Berbasis Kehidupan Beragama*)



Amin Abdullah

Maju mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi maju melebihi bangsa-bangsa lain,  melainkan sesudah mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka. Bangsa Jepang, dan belakangan juga Korea Selatan satu bangsa Timur yang sekarang jadi pusat perhatian orang seluruh dunia lantaran majunya, masih akan terus tinggal dalam kegelapan sekiranya mereka tidak membukakan pintu negerinya, tidak mengatur pendidikan bangsa mereka, dan memanggil orang-orang pintar dan ahli-ahli ilmu negeri lain yang akan memberi didikan dan ilmu pengetahuan kepada pemuda-pemuda mereka disamping mengirim pemuda-pemuda mereka ke luar negeri mencari ilmu (M. Natsir, 1973 : 77).

Tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini dan di masa depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan kita dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif, efisien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini (Zamroni, 2000 : 33).

Dalam konteks pendidikan dan pengajaran kaum muslimin membutuhkan pemikiran yang lebih luas dan mendalam, karena masyarakat Islam bukan sekedar masyarakat yang mengetahui dan mengamalkan ritual atau peribadatan keagamaan saja, yang seolah-olah kurang memperhatikan pengembangan fisik material. Secara idea pengembangan masyarakat Islam harus dapat menjangkau kejernihan dan kearifan ruhani, dan juga pengembangan fisik material yang dapat menjangkau kerahmatan, kehidupan yang makmur, kuat, cerdas dan maju. (Sodiq A. Kuntoro, 2002 : 1).

Undang-undang sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab II, Pasal 3 menegaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lebih lanjut pada bab VI disebutkan, bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya (pasal 13); Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. (pasal 14) Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus (pasal 15). Sedangkan pendidikan nonformal  diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka pendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (pasal 26 ayat 1 dan 3).

Sebagaimana tugas-tugas pendidikan formal dan juga pendidikan informal, maka tugas pendidikan non formal adalah “membantu kualitas dan martabat sebagai individu dan warga negara yang dengan kemampuan dan kepercayaan pada diri sendiri harus dapat  mengendalikan perubahan dan kemajuan (Soelaiman Joesoef, 1986 : 82). Pendidikan non formal memiliki sifat-sifat yang lebih luas daripada pendidikan formal dan informal, seperti : bersifat lebih fleksibel, lebih efektif dan efisien untuk bidang-bidang tertentu, memerlukan waktu yang tidak panjang, mudah dan murah serta dapat menghasilkan dalam waktu yang relatif singkat.

Dalam teori pendidikan disebutkan bahwa belajar adalah sepanjang hayat, life long education. Secara makro, dalam teori ini, pendidikan sekolah ditempatkan dalam porsinya sendiri dan bersifat terbatas apabila diukur dari rentang perjalanan hidup manusia. Sepanjang hayatnya, usia sekolah seseorang terbatas,-begitu pula dalam hidup kesehariannya, jam-jam sekolah/belajar terbatas, meskipun waktu belajarnya sangat panjang; dengan kenyataan belajar/membaca lebih banyak terjadi di luar persekolahan. Malcolm S. Knowles mengajukan beberapa paradigma yang menunjukkan keterbatasan sekolah dan sekaligus kebutuhan akan pendidikan luar sekolah, sehingga diperlukan model pendidikan masyarakat seumur hidup. Beberapa paradigma itu meliputi : (1) Belajar di dalam suatu dunia yang cepat berubah harus merupakan proses seumur hidup, (2) Belajar merupakan suatu proses aktif dengan prakarsa utama dalam diri warga belajar, (3) Maksud pendidikan adalah membantu pengembangan kecakapan yang dituntut untuk kinerja di dalam siatuasi yang hidup, (4) Warga belajar memiliki ragam yang luas dalam hal latar belakang, irama belajar, kesiapan belajar, gaya belajar, oleh karena itu, program belajar perlu diindividualisasikan, ……….. (Tauhid,  1996: 46 – 47).

Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yang merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana dihekendaki  oleh Undang-Undang Dasar 1945, pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib untuk setiap jenjang pendidikan. Melalui perjalanan waktu yang cukup panjang proses penyusunannya, -sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 2003 (diselingi dengan UU No. 2 Tahun 1989)- tampaknya undang-undang tersebut juga merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan pendidikan agama (Islam) ke dalam sistem pendidikan nasional, sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yang selama ini masih berjalan. Oleh karena itu, masalah-masalah pendidikan terutama yang menyangkut kurikulum pendidikan semuanya di bawah koordinasi Departemen Pendidikan Nasional. Dengan demikian, undang-undang tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan agama (Islam) dalam sistem pendidikan nasional, sehingga dengan adanya wadah tersebut, pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus berkembang.

Dewasa ini masyarakat kita dihadapkan dengan berbagai masalah yang tidak mudah ditanggulangi. Di antaranya angka pengangguran yang besar, jumlah penyandang kemiskinan yang tinggi, dan remaja putus sekolah. Selain masalah sosial yang berdimensi ekonomi itu, kita dihadapkan dengan masalah moral keagamaan, seperti penyalahgunaan narkoba, tindak kekerasan yang semakin meningkat, tawuran massal, dan penyimpangan seksual yang semakin nyata. Berbagai gejala seperti disebutkan itu menunjukkan bahwa masalah sosial yang terjadi dewasa ini bersifat multi dimensional dan terkait satu sama lain.

II
Setiap muslim mengemban tugas (sekecil apapun pengetahuannya tentang agama), untuk mengajak orang lain dan menyerukan ke jalan Tuhan. Beberapa prinsip penting dalam pengembangan masyarakat Islam dapat dikemukakan (Sodiq A. Kuntoro, 2002 : 3-6) :

Harus menyentuh dimensi kehidupan material, spiritual, peribadatan, individual dan sosial (Holistik). Terdapat faham yang menyatakan bahwa kehidupan spiritual adalah yang lebih abadi, sedang kehidupan material bersifat sementara. Oleh karena itu pengembangan dan pemeliharaan kehidupan spiritual menjadi bagian sentral dari pengembangan masyarakat Islam. Faham tersebut tidak salah, tetapi perlu dinyatakan  bahwa dimensi kehidupan material juga mempunyai peran penting untuk  membangun peradaban material yang Islami untuk mewujudkan  tugas kekhalifahan manusia di muka bumi yang dapat membawa rahmat bagi umat manusia. Begitu juga dimensi kehidupan individual dan sosial perlu memperoleh perhatian yang stimulan dalam pengembangan masyarakat Islam. Setiap manusia memiliki kecenderungan instinktif yang berbeda satu dengan lainnya. Dia sebagai dirinya sendiri mempunyai hak untuk mewujudkan keinginan, dan ambisi-ambisi dirinya. Tetapi manusia secara individual harus mempertanggungjawabkan perilakunya terhadap lingkungan sosialnya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Membangun kesadaran baru pada masyarakat merupakan suatu keharusan dalam pengembangan masyarakat Islam, yaitu kesadaran kemanusiaan yang mulia dan pembebasan (Kemanusiaan dan Pembebasan). Pengembangan masyarakat Islam masih terus menerus relevan untuk melakukan tugas rekosntruksi sosial dan kemanusiaan. Tema amar makruf nahi munkar masih tetap relevan untuk menjadi nilai dasar dalam pengembangan masyarakat Islam. Kesadaran akan nilai-nilai yang makruf (baik) harus terus menerus diwaspadai dan dihilangkan. Di balik sistem kehidupan selalu terdapat nilai-nilai yang mengaturnya. Oleh karena itu perubahan sistem kehidupan tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada perubahan nilai. Membangun kesadaran baru pada masyarakat adalah suatu keharusan dalam pengembangan masyarakat Islam yaitu kesadaran kemanusiaan yang mulia dan pembebasan.

Pemecahan problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa kesadaran akan nilai-nilai yang menyebabkan munculnya problem sosial (Kesadaran dan Partisipasi). Tidak semua orang dapat memahami permasalahan nilai yang menimbulkan problem sosial. Karena tidak dapat memahami faktor penyebab yang kompleks, maka sering manusia bersifat fatalistik menerima kondisi yang merugikan sebagai suesuatu yang harus diterima dengan sabar. Sikap fatalistik berkembang yang mendorong manusia tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tindakan melakukan perubahan maka langkah awal yang dibutuhkan adalah menumbuhkan kesadaran akan adanya kondisi yang membahayakan. Hal ini dapat dilakukan dengan bimbingan seorang agent (pembimbing) yang bekerja untuk membantu masyarakat, memikirkan secara kritis terhadap permasalahan yang mereka hadapi.

Kunci  penting bagi tercapainya suatu tujuan besar adalah semangat kerjasama (Kerjasama). Pemgembangan masyarakat Islam harus dilakukan oleh manusia, dari manusia, dan untuk manusia. Tetapi manusia tidak mungkin dapat mengembangkan masyarakatnya tanpa kerjasama dengan manusia lain. Perubahan masyarakat harus dilakukan oleh suatu kaum yang  yang merupakan suatu bentuk kerjasama manusia-manusia yang menjadi anggota suatu kaum. Manusia yang bekerja sendiri tanpa kerjsama dengan manusia lain tidak mungkin dapat membuat sejarah besar atau perubahan besar.

Kerja keras, jujur dan disiplin adalah merupakan prinsip penting untuk mencapai tujuan sosial atau individual (Kerja Keras, Jujur dan Disiplin). Manusia secara individual dan manusia yang bekerjasama dalam sebuah kaum harus mengembangkan sikap dan tindakan untuk bekerja keras, jujur, dan disiplin. Tanpa adanya kemampuan untuk kerja keras, jujur, dan disiplin tujuan yang sudah disusun dan disepakati bersama tidak mungkin dapat dicapai.

Dengan demikian, pendidikan merupakan investasi penting dalam pengembangan masyarakat dan diharapkan mampu memandu bagi peningkatan kualitas hidup. Agama menempatkan belajar pada prioritas yang tinggi, seperti perintah untuk mencari ilmu (untuk bekal kehidupan), sejak lahir sampai mati. Melalui pendidikan formal, informal maupun non formal, agama hendaknya mampu mendorong anak didik –pemeluknya agar memiliki kesalehan ritual/individual, kesalehan sosial, menilai pentingnya memupuk rasa solidaritas sosial, mengembangkan sikap anti kekerasan, memelihara keharmonisan hidup bersama dan lain-lain; disamping mampu mengapresiasi tafsir sedekah dalam jangkauan yang lebih luas, seperti : pentingnya pemberian beasiswa, menjadi orangtua asuh, menolong korban banjir, kebakaran, kekeringan, kelaparan, tanah longsor, wabah penyakit, orangtua jompo, korban limbah dan masih banyak lagi.


III
Pendidikan Non Formal meliputi pendidikan pada kelompok belajar, masyarakat dan kursus, jenisnya bermacam-macam. Mengingat terbatasnya waktu belajar di sekolah, prinsip belajar sepanjang waktu dapat disediakan wadah melalui Pendidikan Nono Formal/Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Tujuan pengembangan masyarakat dan pendidikan, secara makro, sama, yaitu tercapainya kondisi kehidupan yang semakin cerdas dan lebih manusiawi.

Proses pembelajaran dengan kesadaran untuk merubah diri sendiri, dilandasi beberapa asumsi : (1) Kita tidak dapat merubah orang lain secara langsung, kita hanya dapat membantu orang lain untuk mengubah diri mereka sendiri; (2) Perubahan membutuhkan pengembangan kesadaran diri (self reliance) dan konsep diri (self concept), yang positif; (3) Manusia akan termotivasi untuk terlibat dalam kegiatan belajar, apabila kegiatan itu dapat memenuhi kebutuhan dan minatnya; (4) Orang berharap dapat mengarahkan perubahan dirinya sesuai dengan yang diharapkan; (5) Kegiatan belajar hendaknya merupakan perpaduan dari kegiatan fisik, fikiran, emosi dan intuisi secara keseluruhan.

Ke depan, pengembangan pendidikan non formal, sebagaimana pengembangan pendidikan formal dan informal yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sikdiknas); dalam perspektif  kehidupan beragama, perlu semakin mendapat sentuhan butir-butir ajaran agama.

Penyelenggaraan dan pengembangan jenis-jenis pendidikan agama luar sekolah / non formal (dengan konsentrasi masjid, gereja, vihara dan sebagainya), diharapkan, secara kualitas dapat memandu penghayatan, pemahaman dan pengalaman ajaran agama, sehingga komunitas umat semakin berkembang ke arah positif.

Dalam bangsa dan masyarakat yang multikultural dan multirelijius, persoalan sosial – pendidikan – keagamaan memang bukan persoalan yang sederhana. Ia merupakan persoalan yang cukup kompleks. Kompleksitas dan kerumitan hubungan sosial antar umat beragama dirasakan baik oleh para politisi, tokoh masyarakat, guru-guru agama, bahkan para orang tua di rumah. Untuk itu, diperlukan usaha-usaha yang sadar, sungguh-sunggu dan terprogram untuk terus-menerus mencermati, mengevaluasi, merekonstruksi, menyusun ulang metodologi dan pola-pola pengkajian agama, baik di lingkungan intern maupun antar umat beragama. Dalam masyarakat yang heterogen secara keagamaan, upaya demikian dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak untuk membekali kesadaran dan ketahanan umat beragama dalam menghadapi berbagai perubahan baik horizontal maupun vertikal dalam masyarakat serta memberi bekal yang cukup untuk menghadapi isu-isu yang secara cepat tersebar di masyarakat baik lewat provokator maupun lewat lewat arus kuat informasi  media elektronik yang datangnya mendadak dan spontan tanpa disertai analisis yang mendalam.




——————–
































DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Bagais Depag RI, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, Jakarta, 2003.

Natsir, M., Capita Selekta, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan  Islam, Lektur, Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, Seri IV,Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati di Cirebon, 1996.

————–,Lektur, Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, Seri V, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati di Cirebon, 1996.

Sodiq A, Kuntoro, Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam : Landasan Filosofis, Makalah Seminar Nasional Sehari, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 27-02-2002.

Soelaiman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, Bumi Aksara Jakarta 1992.

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2000.


Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Non-Formal (Widya Karya) di Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 12 Agustus 2004.

0 komentar:

Posting Komentar