Peradaban Islam Dan Globalisasi: Konflik Nilai Nilai Atau Harmoni-Koeksistensi?


Amin Abdulah

Percampuran dan perbenturan nilai – nilai pada masyarakat global.
Pada era globalisasi, pergaulan antar umat manusia, antar bangsa, etnik, agama, ras, antar suku dan antar budaya semakin hari semakin rapat, dekat dan menyempit sehingga nyaris tidak ada jarak ruang dan waktu yang berarti. Kenaikan suku bunga di New York berpengaruh langsung pada fluktuasi indeks perdagangan saham di Tokyo, Jakarta dan Bangkok. Kenaikan suhu politik di Jakarta mempengaruhi arah pengambilan keputusan ekonomi di negara – negara besar di Eropa, Amerika, Jepang dan begitu seterusnya. Cara pemecahan konflik – konflik lokal di Aceh, Ambon, Timor Timur dan berbagai tempat yang lain, dapat saja diperoleh dari wilayah Timur Tengah, negara – negara Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan begitu seterusnya. Begitu pula sebaliknya, permasalahan sosial yang terjadi di New York dapat saja fatwa penyelesaiaimya diperoleh dari pedalaman Konya (Turki) maupun pedalaman Mesir.1

Fenomena fast food seperti Hamburger, KFC, Mc Donald yang menjamur di tanah air menarik untuk dicermati dan dijadikan bahan ilustrasi. Anak – anak dan juga orang dewasa bahkan orang tua, sama sekali tidak lagi bertanya dari mana asal makanan ini dan mereka juga tidak merasa bersalah (guilty feeling) ketika menyantap produk makanan yang datang dari manca negara ini. Sekarang ia dapat dijual bebas di Jeddah, Istanbul, Kairo, Beijing, Karaci, Jakarta dan Montreal. Anehnya, ketika masuk ke tanah Jawa, ia dapat berdampingan dalam melayani konsumen bersama-sama ayam goreng nyonya Suharti, mBok Berek maupun mBok Sabar. Konsumennyapun dapat datang saling silih berganti, sesekali menyantap ayam goreng Suharti, kali lain menyantap KFC dan begitu sebaliknya.

Begitu juga dalam hal busana atau pakaian. Di awal abad dua puluh orang masih “mengharamkan” pemakaian celana dan dasi, karena keduanya dianggap barang asing (tasyabbuh bi qaumin = menyempai adat istiadat bangsa lain) dan tidak boleh ditiru. Sekarang justru terbalik. Di kantor-kantor pemerintah, perjamuan kenegaraan, pertemuan resmi antar negara, orang sudah tidak lagi merasa risi dan tidak lagi merasa bersalah menggunakan celana panjang, dasi, bahkan ditambah dengan stelan jas. Dalam masjid-masjid di kota-kota besar, pakaian sarung dapat berdampingan dengan pakaian celana panjang untuk menunaikan ibadah salat. Jika pakaian laki-laki tidak begitu menjadi masalah, namun pakaian wanita masih sangat bermasalah. Pakaian wanita menjadi salah satu simbol kontroversi dan perbenturan nilai-nilai budaya dan agama. Tidak perlu disebut disini bagaimana perilaku konsumen Indonesia ketika mereka mengambil manfaat hasil teknonogi ciptaan bangsa-bangsa lain, seperti mesin-mesin industri, alat-alat laboratorium, komputer, alat-alat transportasi (pesawat, kereta api, mobil), alat-alat komunikasi (tilpun, handphone, tilgram, faximili, E.mail intemet) serta informasi (Radio, TV, Surat kabar). Semuanya telah campur-baur, campur aduk tidak karuan. Tidak tahu lagi mana yang asli dalam negeri dan mana yang luar negeri.

Belum lagi, bidang olah raga dan seni. Hampir-hampir seluruh jenis hiburan olah raga bukan made in atau kreasi bangsa Indonesia. Sepak bola, bola voli, bola basket, golf, balap mobil, balap sepeda, catur telah berubah menjadi olah raga nasional milik bangsa sendiri dan dijadwal dalam pertandingan Pekan Olah Raga Nasional. Olah raga ini berdampingan dengan olah raga pencak silat, tapak suci, pagar nusa produk lokal Indonesia, yang sekarang juga sudah go international.

Pertanyaan yang mendasar adalah apakah penggunaan alat-alat tersebut membawa serta nilai-nilai budaya yang menjadi tiang penyangga produk high technology? Apakah pengenalan dan penggunaan alat-alat, konsep-konsep dan pola pikir tersebut merubah penlaku atau netral-netral saja?. Kalau alat-alat tersebut dianggap semata-mata sebagai produk lokal (Bon, Frankfurt, Los Angeles, Nagoya) mengapa penyebarannya telah begitu meluas, menembus batas-batas ruang geografis?. Apakah fenomena ini dapat disebut fenomena globalisasi atau glokalisasi?. Dengan kata lain, apakah penggunaan alat-alat teknologi modern, peralatan dan jenis-jenis olah raga dan seni serta benda-benda asing tersebut tidak mempengamhi cara berpikir, cara bersikap, mentalitas, perilaku serta nilai-nilai fundamental yang biasa dipegang teguh selama ini?. Penulis sendiri meragukan jika penggunaan alat-alat ini tidak mempengaruhi dan tidak membah mentalitas dan cara berperilaku para penggunanya. Seluruh alat-alat tersebut tidak bebas nilai. Alat-alat teknologi modem tersebut membawa serta konsep, pola pikir, mentalitas cara analisis, metodologi, cara pandang, cara hidup, life style , serta nilai-nilai dasar dan bercampur menyatu dengan para penggunanya.

Multidimentional impact dari produk-produk ilmu dan teknologi terhadap pola kehidupan masyarakat, sebenamya, bukan hanya sebatas pada kategori lahiriyyah dengan membanjirnya alat-alat di pasar dan pusat pertokoan. la juga membangun citra, menambah ekspektasi, cita-cita, harapan, timtutan-tuntutan kesejahteraan material ekonomi, yang sedikit banyak ikut serta membah dan memporak-porandakan tatanan nilai tradisional yang biasa dipertahankan oleh ajaran-ajaran agama, budaya dan adat istiadat setempat. Dalam masyarakat global (global village), terjadi pergumulan, perbenturan dan percampuran nilai-nilai yang jauh lebih mendalam, rumit, kompleks dari pada hanya sekedar perbenturan kategori-kategori antropologi klasik seperti suku, ras, etnis dan agama. Peralatan-peralatan teknologi canggih yang masuk lewat pintu ekonomi, sosial, budaya, seni, hiburan, olah raga tidak pemah menyatakan dirinya sebagai duta agama atau budaya, tetapi cukup mempunyai kekuatan untuk mendobrak atau paling tidak mempertanyakan nilai-nilai tradisi dan agama yang telah mapan. Jika tidak waspada akan terjadi disorientasi sosial keagamaan secara massif yang tidak terkendalikan. Untuk itu perlu telaah ulang terhadap nilai-nilai yang berkembang pada era globalisasi yang telah ikut membentuk pola budaya dan perilaku sosial masyarakat Indonesia selama ini dan mencari nilai-nilai baru yang lebih kondusif untuk masyarakat pluralistik di masa depan.

Nilai-nilai moral yang dibawa oleh era globalisasi
Ketika terjadi kekerasan pisik (physical violence) di Ambon, Sampit, Sambas, Aceh, bahkan Jakarta sesungguhnya yang terjadi jauh lebih mendasar dari apa yang tampak di permukaan. Terjadi perbenturan nilai-nilai dasar (fundamental value; ultimate value) yang amat dahsyat. Dari perspektif telaah kehidupan sosial, era globalisasi memang mengandung nilai-nilai yang cukup menggelisahkan, untuk tidak menyebutnya membahayakan, bagi keutuhan masyarakat yang plural majemuk. Ketika dibuka era perdagangan bebas untuk wilayah Asia (AFTA), maka akan terjadi persaingan (competitiveness) yang ketat antar bangsa-bangsa di wilayah Asia. Bangsa yang berteknologi maju akan survive (bertahan), sedang bangsa-bangsa yang lemah akan menjadi “objek” dan lahan garap negara-negara tetangga yang lebih maju.Bisa jadi seorang warga negara akan menjadi “budak” di negara sendiri karena tenaga kerja yang lebih bermutu dari luar negeri akan mengalir ke wilayah tanah air. Semangat mengalahkan orang lain (others), bangsa, ras, etnis dan agama lain semakin mencolok. Survivalfor thefittest adalahjargon utamanya.

Nilai-nilai moral, etos kerja, dan pola pikir yang didorong oleh motif persaingan selalu mengedepankan seleksi yang ketat (selectivity) dan selalu menuntut produk-produk yang eksklusif (exclusive). Orang bangga dan merasa lebih dari pada yang lain jika dapat memperoleh barang-barang sejak dari perabot rumah tangga, pakaian sampai makanan dan minuman secara eksklusif. Iklan-iklan penjual barang dagangan lewat media cetak maupun elektronik selalu ingin menonjolkan unsur eksklusifitas. Dengan demikian, kehidupan sehari-hari menjadi keras, kaku dan tidak ramah (rigid). Nilai-nilai kehidupan yang menekankan kesederhanaan, kewajaran, sak madya, kelembutan, bersahaja, pemurah, tenggang rasa, kesediaan berkorban demi orang lain, secara pelan tetapi pasti akan hilang. Nilai-nilai tersebut telah dianggap obselete. Sebagai gantinya, orang lebih mementingkan pola pikir dan pola perjuangan yang bersifat “blok-blokan” (polarized), dan kubu-kubuan. Dalam kubu-kubu dan blok-blok tersebut terselip “kepentingan-kepentingan” (dominant interest). KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) adalah nilai yang hidup subur di tanah air. Masih segar dalam ingatan kita blok kepentingan Barat dan blok kepentingan timur, blok kapitalis dan blok sosialis, kubu Gus Dur dan kubu Amin Rais, kubu Megawati dan kubu Akbar Tanjung, kubu Kristen dan kubu Islam dan begitu setemsnya.  Kepentigan-kepentingan kelompok, ras, golongan, suku, partai, dan agama dijaga dengan ketat. Dengan begitu kepentingan bersama secara timbal balik (reciprocity) diabaikan. Target-target perolehan sudah ditentukan sedemikian rupa, dan orang-orang berpacu dalam irama untuk mengejar target yang telah dicanangkan. Kesemuanya, secara akumulatif, akan mengantarkan warga masyarakat untuk berpedoman dan berperilaku “tujuan menghalalkan segala cara” demi untuk memperoleh target (harta, kekuasaan, pangkat) yang telah ditetapkan sebelumnya (predermination). Pertentangan demi pertentangan, konflik demi konflik, pertikaian demi pertikaian (conflict) akan bermunculan saling susul-menyusul demi untuk mengejar dan mempertahankan kepentingan-kepentingan kelompok, suku, ras, etnis dan agama. Jika muncul konflik, maka cara penyelesaiannyapun lewat skenario menang-kalah (win-lose scenarios). Kehidupan masyarakat terpolarisasi secara hirarkhis (hierarchy) dan tidak demokratis.[2]

Inilah nilai-nilai bawaan globalisasi yang tertanam dalam kehidupan bangsa Indonesia selama 30 tahun terakhir. Begitu tiang penyangga bangunan nilai-nilai, yakni kekuasaan orde baru runtuh pada tahun 1998, maka yang muncul ke permukaan adalah meningkatnya kriminalitas, korupsi, makar, melanggar hukum, kekerasan. Akibatnya, penguasa mencampur aduk apa yang dianggap salah secara hukum dengan apa yang dianggap salah menurut selera mereka. Disini berlaku konsep paralogi moral (moral paralogy) seperti yang dikatakan Friedrich Nietzche dalam Geneology of Moral, “Kamu jahat, saya adalah kebalikan dari kamu; oleh sebab itu saya tidak jahat”.[3] Ukuran kebenaran tidak lagi berdasarkan pada kesepakatan bersama (hukum), akan tetapi berdasarkan selera penguasa. Para konglomerat, pejabat, penguasa, orang berkedudukan tinggi, orang mulia menyatakan diri mereka dan tindakan mereka sebagai “baik”, sebagai paling tinggi dan mulia, berlawanan dengan rakyat kebanyakan, orang-orang dibawah, orang berbudi rendah.

Dalam situasi kalut seperti saat sekarang ini, bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan arah dan harapan. Diperlukan koreksi total terhadap nilai-nilai yang sudah berjalan selama ini. Diperlukan upaya-upaya rekonstruksi sosial dengan memberi muatan-muatan nilai baru dalam pendidikan nasional yang lebih kondusif untuk menjaga kohesi sosial dan keberlangsungannya (sustainability). Ideologi yang menekankan kehidupan berdampingan bersama (coexistence) perlu dirumuskan ulang oleh semua kalangan, khususnya para pendidik dan pemerhati pendidikan berikut metodologi dan prosedur sosialisasi dan penyampaiannya.

Nilai-nilai kontrak sosial baru : koeksistensi damai antar berbagai ras, suku, etnis dan agama dalam masyarakat plural.
Benar apa yang dikatakan oleh Badan Pendidikan PBB, UNESCO bahwa paradigma pendidikan yang sedang berjalan di seluruh dunia tidak lagi cukup untuk hanya bertahan pada aspek pengembangan kognitif (To know), aspek pemberian bekal ketrampilan (To do) dan bahkan tidak lagi cukup kalau hanya berujung pada usaha untuk memperbaiki moralitas dan integritas pribadi (To be). Meskipun paradigma ini masih bermanfaat dan dapat dilanjutkan, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung kekurangan. Karenanya paradigma im telah dianggap kuno dan tidak lagi dapat memenuhi tuntutan era globalisasi yang tuntutan-tuntutan dan tantangan-tantangannya jauh melampaui ketiga aspek pengembangan tersebut. Paradigma pendidikan pada bangsa-bangsa di dunia, terlebih-lebih lagi Indonesia, perlu ditambah dengan pengedepanan muatan nilai-nilai yang mendukung terwujudnya kehidupan damai antar umat manusia (To live together).

Muatan nilai-nilai moral yang baru dalam pendidikan nasional antara lain perlu mengedepankan semangat dan etos kerjasama (co-operation) antar suku, etnis, ras, kelompok dan penganut berbagai agama tanpa syarat. Dalam masyarakat yang sedang demam euforia politik, nilai-nilai ini sulit dikedepankan, bahkan sangat mungkin untuk dicibirkan dan tidak populer. Namun, pada tataran idealisme pendidikan, apapun cuaca politik di tanah air, nilai ini perlu terus-menems dipupuk, ditumbuhkembangkan dan disosialisasikan. Salah satu syarat untuk menghindarkan pertentangan yang tidak perlu, warga masyarakat dan anak didik perlu dilatih untuk selalu mencari dan memahami “prinsip-prinsip dasar” dan “prinsip-prinsip umum” yang bersifat universal (universality), yang dapat menyangga tata bangunan sosial yang selalu digoyang oleh arus globalisasi. Orang perlu mengetepikan selera-selera pribadi, kelompok, ras, etnis, agama, suku, politik, yang bersifat heteronom, yang kurang kuat untuk dijadikan sebagai landasan tindakan moral.

Disamping kedua nilai tersebut masih perlu diperkuat dengan semangat kesediaan untuk “merengkuh orang atau kelompok lain ke pangkuan keluarga dan kelompok sendiri” (inclusive). Konsep “the other” (orang lain) perlu terus menerus dikaji ulang, sejauh mana ia berdampak pada disharmoni sosial.[4] Semangat inklusivitas sering muncul ke permukaan pada fomm-fomm dialog antar umat beragama dan dialog antar iman, lantaran sifat eksklusivitas umat beragama dirasakan oleh banyak pengamat sosial-keagamaan amat mencolok. Simbol eksklusifitas tercermin dalam pendirian bangunan-bangunan tempat peribadatan umat beragama. Secara pisik memang sudah sangat eksklusif. Dapat disaksikan bangunan gereja, vihara dan masjid di berbagai kota ditanah air. Hubungan antar etnis di tanah air selalu tegang karena jiwa dan semangat inklusivitas tidak tertanam sejak dini. Fondasi kehidupan sosial rapuh dan mudah runtuh; jika semangafc mklusivitas antar etnik” ras, suku, agama tidak tersosialisasikan lewat pendidikan dengan metodologi penyampaian yang canggih dan menarik.[5]

Disamping itu, diperlukan kemampuan-kemampuan prima untuk selalu dapat mengambil langkah-langkah dan tindakan yang dapat menyatukan dan mengayomi, tetapi tidak dibarengi dengan meninggalkan bekas yang melukai dan menyakiti (supple), Dalam arti bahwa seseorang dan anak didik ditumbuhkan kemampuan untuk menyatukan berbagai watak dan perilaku teman-teman sejawat yang berbeda-beda, tetapi tanpa meninggalkan rasa yang menyakitkan, melukai perasaan dan kekecewaan dari teman-teman sejawat tersebut . Hal ini tidak mudah, karena diperlukan kemampuan memahami watak seseorang dan karakteristik kelompok lewat lebih dari satu pendekatan (ambigious). Betapapun kerasnya sifat seseorang, ia akan melunak jika memperoleh perlakuan yang tepat. Untuk itu, anak didik perlu dilatih untuk mendekati dan memahami seseorang lewat berbagai cara dan pendekatan yang berbeda-beda. Salah satu dari sekian banyak pendekatan tersebut pasti akan mampu menembus dan meluluhkan hatinya.

Sikap mental atau attitude yang ingin dikembangkan sudah barang tentu bukannya yang bersifat hegemonik, menguasai atau dominatif, tetapi yang lebih dipentingkan adalah perasaan dan kebutuhan timbal balik (reciprocity). Jika dicubit sakit, maka janganlah anda mencubit dan begitu sebaliknya. Jika dalam ideologi globalisasi dituntut nilai yang bersifat predermined, yakni target yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi dalam ideologi koeksistensi lebih menekankan pada kemampuan kreativitas (creativity) dalam membangun hubungan yang luwes dan bermanfaat. Dengan demikian, hubungan antar sesama tidak lagi berbentuk hierarki, renggang, dan ambil jarak tetapi lebih pada tata hubungan yang bersifat seimbang, dekat, hangat selaras dan proporsional (symmetry). Hubungan antar sesama menjadi lebih demokratis ketimbang bersifat hubungan antara atasan dan bawahan, antara budak – tuan. Oleh karenanya, motivasi perbuatannya selalu berlandaskan pada proses pemberdayaan dan penguatan hak-hak orang lain (transformation) dan bukannya penguasaan orang lain. Kalaupun terjadi konflik, maka scenario pemecahannya pun bersifat win – win scenarios (sama-sama menang dan beruntung) dan bukannya yang satu menang dan yang lain kalah.[6]

Program rekonstruksi sosial dalam era euphoria politik tidak dapat berjalan tanpa dibarengi basis-basis filosofi pendidikan nilai yang tangguh. Nilai-nilai yang lebih mendukung terhadap terwujudnya kehidupan berdampingan secara damai perlu ditanamkan sejak dini, sejak dari rumah dan TK dan SD. Menyampaikan nilai-nilai tersebut pada bangku SMP dan SMU dianggap sudah terlalu terlambat. Maka program transfer of knowledge dan transfer of skill perlu dikurangi untuk usia-usia formative age yang lebih dini dan perlu diprioritaskan program transfer of social value yang mendukung pada kehidupan yang harmonis antar seluruh warga masyarakat, tanpa membedakan etnik, ras, suku, dan agama. Life long education lewat pranata-pranata sosial yang telah tersedia (forom-forum majlis taklim, pengajian, arisan-arisan RT & RW, organisasi sosial kemasyarakatan, peringatan hari-hari besar keagamaan, dan sebagainya perlu menyentuh dan menyemaikan prinsip-prinsip antar umat manusia.

Penutup
Kekerasan (violence) yang merata terjadi di tanah seluruh air tidak dapat dibebankan sama sekali hanya pada dunia pendidikan. Banyak factor yang saling tali-temali, kait-mengait dalam wilayah moral. Kesenjangan ekonomi (kesempatan kerja, un employment, keadilan ekonomi, hubungafi perbumhan antar majikail dan pekerja) tingkat pendidikan umum pendidikan SD, SMP, SMU, PT , literate dan illeterate, jenis pendidikan agama yang ditawarkan (tekanan pada fikih, kalam, tasawuf atau budi pekerti, yang berdimensi sosial), sistem sosial politik (otoriter, demokratik, teokratis, feodal, fasis), sosial-budaya, serta materi dan metodologi pendidikan dan pengajaran moral itu sendiri.

Dalam masyarakat multirelijius dan multi kultural, prioritas untuk menyusun, membangun materi dan metodologi crwic education rasanya tidak dapat ditawar-tawar. Apakah kewiraan dan PMP masih relevan dan perlu tems menerus dipertahankan? Atau perlu disempumakan dan dikembangkan lebih lanjut, mengingat perubahan wacana dan praktek politik di tanah air serta tantangan pendidikan sosial yang terus menerus semakin kompleks. Juga model-model / materi dan metodologi pendidikan agama yang selama ini dianggap pasti bagus taken for granted karena telah didukung oleh GBHN. Sudah saatnya dilakukan penelitian secara akademik tentang berhasil dan tidaknya, terkait dan tidaknya pendidikan agama yang sekarang berjalan dalam hal-hal yang terkait dengan pendidikan sosial dan budi pekerti.


* Disampaikam dalam Kajian Islam aktual seri perdana Yayasan CORDOVA, Hotel Horizon, Bekasi, 12 Maret 2004.

[1] Untuk sekedar bahan perbandingan, lihat tulisan Sukismo dalam Republika, Kamis 10 Mei 2001 tentang “Ikhlas di hukum rajam”, h. 1 dan 15.

[2] Lebih lanjut Jim Torczyner “Globalization, Inequality and Peace building : What Social work can do”, dalam Social Work and Globalizafion, Special Issue, July 2000, h. 124 – 127.

[3] Dikutip dari YasrafAmir Piliang, Sebuah Duniayang Menakutkan : Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos , Bandung : Mizan, Januari 2001, h. 227.

[4] Untuk kasus-kasus di lingkungan Muslim Afrika Selatan, lihat Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism : An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, Oxford : Oneworld publication, 1997, h. 114 – 145 dan 146 – 178.

[5] Untuk upaya awal rekonstruksi metodologi pengajaran agama, lihat artikel saya “Pengajaran Kalam dan Teologi dalam Era Kemajemukan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Materi dan Metodologi” dalam Th. Sumartana dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta :Interfidei, April 2001, h. 241 – 256.

[6] Jim Torczyner, h. 127 – 131.

0 komentar:

Posting Komentar