M. Amin Abdullah
* “Salamun, qaulan min rabbir ar rahim”
(Kepada mereka dikatakan) : “Salam”, sebagai ucapan
selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (Al-Qur’an : Surah Yaasin, 58)
* “Dan jika seseorang menyelamatkan satu jiwa, ini
seolah-olah ia telah menyelamatkan jiwa seluruh umat” (Al-Qur’an : Surah al-Maaidah, 32)
Pengantar
Bagaimana menjauhkan dan mensterilkan agama dari tindak kekerasan sebagian
pengikutnya adalah tugas yang maha berat bagi para agamawan dan lebih-lebih
bagi para tokoh dan pimpinan agama era globalisasi sekarang ini.
Terlebih-lebih, era globalisasi ditandai dengan penomena merebaknya nilai-nilai
baru yang cenderung kurang begitu sehat seperti persaingan ketat (competitiveness),
ketertutupan (exclusivity), kaku (rigid), polarisasi,
mendahulukan kepentingan yang dominan, pertentangan alias konflik, cara
berpikir dan bersikap yang lebih mengedepankan menang-kalah dan bukannya
menang-menang.Keseluruhannya, jika terakumulasi dan tidak terkendali akan
dengan mudah mengarah ke tindak kekerasan dalam kehidupan sosial-ekonomi,
sosial-politik dan sosial-keagamaan.
Tidak enak memang mengaitkan agama, khususnya Islam, dengan tindak atau
perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian pemeluknya. Tidak ada agama di
dunia ini yang menganjurkan pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan (violence).
Namun, kenyataan di lapangan dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam pergaulan
internasional, berbicara lain. Perilaku dan tindak kekerasan yang dilakukan di
berbagai negara seringkali membawa-bawa agama . Agama Hindu di India, Buddha di
Thailand, Katolik dan Protestan di Irlandia, Yahudi di Israil, Islam di
Palestina, Afganistan, Filipina, Indonesia dan beberapa daerah lainnya.
Mengapa tindak kekerasan baik di wilayah domestik maupun publik belakangan
ini seringkali terjadi dan dilakukan oleh para pelaku yang mengatasnamakan atau
lebih tepat disebut membawa-bawa agama sebagai identitas pelakunya? Disinilah
letak kesulitannya. Ketika ajaran agama yang mulia (aspek doktrinal-normatif)
masuk wilayah perilaku (aspek pergumulan historis-empiris), maka banyak hal
bisa terjadi. Satu hal yang perlu dicatat. Perilaku keagamaan (religious
behaviour) sesungguhnya diselimuti oleh kabut tebal tingkat kwalitas pemahaman
seseorang atau kelompok atas doktrin dan dogma agama yang diyakininya,
pandangan seseorang atau kelompok terhadap keberadaan orang atau kelompok
penganut agama lain, model metode pendidikan dan pengajaran agama (literalis,
skriptualis, dogmatis, hermeneutis, historis, sosiologis, filosofis) yang biasa
diperoleh di bangku sekolah, pesantren atau majlis-majlis taklim dan perguruan
tinggi keagamaan, cara dan model penafsiran atau interpretasi situasi
sosial-politik yang melingkari organisasi sosial-keagamaan, kepentingan
sosial-politik dan sosial-ekonomi yang hendak diraih oleh kelompok tertentu,
tingkat kemerosotan wibawa hukum yang diperankan oleh pemerintah (tingkat
kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme), ketercukupan dan keterjepitan
ekonomi, dinamika hubungan intern umat beragama (tradisional, modern, salafi,
moderat, radikal, liberal, progressif), rivalitas dengan kelompok ekstern umat
beragama dalam aktivitas pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya,
panas-dinginnya cuaca hubungan internasional (perang dingin, perang terbuka,
tindakan agresi, aneksasi), dan banyak hal yang lain. Situasi historis-empiris
perilaku keagamaan ternyata jauh lebih rumit daripada hanya berbaik sangka pada
wilayah normatif-doktrinal.
Latar belakang historis-empiris yang pelik-kompleks tersebut yang ikut memicu munculnya tindak kekerasan yang dilakukan
oleh pribadi, kelompok, golongan, ras, bahkan negara. Tindakan kekerasan lewat
aksi pengeboman Bali 12 Oktober 2002, tindakan terror terhadap simbol
kedigdayaan ekonomi Amerika, gedung World Trade Center (WTC) 11 September 2001,
bom bunuh diri yang seporadis semakin sering terjadi di wilayah Israil,
Palestina, Arab Saudi, Kasablanka, Chechnya, perang Amerika melawan Iraq dan
begitu seterusnya merupakan catatan peristiwa penting dalam sejarah umat
manusia era globalisasi yang membawa-bawa agama didalamnya.
Tulisan sederhana ini mencoba melihat sekilas model gerakan radikal Islam
Indonesia pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan perlunya kewaspadaan
gerakan sosial-keagamaan kedepan, khususnya bagi gerakan pembaharuan dan
pengembangan pemikiran keagamaan Muhammadiyah, dalam melakukan tindakan
affirmatif preventif untuk menyelamatkan pesan perdamaian yang dikumandangkan
oleh Islam, yang disimbolkan lewat tindakan profetik “hijrah” ke Yatsrib di
awal kenabian dan peristiwa “fathu Makkah” di akhir era kenabian.
Gerakan Islam “Garis Keras” Pasca Runtuhnya Orde Baru: Memahami
Faktor Pendorong dan Pola Dasar Gerak Perjuangannya
Gerakan Islam garis keras di Timur Tengah telah muncul kepermukaan, sekitar
30-40 yang lalu, terutama didorong oleh kekalahan bangsa Arab -yang
diidentikkan dengan kekalahan Islam- menghadapi agresi dan pendudukan Israil di
Palestina, tahun 1967. Kemudian, mendapat momentum baru ketika para ulama
Syi’ah Iran Ayatullah Khomeini, -lagi-lagi Syi’ah disini direpresentasikan
sebagai Islam, dengan melupakan perbedaannya dengan mayoritas Sunni- tahun
1979, berhasil menumbangkan rejim Kekaisaran Riza Pahlevi. Keduanya memberi
inspirasi dan dorongan yang cukup kuat bagi menjamurnya gerakan Islam radikal
di Timur Tengah untuk melawan ketidakadilan, penindasan, korupsi oleh rezim
yang dianggap sekuler dan kaki tangan imperialisme Barat.
Para pemikir Muslim kontemporer di Timur Tengah tidak ada yang tidak
menaruh perhatian serius terhadap munculnya ideologi Islam atau Islamisme yang
mengkampanyekan al-Shahwah al-Islamiyyah dan al-Nizam al-Islamy
dengan berbagai cara yang ditempuh. Sejak dari Hasan Hanafi, Nasr Hamid
Abu Zaid, Mohammad Abid al-Jabiri, Mohammad Arkoun, Muhammad Syahrur dan yang
lain-lain.
Rupanya kebangkitan gerakan garis keras Islam di Indonesia tinggal tunggu
waktu untuk muncul ke permukaan. Pada era Orde Baru, gerakan garis keras Islam
telah pernah muncul, seperti Komando Jihad, tetapi cepat dilumpuhkan oleh
pemerintah. Momentum yang dianggap tepat adalah jatuhnya rejim Orde Baru yang
telah berkuasa di Indonesia selama 30 tahun. Ditengah perubahan politik yang
begitu dahsyat sejak tahun 1998, Islam radikal menemukan momentumnya untuk
menegaskan corak keberagamaan mereka di Indonesia. Pola perjuangan mereka
ditunjukkan secara jelas tanpa ragu atau takut mendapat tekanan keras dari
rezim kekuasaan. Hal ini dilakukan untuk merebut simpati umat Islam bahwa
mereka benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam di Indonesia. Ketika Orde Baru
jatuh, kecenderungan “garis keras” (hardliners) semakin meningkat dalam
gerakan Islam. Peningkatan aktivitas garis keras ini sering dilihat sementara
pengamat Islam di Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri, sebagai bangkitnya
radikalisme, atau bahkan apa yang mereka sebut “fundamentalisme” Islam di tanah
air.
Indikator meningkatnya gerakan Islam garis keras di tanah air yang sering
diangkat media massa dan pengamat sosial-keagamaan adalah kemunculan
kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang kelihatan lebih keras dan
tegas -cenderung tanpa kompromi- untuk mencapai agenda-agenda tertentu yang
berkaitan dengan kelompok Muslim tertentu, bahkan dengan pandangan dunia (world
view) Islam tertentu sebagai sebuah agama. Kesan garis keras itu agaknya
pertama kali bisa terlihat dari nama dan terminologi yang mereka gunakan.
Terdapat kelompok-kelompok yang menggunakan nama-nama seperti Jundullah
(Tentara Allah), Laskar Jihad, dan Hizbullah (Partai Allah) atau
organisasi yang kelihatan lebih besar, seperti Front Pembela Islam (FPI).
Kondisi semacam ini tentu saja berbeda secara diametral dengan generasi
Islam 1970-an dan 1980-an. Ketika itu, pendekatan dan modus artikulasi
pemikiran dan aksi politik Islam sudah mengalami perubahan cukup penting dimasa
Orde Baru. Akibat sikap represif pemerintah Orde Baru terhadap Islam, sejumlah
intelektual merubah pemikiran dan aksi politiknya, yang tidak lagi
legalistik-formalistik. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali potensi
umat dan menumbuhkan simpati pemerintah terhadap Islam. Itulah sebabnya, dalam
dekade 1980-an, terjadi pergeseran orientasi dikalangan organisasi-organisasi
kemasyarakatan Islam, kaum intelektual, dan para aktivis nonpartai. Generasi
baru ini, dalam bahasa Bahtiar Effendy disebut “intelektual baru Islam”,
menempuh strategi kultural dengan memproduksi wacana politik Islam yang
inklusif dan substansialistik. Tujuannya terutama untuk memperbaiki hubungan
yang tidak harmonis antara Islam dengan negara. Yakni, mencari pola relasi
agama (Islam) dan negara yang lebih harmonis dan tidak saling curiga.
Sejak masa Orde Baru, gerakan Islam substansialistik-inklusif jauh lebih
berpengaruh dibanding gerakan Islam militan-radikal. Dukungan pemerintah,
ditambah dengan represi terhadap mereka, telah memberi peluang bagi
gerakan Islam substansialis-inklusif untuk mengembangkan dan menyebarkan
gagasan-gagasan mereka. Lebih dari itu, kebijakan politik dan kultural
pemerintah Orde Baru telah mendorong pertumbuhan pesat komunitas santri yang
lebih besar, lebih terdidik dan relatif makmur. Hal paling penting disini
adalah banyak anggota kelompok yang mengalami mobilitas vertikal ini bersikap
simpatik terhadap posisi gerakan Islam substansialis-inklusif, memungkinkan
mereka untuk menjadi Muslim yang saleh, sekaligus tidak mengundang kecurigaan
pemerintah sehingga mereka dijuluki sebagai kelompok “ekstrim kanan”.
Sejak lengsernya Orde Baru dari panggung kekuasaan, masa transisi di
Indonesia dimulai dengan perubahan sosio-politik yang amat menentukan bagi masa
depan bangsa. Kejatuhan rezim Orde Baru (1998) membawa perubahan yang
signifikan untuk menata bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, sosial dan
politik. Hal ini disebabkan oleh lemahnya fundamental ekonomi dan rapuhnya ikatan
sosial masyarakat, sehingga terjadi banyak gejolak sosial dan meningkatnya suhu
politik nasional. Transisi yang dicirikan dengan pergantian kekuasaan ternyata
tidak secara cepat mengantarkan bangsa Indonesia dari rezim otoriter ke rezim
demokratis.
Disinilah momentum munculnya gerakan Islam radikal untuk menunjukkan
kekuatannya sebagai daya tekan (oposisi) kepada rezim yang dianggap tidak
aspiratif terhadap Islam. Simpati masyarakat terhadap gerakan radikal sudah
semakin luas dengan corak pemikirannya yang skriptualis-radikal. Slogan-slogan
yang biasa muncul di Timur-Tengah mulai bermunculan di tanah air misalnya bahwa
al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang harus dipahami secara literal9, bahwa
al-Qur’an dan Hadis sudah menyediakan seperangkat hukum dan doktrin halal-haram
lainnya bagi perilaku individu maupun masyarakat, dan bahwa -tidak seperti
agama lain, khususnya Kristen yang “menyerahkan urusan Tuhan kepada Tuhan dan
urusan Kaisar kepada Kaisar”- Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia,
termasuk pemerintahan. Keinginan untuk tetap menjadi bagian dari identitas
kepemimpinan politik menyebabkan artikulasi politik mereka cenderung romantis,
dengan sikap keberagamaan yang skriptualistik, menekankan penegasan diri serta
orientasi perjuangan politik yang mengutamakan keterikatan pada formalisme
ideologis teks “Islam Politik” (Political Islam).
Menurut penelitian Khamami Zada, pola perjuangan gerakan Islam radikal di
Indonesia dilakukan dalam dua pola; kultural (dakwah Islam) dan struktural.
Kelompok Islam radikal yang menggunakan pola ini adalah Majelis Mujahidin untuk
mencapai misi utama pemberlakuan Syari’at Islam. Pendekatan struktural yang
dilakukan Majelis Mujahidin adalah kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh
seorang Muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam dan siap memberlakukan
Syari’at Islalm dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara
dapat dikelola sesuai dengan ajaran yang dituturkan oleh Swt.11
Sementara itu, pendekatan kultural dilakukannya dalam format gerakan
pembinaan akidah, akhlak, pendidikan, sosial dan ekonomi tanpa mau terlibat
sedikitpun dalalm urusan perjuangan politik. Gerakan ini lebih mengutamakan
pendekatan-pendekatan akhlak individual, keluarga dan masyarakat. Usaha-usaha
ini dilakukan melalui lembaga-lembaga Pendidikan formal atau nonformal,
pengajian, dan kursus-kursus keagamaan lainnya.12
Dua pola perjuangan inilah yang juga dilakukan KISDI. KISDI berjuang secara
politik (struktural) dan kultural. KISDI banyak melakukan gerakan politik
karena sebaik-baik kebaikan adalah dakwah kepada penguasa (dakwah politik).
Karena kalau umat Islam sudah berkuasa, semuanya menjadi mudah seperti
dicontohkan Nabi Muhammad Saw di Madinah. Kekuasaan diyakini oleh KISDI sangat
efektif untuk menjalankan agenda Islam.13
Pola perjuangan kultural dan struktural juga dilakukan oleh FPI (Front
Pembela Islam). Dua pola perjuangan ini dilakukan secara bersama-sama demi
tegaknya Syari’at Islam. Karena itu, FPI sangat giat memperjuangkan aspirasi
Islam kepada pemerintah sekaligus melakukan kegiatan dakwah ditengah-tengah masyarakat.
Hal ini dapat diikuti dari gerakan mereka yang memperjuangkan aspirasi Islam
dengan melakukan lobi-lobi kekuasaan dan pawai demonstrasi/unjuk rasa (DPR,
MPR, dan Partai Politik) menentang kebijakan negara atau mendesakkan tuntutan
aspirasi Islam, sekaligus dibarengi dengan kegiatan dakwah di masyarakat.
FPI, KISDI dan Majelis Mujahidin menggunakan kombinasi pola perjuangan ini.
Mereka biasanya menyampaikan aspirasinya dengan menggelar aksi unjuk rasa
kepada parlemen (legislatif) dan pemerintah. Secara lebih konkrit mereka
biasanya memberi dukungan kepada partai-partai politik yang memperjuangkan
aspirasi Islam, seperti tuntutan dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam
amandemen UUD 1945, sehingga gerakannya sering dianggap politis.14
Sementara itu, Laskar Jihad tidak menggunakan pola ini secara keseluruhan.
Mereka lebih memilih jalur dakwah langsung kepada masyarakat agar terjadi
proses Islamisasi masyarakat (Kulturalisasi Islam) secara menyeluruh. Itu
sebabnya, Laskar Jihad tidak mau melakukan demonstrasi sebagai bentuk gerakan
aspirasi. Mereka memandang demonstrasi sebagai bagian dari demokrasi yang
dianggapnya sebagai sistem kafir yang harus ditolak. Karena itu, pola
perjuangan kultural yang menjadi prioritas gerakan mereka. Bahkan, inilah yang
menjadi bagian penting dari gerakan dakwah mereka; mengislamkan masyarakat agar
dapat melaksanakan nilai-nilai Islam secara total (kaffah) tanpa perlu
mendesakkan tuntutan kepada negara.15
Dapat ditarik benang merah bahwa semua ormas Islam beraliran radikal,
seperti Laskar Jihad, FPI, KISDI, dan Majelis Mujahidin menyuarakan aspirasi
Islam, terutama nasib umat Islam di tanah air dan umat Islam di negeri lainnya.
Tidak berlebihan jika dinyatakan jika perjuangan umat Islam selalu menjadi
agenda utama. Ada empat isu atau tema besar yang diperjuangkan kelompok Islam
garis keras/radikal, (1) Piagam Jakarta, (2) Pemberantasan tempat-tempat
maksiat, (3) Konflik antar agama dan (4) Solidaritas dunia Islam. Meski keempat
kelompok Islam radikal memperjuangkan empat isu tersebut, tetapi masing-masing
kelompok memiliki konsentrasi perjuangan yang berbeda-beda.16
Gerakan Islam “GARIS Keras” Dulu dan Kini: Akar-akar Sejarah
Sejak paruh pertama dari abad pertama hijrah, sejarah Islam telah
menyaksikan berbagai jenis gerakan garis keras, hardliners atau
ekstrimisme yang dalam bentuk tertentu sebagian pengaruhnya masih terasa hingga
sekarang di ranah pemikiran keagamaan Arab kontemporer dan umat Islam di
berbagai tempat yang lain. Jika kita paparkan gerakan-gerakan ekstrim sejak
peristiwa kekacauan besar (al-fitnah al-kubra) hingga sekarang, maka
kita akan temukan bahwa gerakan-gerakan itu tanpa kecuali, memiliki hubungan
langsung atau tidak, dengan politik. Sampai kadar tertentu dapat dikatakan
bahwa ekstrimisme dalam Islam selalu saja merupakan sejenis ungkapan sikap
politik tertentu. Ini merupakan masalah yang mudah untuk dipahami dan
dijelaskan jika kita melihatnya dengan pertimbangan keterikatan agama dengan
politik dan politik dengan agama dalam pengalaman peradaban Islam. Politik saat
itu dijalankan atas nama, dan mencari legitimasi dari agama, sehingga
menyebabkan pertarungan politik pada umumnya berada di bawah payung agama.
Tidak perlu diuraikan disini gerakan ekstrim dalam Islam dan tidak pula
kecenderungan politik dari sikap-sikap dan tawaran-tawaran yang diajukan,
karena hal tersebut dapat dibaca dalam literatur sejarah Islam (seperti Khawarij,
al-Ghulat, dan gerakan-gerakan Bathiniyyah). Yang penulis pandang
perlu dikemukakan disini adalah apa yang membedakan gerakan-gerakan Islam
ekstrim kontemporer di tanah air seperti terurai diatas dari gerakan-gerakan
serupa dimasa lalu. Gerakan-gerakan ekstrim masa lalu mempraktikkan ekstrimisme
pada dataran aqidah, sedangkan gerakan-gerakan ekstrim kontemporer
menjalankannya pada dataran syari’ah.17
Kaum Khawarij dan gerakan-gerakan Bhatiniyyah dengan berbagai aliran dan
jenisnya, tidak pernah melontarkan masalah “penerapan syari’ah”, dan tidak pula
menjadikannya sebagai slogan, tetapi semua slogan-slogan mereka berada pada
dataran “aqidah” (hubungan antara dzat dan sifat Tuhan, determinisme (al-Jabr)
dan indterminisme (al-Ikhtiyar), keadilan Tuhan, cara penciptaan alam
dan lain-lain. Memang benar, bahwa masalah pokok yang menjadi titik berangkat
dari perbincangan dalam aqidah adalah masalah “imamah”, masalah yang merupakan
asal-muasal perselisihan dalam Islam, namun adalah benar juga bahwa masalah
ini, yakni masalah “imamah” atau “khilafah” dilontarkan pada dataran aqidah,
bukan pada dataran syari’ah. Hal ini berarti bahwa politik dijalankan dalam agama
pada dataran aqidah, bukan pada dataran syari’ah.
Sedangkan sekarang, masalahnya justeru sebaliknya: perselisihan
gerakan-gerakan Islam ekstrim dengan gerakan-gerakan moderat adalah dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan syari’ah, bukan aqidah, yang berarti
bahwa politik yang dipraktikkan dalam agama sekarang ini berada pada dataran
syari’ah, bukan pada dataran aqidah. Disini lalu dapat dipahami slogan yang
diangkat oleh gerakan-gerakan ini, yaitu slogan “penerapan syari’ah”, dan dari
sini pula dapat diketahui wilayah dimana politik dimainkan.
Demikianlah, masalah determinisme dan indeterminisme, iman dan kufur, tanzih
dan tasybih … dan seterusnya yang dulunya merupakan masalah-masalah yang
diperdebatkan dan karenanya para ahli Kalam terpecah kepada yang moderat dan
yang ekstrim, sekarang kita temukan masalah-masalah lain yang berhubungan
dengan syari’ah dan fiqh seperti memotong tangan pencuri, riba, hijab … dan
seterusnya yang menjadi masalah yang diperdebatkan. Orang dan kelompok
organisasi Islam berselisih pendapat sekitar cara penerapan dalam berbagai
masalah dan ini berarti bahwa sekarang politik dimainkan dalam terminologi
Islam pada dataran syari’ah18 bukan pada
dataran aqidah sebagaimana yang terjadi masa lalu. Mengapa demikian?
Jawaban bagi pertanyaan ini harus dicari dalam sejarah, yakni dalam
politik, bukan dalam agama itu sendiri. Sejarah menunjukkan pada kita bahwa
perselisihan pada dataran aqidah dalam Islam berlangsung dalam dua tahap: Pertama,
tahap kemunculan awal. Masalah pokok pada tahap ini adalah masalah imamah, yang
pada dasarnya adalah masalah internal umat. Kedua, tahap
pengukuhan/pemantapan dan penulisan. Tahap ini berawal ketika Islam berbenturan
dengan aqidah-aqidah dan agama-agama masyarakat lain yang baru memeluk Islam,
sehingga perselisihan yang terjadi pada mulanya berwatak sosial-politis (
masalah Muslim non Arab [al-mawaly]19, gerakan
pendukung persamaan [ahl al-taswiyah] dan gerakan kerakyatan
[Syu’ubiyyah] ) untuk kemudian berkembang menjadi perselisihan pemikiran
“murni” yang tampil dalam bentuk benturan keras antara sistem aqidah Islam
dengan sistem-sistem aqidah dan pemikiran yang diwarisi dari
peradaban-peradaban sebelum Islam. Jadi, terjadinya perselisihan pada dataran
“aqidah”, karena disana terdapat berbagai sistem pemikiran keagamaan. Sedangkan
pada dataran sosial, saat itu yang ada adalah satu sistem sosial yang berada
pada tataran perkembangan yang sama, satu hal yang tidak memungkinkan
terjadinya perselisihan pada dataran syari’at (dan jika pun terjadi, maka yang
terjadi hanyalah pada masalah-masalah yang sangat partikular, seperti yang
terjadi antara mazhab Hanafi, mazhab Iraq yang mencapai perkembangan pada
tingkat tertentu dan mazhab Malik, mazhab Madinah yang juga berkembang hanya
terjadi pada tingkat perkembangan bukan pada jenisnya).
Demikianlah pula dapat dikatakan, bahwa inilah yang sebenarnya terjadi,
bahwa gerakan salafi kontemporer telah tumbuh secara internal, dan
masalah pokok yang diajukan pada awalnya adalah masalah bid’ah yang berkembang
dalam diri masyarakat Islam sendiri (menziarahi kubur, tarekat-tarekat sufi).
Kemudian gerakan tersebut mengkristal -dan ini adalah tahap kedua kontemporer-
ketika terjadi perbenturan masyarakat Islam dengan sistem-sistem peradaban
Eropa modern, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Perbenturan tersebut pada
awalnya berwatak politis (yakni perlawanan yang luas terhadap penjajahan
Eropa), kemudian masalahnya berkembang menjadi perselisihan yang berwatak
aliran pada dataran sistem sosial (yakni sistem Islam dan syari’at Islam
berhadapan dengan sistem kapitalis dan sistem sosialis dan seterusnya).
Seperti halnya ekstrimisme menampilkan dirinya di masa lalu pada dataran
aqidah melawan mazhab-mazhab yang moderat, ekstrimisme atau gerakan Islam
radikal masa kini di Indonesia post era Orde Baru menampilkan dirinya pada
dataran syari’ah dengan melawan mazhab-mazhab moderat juga. Sebagaimana
masalah-masalah syari’ah di masa lalu dianggap sebagai masalah-masalah
pinggiran (perbedaan-perbedaan diantara mazhab-mazhab fiqh tidak merangkak ke
tataran ekstrimisme), maka demikian pula sekarang ini perbedaan-perbedaan yang
berkaitan dengan ranah aqidah (Sunni, Syi’ah, Asy’ariyah, Hanbaliyah) dianggap
sebagai perbedaan-perbedaan pinggiran sehingga pusat perhatian diarahkan kepada
dataran syari’ah, kemudian dikumandangkanlah slogan penerapannya.20
Tampak dari uraian singkat ini, bahwasanya konflik atau perselisihan yang
sangat potensial mengarah pada tindak kekerasan tidak hanya terbatas antar
pengikut agama yang berbeda, tetapi lebih-lebih sangat mungkin terjadi dapat
meletup pada wilayah intern umat seagama itu sendiri. Para penganut sosiologi
agama mengingatkan bahwa konflik agama dalam bentuknya yang paling mendalam dan
akut adalah bentuk konflik antara golongan atau kelompok agama yang memisahkan
diri (heretics atau splinter group) dari mainstream kekuasaan agama (religious
authorities), yaitu konflik di dalam tradisi keagamaan itu sendiri.21 Hal ini yang
terus menerus perlu diwaspadai oleh umat Islam, dan umat beragama yang lain
sudah barang tentu.
Nilai-nilai Inti Islam untuk Menciptakan Perdamaian dan Anti
Kekerasan
Sebagai Din, atau cara hidup yang menyeluruh, Islam mengaku
mencakup seluruh bidang aktivitas manusia. Karena itu, tidak sulit mencari
konsep-konsep tentang penciptaan perdamaian di dalam agama tersebut. Namun,
mengidentifikasi “nilai-nilai inti” yang kondusif untuk menciptakan perdamaian
yang pada umumnya dapat diterima di kalangan kaum Muslimin dapat menjadi lebih
pelik, karena dalam Islam gagasan perdamaian itu sendiri bukannya tidak
bermasalah. Contohnya, sebagian orang akan berpendapat bahwa kata bahasa Arab
yang terkenal untuk perdamaian, yaitu Salam, hanya berarti ketenangan
dan keselamatan. Sementara istilah Sulh, yang berarti gencatan senjata
atau perjanjian penghentian peperangan untuk suatu waktu, menunjukkan
berakhirnya perang.22 Yang lainnya
akan menegaskan bahwa kata Salam memiliki setidaknya 6 (enam) makna,
yang mencakup makna keamanan dan keabadian dalam pengertian yang non-duniawi,
kesehatan, keterpeliharaan/keselamatan, ucapan Salam, penyerahan diri secara
ikhlas, serta kebebasan dari unsur-unsur yang mengganggu.23
Supaya sampai ke nilai-nilai inti yang kondusif bagi penciptaan perdamaian
dan tindakan non-kekerasan dan yang akan diterima sebagian besar kaum Muslimin,
praktik-praktik damai, non-violence nabi Muhammad dalam menyelesaikan konflik
yang keras atau potensial mengarah kepada kekerasan akan di identifikasi dari
praktik-praktik kenabian itu sendiri. Karena praktik beliau (Sunnah) telah
diterima sebagai paradigma bagi urusan-urusan kemanusiaan di kalangan kaum
Muslimin, sorotan atas nilai-nilai inti ini akan memberikan sumbangan berarti
bagi pendekatan-pendekatan penciptaan tindakan anti kekerasan dan perdamaian
pada umumnya terhadap situasi eksistensial yang melibatkan kaum Muslimin
sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam konflik-konflik yang keras.24
Penulis akan memusatkan perhatian pada kejadian penting dimana tindakan
non-kekerasan dan penciptaan perdamaian Nabi sangat jelas. Kedua kejadian ini
–yang dikenal dengan baik oleh kaum Muslimin di seluruh dunia dan, karenanya
diterima secara umum adalah pembangunan kembali Ka’bah pada tahun 605 dan
penaklukan kembali Makkah pada tahun 630. Sekalipun secara historis tidak
berhubungan, kedua peristiwa itu berkaitan secara teoritis, khususnya jika
ditinjau dari perspektif penciptaan perdamaian. Kejadian pertama berlangsung
sebelum pewahyuan al-Qur’an kepada Nabi dan karenanya, merupakan waktu ketika
ia dapat dipandang sebagian orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik
apapun. Kejadian ini juga merupakan suatu konflik yang secara potensial
mengarah kepada kekerasan. Peristiwa kedua terjadi ketika Nabi kembali ke
Makkah sebagai pemegang dan pemimpin politik yang berkuasa, setelah pengasingan
yang lama di Madinah. Kejadian ini dapat dipandang sebagai tahap akhir dari
konflik keras yang berkepanjangan. Nilai-nilai inti yang kondusif untuk penciptaan
perdamaian dan tindak non kekerasan dapat diidentifikasi dari tindakan Nabi
dalam kedua peristiwa itu: pertama kali dilakukan sebagai individu yang tuna
kuasa, dan belakangan sebagai pemimpin politik yang berkuasa.
Peristiwa pertama, pada tahun 605, ketika Nabi Muhammad berusia 35 tahun,
masyarakat Makkah membangun kembali Ka’bah, yang sebelumnya telah rusak. Ketika
itu, Ka’bah tegak tanpa atap dan hanya sedikit lebih tinggi dari tubuh manusia.
Berbagai suku mengumpulkan batu untuk meninggikan bangunan Ka’bah. Mereka
bekerja secara terpisah, hingga temboknya yang cukup tinggi untuk meletakkan
batu hitam (Hajar Aswad) di sudutnya. Kemudian, meletuslah pertikaian
pendapat karena setiap buku ingin mendapatkan kehormatan sebagai pengangkut
batu hitam tersebut dan meletakkan di tempatnya. Kebuntuan berlangsung empat
atau lima hari dan masing-masing suku bersiap-siap bertarung untuk
menyelesaikan konflik.
Kemudian, orang tua dari yang hadir mengusulkan kepada kelompok-kelompok
yang bertikai itu supaya mereka mengikuti apa yang disarankan orang berikutnya
yang memasuki kompleks Ka’bah melalui gerbang “Bab al-Safa”. Seluruh pihak
menyepakati usulan ini. Orang pertama yang masuk melalui gerbang tersebut
adalah Muhammad. Setiap orang gembira karena Muhammad mereka kenal sebagian
al-amin, yang terpercaya lagi tulus. Mereka siap menerima keputusannya.
Setelah mendengarkan kasusnya, Muhammad meminta mereka membawakan untuknya
sepotong jubah, yang kemudian ia bentangkan di atas tanah. Ia mengambil batu
hitam (Hajar Aswad) dan meletakkannya di tengah-tengah kain itu. Lalu,
ia berkata : “Marilah setiap suku memegang pinggiran jubah. Kemudian, kalian
angkatlah bersama-sama”. Ketika mereka mengangkatnya mencapai ketinggian yang
tepat, Muhammad mengambil batu itu dan meletakkannya di sudut. Dan pembangunan
kembali Ka’bah dilanjutkan hingga selesai.25
Dari tindakan Nabi dalam kasus ini, nilai-nilai inti untuk penciptaan
perdamaian dapat diidentifikasi. Kesabaran tentunya merupakan nilai
utama dalam upaya penciptaan perdamaian oleh Nabi, karena ia mendengar terlebih
dahulu. Tindakan mendengarkan menandakan kesabarannya dan kehendak untuk
mempelajari seluruh informasi yang ia dapat. Dengan mengajak setiap suku atau
kabilah memegang pinggiran jubah, ia menegaskan signifikansi dan martabat
masing-masing kelompok yang bertikai. Mereka seluruhnya setara. Nilai inti di
sini adalah penghargaan dan penghormatan atas kemanusiaan seluruh kelompok.
Ketika ia mengajak mereka mengangkat jubah bersama-sama, tindakan ini
menyiratkkan bahwa kehormatan tidak harus diperoleh dengan mengorbankan pihak
lain atau dengan menggunakan kekerasan, tetapi bisa dibagi bersama. Dalam kenyataannya,
nilai berbagi bersama merupakan yang terpenting dalam kasus ini. Berbagi
bersama menjadi mungkin dengan partisipasi yang sama di kalangan
kelompok-kelompok yang bertikai. Sebagai tambahan, nilai berpikir kreatif
yang ditandai dengan pemanfaatan jubah secara inovatif sebagai suatu wahana
untuk menyelesaikan konflik tersebut, juga mesti ditekankan.
Secara keseluruhan, paradigma penciptaan perdamaian yang diperoleh dari
tindakan Nabi sewaktu ia tidak memiliki kekuasaan politik apapun terdiri dari
empat nilai penting : kesabaran, penghargaan terhadap kemanusiaan
seluruh pihak, berbagi bersama, dan kreativitas dalam
penyelesaian masalah.
Peristiwa kedua, terjadi padat tahun 622, ketika Nabi Muhammad berusia 53
tahun, Nabi memimpin kaum Muslimin melakukan tindakan eksodus dari Makkah ke
Madinah, yang dikenal dengan peristiwa Hijrah. Setelah delapan tahun
berjuang dan berperang dengan orang-orang Makkah, ia memimpin suatu pasukan
untuk kembali ke Makkah. Orang-orang Makkah, yang berbuat kesalahan terhadap
kaum Muslimin, pada masa-masa sebelumnya takut terhadap aksi balas dendam
mereka.
Tetapi, ketika memasuki kata Makkah, Nabi berpidato kepada orang-orang yang
menunggu tidak jauh dari Ka’bah. Ia bertanya : “Apa yang akan kalian katakan
dan apa yang akan kalian pikirkan?” Mereka menjawab : “Kami berkata dan
berpikir baik: Saudara yang terhormat dan murah hati, anak dari saudara yang
terhormat dan murah hati, Andalah yang akan memberi perintah”. Ia kemudian
berbicara kepada mereka dengan menggunakan kata-kata yang – menurut al-Qur’an –
digunakan Yusuf ketika memaafkan saudara-saudaranya yang sedang menemuinya di
Mesir. Ia berkata : “Sesungguhnya aku berkata seperti yang diucapkan Saudaraku
Yusuf: pada hari ini tidak ada celaan (yang ditimpakan) atas kalian : Tuhan
akan mengampuni kalian, dan Dialah yang maha penyayang diantara para
penyayang”.26
Terlihat jelas bahwa nilai tunggal terpenting yang dapat diidentifikasi
dari tindakan Nabi pada waktu penaklukan Makkah adalah memaafkan.
Tindakan ini bukan semata-mata taktik politik. Sebab ia mengikuti suatu pola
perilaku yang mapan. Pola perilaku Nabi, yang dibentuk oleh nilai inti
kepemaafan merupakan suatu manifestasi ajaran-ajaran wahyu Tuhan. Ditetapkan
dalam al-Qur’an bahwa memaafkan merupakan kewajiban kaum Muslimin, bahkan
ketika mereka marah.27
Al-Qur’an juga secara jelas menegaskan :
Balasan untuk suatu kejahatan
Adalah kejahatan yang serupa dengannya
Tetapi jika seseorang
Memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi
Balasannya adalah
Dari Tuhan : Karena (Tuhan)
Tidak menyukai orang yang
Menurut ayat ini, pemberian ampunan dan rekonsiliasi adalah tindakan tepat
dalam situasi konflik. Lebih jauh, karena memaafkan merupakan suatu nilai yang
secara jelas dianjurkan di dalam al-Qur’an, maka hal ini berarti Islam meyakini
bahwa manusia mampu menjalaninya. Memaafkan merupakan obat penawar terhadap
tindakan-tindakan masa lalu yang tidak dapat diubah. Sebagai suatu proses
antara dua kelompok yang bertikai, memaafkan menjadi suatu tindakan saling
membebaskan bagi yang memberi maaf dan yang dimaafkan. Maaf membantu mengubah
hubungan-hubungan sosial, sehingga perdamaian dan tindakan non-kekerasan
menjadi mungkin di masa depan.
Kelima nilai inti Islam, yaitu Kesabaran, Penghormatan dan Penghargaan
atas kemanusiaan pihak lain, berbagi bersama, kreativitas dan tindakan
memaafkan yang diidentifikasi dari kedua kisah dalam kehidupan Nabi di atas
adalah kondusif bagi upaya-upaya penciptaan perdamaian dan menghindari tindak
kekerasan baik dilingkungan dalam (intern) umat beragama maupun lingkungan luar
(ekstern) umat beragama. Nilai-nilai itulah – disamping nilai-nilai lain yang
perlu terus menerus diidentifikasi lebih lanjut dan terus menerus – adalah
merupakan manifestasi tujuan ilahi yang tertanam dalam misi kenabian Muhammad.
Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin hanya dapat dipahami lewat perspektif
nilai-nilai fundamental yang ditawarkan, yakni nilai-nilai yang dapat berlaku
untuk semua etnis, bangsa, ras, kulit dan agama, tanpa syarat apapun.
Pengembangan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah dan Gerakan
Ta’shil al-Ushul: Catatan Penutup
Muhammadiyah seperti sebagai gerakan sosial-keagamaan, al-amr bil ma’ruf wa
al-nahyu ‘an al-munkar, dan sekaligus representasi gerakan civil Islam29 di tanah air
perlu tampil kedepan mempelopori gerakan kultural “baru” dalam era globalisasi
saat sekarang ini untuk mempromosikan kembali nilai-nilai inti Islam sebagai
pendukung pilar-pilar perdamaian dan mendahulukan tindakan anti kekerasan dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, beragama dan dalam pergaulan internasional.
Lewat jalur pendidikan dan amal sosial yang ditekuni selama ini, Muhammadiyah
dapat berperan aktif menyemaikan nilai-nilai inti keislaman untuk perdamaian
dunia dengan metode dan pendekatan yang baru, aktual, dan segar. Bersama
organisasi sosial-keagamaan yang lain, lembaga swadaya masyarakat atau NGO di
tanah air tak henti-henti menyuarakan pentingnya kehidupan yang memihak pada
ideology co-existence yakni hidup berdampingan secara damai dengan niali-nilai
yang dikedepankan dan dipromosikan seperti : Kerjasama (co-operation),
saling merengkuh (inclusive), mengutamakan nilai-nilai yang dipegang
teguh oleh umat manusia secara universal dan bukannya nilai-nilai yang dipilih
secara selektif yang hanya menguntungkan diri dan kelompoknya saja, supel dalam
pergaulan sosial-kemasyarakatan dan sosial-keagamaan (tidak rigid-kaku), merasa
dengan sungguh-sungguh saling bergantung secara timbal balik dengan pihak dan
kelompok lain (reciprocity), selalu mencari modus-modus baru untuk
keluar dari akar-akar konflik yang laten secara kreatif, memilih upaya yang
bersifat transformatif dan bukannya mendahulukan konflik, mengedepankan
skenario dan pemecahan persoalan apapun lewat skenario sama-sama menang (win-win
solution) dan bukannya skenario yang satu menang dan yang lain harus kalah
(win-lose solution), dan dengan cermat dan cerdas pula melihat penomena
kemanusiaan tidak secara hirarkis-berjenjang tetapi lebih melihatnya secara
semitris-sederajat.
Penciptaan nilai-nilai baru seperti tersebut diatas itulah yang diinginkan
oleh banyak kalangan, khususnya para ahli usul fikih baru, dengan menekankan
perlunya membangun dan menetapkan kembali prinsip-prinsip usul fikih baru (ta’shil
al-ushul) dan bukannya sekedar memulai ijtihad pada masalah-masalah cabang
(faru’).
Setelah “tertutup”nya pintu ijtihad, sebagian para ahli ushul fikih dan
ahli fikih yang berorientasi pembaharuan, berpikir perlunya membangun ulang
prinsip-prinsip fikih diatas dasar tujuan-tujuan syari’at sebagai pengganti
dari sikap membatasi diri pada ijtihad melalui analogi, yakni analogi
masalah-masalah khusus yang tidak ada penjelasan teksnya dengan masalah-masalah
khusus yang ada penjelasan teksnya. Mereka kemudian berangkat dari “prinsip”
bahwa “syari’at sebenarnya dibuat untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat”. Berdasarkan ini, tujuan-tujuan syari’at tersebut tidak lebih dari
tiga jenis yaitu : (kemaslahatan) elementer (dharuriyyat), komplementer
(hajiyyat) dan suplementer (tahsiniyyat).
Satu hal perlu dicatat disini bahwa para ahli ushul fikih masa lalu,
sebagaimana yang telah terurai dalam buku-buku ushul fikih, menetapkan
kemaslahatan elementer dan yang lainnya secara induktif, yaitu dengan berpijak
pada data-data yang ada pada peradaban di masa mereka di satu sisi dan
berpegang pada perintah-perintah dan larangan-larangan syari’at disisi lain,
kemudian mereka merangkum kemaslahatan elementer menjadi lima : memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya, mereka
merenungkan lima hal ini di tengah masyarakat Islam yang pada saat itu
merupakan dunia yang berdiri sendiri dan independen dari masyarakat-masyarakat
lainnya yang memang tak signifikan untuk diperhitungkan, karena yang
benar-benar signifikan saat itu adalah masyarakat Arab Islam yang peradabannya
merupakan peradaban dunia secara keseluruhan. Adapun sekarang, kita sedang
hidup di dunia lain, dimana kita telah menjadi pengikut bukan yang diikuti,
suatu dunia yang didalamnya segala keadaan berubah dan berbagai hak dan
kewajiban berkembang dan persaingan serta ancaman merajalela, maka mau tidak
mau bagi setiap pemikir yang serius mengupayakan pembaruan dan “membuka”
pintu ijtihad, serta berusaha merealisasikan otensitas dan kekiniaan, untuk
memperhitungkan apa saja perubahan-perubahan baru yang terjadi, yang tentu saja
banyak dan dalam.
Memang, lima hal yang ditetapkan oleh para ahli fikih masa lalu itu sebagai
kemaslahatan “elementer” tetap dan akan tetap secara aktual merupakan hal-hal
yang elementer, yakni merupakan tujuan-tujuan dasar bagi setiap hukum yang
benar-benar bertujuan untuk melayani “kemaslahatan manusia”. Namun menurut para
pemikir Muslim kontemporer seperti Muhammad Arkoun, Abdullahi Ahmed al-Naim,
Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid dan yang lain-lain, “kemaslahatan
manusia” hari ini tidak lagi terbatas pada pemeliharaan agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta, melainkan mencakup, selain yang lima ini, hal-hal lainnya
seperti hak bagi kebebasan afiliasi politik, hak memilih para penguasa dan
mengganti mereka, hak mendapatkan kerja, sandang, pangan, hak pendidikan dan
pengobatan … dan hak-hak dasar lainnya bagi seorang warga negara kontemporer.
Sedangkan, kemaslahatan komplementer selain apa yang telah disebutkan
oleh para pendahulu kita, ada kemaslahatan komplementer baru, seperti kebutuhan
akan pemeliharaan kesehatan dan penjagaan dari penyakit dengan penyediaan
rumah-rumah sakit dan lain-lain, kebutuhan kepada apa yang diperlukan untuk
merangsang pemikiran baru dalam berbagai lapangan ilmiah, seni dan teori dan
kebutuhan akan apa yang diperlukan bagi upaya untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar tentang realitas dan berbagai peristiwa. Adapun kemaslahatan komplementer
yang dituntut oleh zaman kita, seperti kata orang, kita bisa sebut apa saja,
dan tidak ada keberatan apapun (fa haddits wa la haraj).
Adapun yang supplementer, ia juga tak terhitung jumlahnya pada
dataran ini. Dalam kaitannya dengan yang menyempurnakan yang elementer,
komplementer dan suplementer, pada dataran ini memungkinkan untuk disebutkan,
hanya sebagai contoh, yaitu menjaga reputasi dan nama baik umat dengan cara
menghindari apa yang dapat merusak nilai-nilai dan etikanya, seperti keharusan
menyebarkan cahaya nilai-nilai fundamental-esensial seperti terurai diatas, dan
mencari para pendukung serta sekutu untuk menyebarluaskan, mensistimatisasikan,
memelihara, dan menjadikannya sebagai pandangan hidup keagamaan dan keislaman
yang baru.
Gerakan Islam untuk mempromosikan dan menyebarluaskan perdamaian dan
semangat keagamaan yang anti kekerasan perlu terus menerus ditiup dan hembuskan
oleh para aktivis keagamaan. Salah satu basis roh nilai-nilai fundamental yang
memihak kepada upaya perdamaian dan anti kekerasan yang harus mengilhami
gerakan pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah adalah
dengan cara menetapkan dan mengokohkan prinsip-prinsip baru (ta’shil
al-ushul) dalam cara berpikir keagamaan Islam era modernisasi dan
globalisasi saat sekarang ini tanpa kehilangan basis identitas sosiologis
keislaman umat.
Yogyakarta, 24 Juni 2003
0 komentar:
Posting Komentar