Pesan Islam untuk Perdamaian dan Anti Kekerasan



M. Amin Abdullah

* “Salamun, qaulan min rabbir ar rahim”
(Kepada mereka dikatakan) : “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (Al-Qur’an : Surah Yaasin, 58)
* “Dan jika seseorang menyelamatkan satu jiwa, ini seolah-olah ia telah menyelamatkan jiwa seluruh umat” (Al-Qur’an : Surah al-Maaidah, 32)

Pengantar
Bagaimana menjauhkan dan mensterilkan agama dari tindak kekerasan sebagian pengikutnya adalah tugas yang maha berat bagi para agamawan dan lebih-lebih bagi para tokoh dan pimpinan agama era globalisasi sekarang ini. Terlebih-lebih, era globalisasi ditandai dengan penomena merebaknya nilai-nilai baru yang cenderung kurang begitu sehat seperti persaingan ketat (competitiveness), ketertutupan (exclusivity), kaku (rigid), polarisasi, mendahulukan kepentingan yang dominan, pertentangan alias konflik, cara berpikir dan bersikap yang lebih mengedepankan menang-kalah dan bukannya menang-menang.Keseluruhannya, jika terakumulasi dan tidak terkendali akan dengan mudah mengarah ke tindak kekerasan dalam kehidupan sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-keagamaan.

Tidak enak memang mengaitkan agama, khususnya Islam, dengan tindak atau perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian pemeluknya. Tidak ada agama di dunia ini yang menganjurkan pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan (violence). Namun, kenyataan di lapangan dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam pergaulan internasional, berbicara lain. Perilaku dan tindak kekerasan yang dilakukan di berbagai negara seringkali membawa-bawa agama . Agama Hindu di India, Buddha di Thailand, Katolik dan Protestan di Irlandia, Yahudi di Israil, Islam di Palestina, Afganistan, Filipina, Indonesia dan beberapa daerah lainnya.

Mengapa tindak kekerasan baik di wilayah domestik maupun publik belakangan ini seringkali terjadi dan dilakukan oleh para pelaku yang mengatasnamakan atau lebih tepat disebut membawa-bawa agama sebagai identitas pelakunya? Disinilah letak kesulitannya. Ketika ajaran agama yang mulia (aspek doktrinal-normatif) masuk wilayah perilaku (aspek pergumulan historis-empiris), maka banyak hal bisa terjadi. Satu hal yang perlu dicatat. Perilaku keagamaan (religious behaviour) sesungguhnya diselimuti oleh kabut tebal tingkat kwalitas pemahaman seseorang atau kelompok atas doktrin dan dogma agama yang diyakininya, pandangan seseorang atau kelompok terhadap keberadaan orang atau kelompok penganut agama lain, model metode pendidikan dan pengajaran agama (literalis, skriptualis, dogmatis, hermeneutis, historis, sosiologis, filosofis) yang biasa diperoleh di bangku sekolah, pesantren atau majlis-majlis taklim dan perguruan tinggi keagamaan, cara dan model penafsiran atau interpretasi situasi sosial-politik yang melingkari organisasi sosial-keagamaan, kepentingan sosial-politik dan sosial-ekonomi yang hendak diraih oleh kelompok tertentu, tingkat kemerosotan wibawa hukum yang diperankan oleh pemerintah (tingkat kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme), ketercukupan dan keterjepitan ekonomi, dinamika hubungan intern umat beragama (tradisional, modern, salafi, moderat, radikal, liberal, progressif), rivalitas dengan kelompok ekstern umat beragama dalam aktivitas pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya, panas-dinginnya cuaca hubungan internasional (perang dingin, perang terbuka, tindakan agresi, aneksasi), dan banyak hal yang lain. Situasi historis-empiris perilaku keagamaan ternyata jauh lebih rumit daripada hanya berbaik sangka pada wilayah normatif-doktrinal.

Latar belakang historis-empiris yang pelik-kompleks tersebut yang ikut memicu munculnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh pribadi, kelompok, golongan, ras, bahkan negara. Tindakan kekerasan lewat aksi pengeboman Bali 12 Oktober 2002, tindakan terror terhadap simbol kedigdayaan ekonomi Amerika, gedung World Trade Center (WTC) 11 September 2001, bom bunuh diri yang seporadis semakin sering terjadi di wilayah Israil, Palestina, Arab Saudi, Kasablanka, Chechnya, perang Amerika melawan Iraq dan begitu seterusnya merupakan catatan peristiwa penting dalam sejarah umat manusia era globalisasi yang membawa-bawa agama didalamnya.

Tulisan sederhana ini mencoba melihat sekilas model gerakan radikal Islam Indonesia pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan perlunya kewaspadaan gerakan sosial-keagamaan kedepan, khususnya bagi gerakan pembaharuan dan pengembangan pemikiran keagamaan Muhammadiyah, dalam melakukan tindakan affirmatif preventif untuk menyelamatkan pesan perdamaian yang dikumandangkan oleh Islam, yang disimbolkan lewat tindakan profetik “hijrah” ke Yatsrib di awal kenabian dan peristiwa “fathu Makkah” di akhir era kenabian.

Gerakan Islam “Garis Keras” Pasca Runtuhnya Orde Baru: Memahami Faktor Pendorong dan Pola Dasar Gerak Perjuangannya
Gerakan Islam garis keras di Timur Tengah telah muncul kepermukaan, sekitar 30-40 yang lalu, terutama didorong oleh kekalahan bangsa Arab -yang diidentikkan dengan kekalahan Islam- menghadapi agresi dan pendudukan Israil di Palestina, tahun 1967. Kemudian, mendapat momentum baru ketika para ulama Syi’ah Iran Ayatullah Khomeini, -lagi-lagi Syi’ah disini direpresentasikan sebagai Islam, dengan melupakan perbedaannya dengan mayoritas Sunni- tahun 1979, berhasil menumbangkan rejim Kekaisaran Riza Pahlevi. Keduanya memberi inspirasi dan dorongan yang cukup kuat bagi menjamurnya gerakan Islam radikal di Timur Tengah untuk melawan ketidakadilan, penindasan, korupsi oleh rezim yang dianggap sekuler dan kaki tangan imperialisme Barat.

Para pemikir Muslim kontemporer di Timur Tengah tidak ada yang tidak menaruh perhatian serius terhadap munculnya ideologi Islam atau Islamisme yang mengkampanyekan al-Shahwah al-Islamiyyah dan al-Nizam al-Islamy dengan berbagai cara yang ditempuh. Sejak dari Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammad Abid al-Jabiri, Mohammad Arkoun, Muhammad Syahrur dan yang lain-lain.

Rupanya kebangkitan gerakan garis keras Islam di Indonesia tinggal tunggu waktu untuk muncul ke permukaan. Pada era Orde Baru, gerakan garis keras Islam telah pernah muncul, seperti Komando Jihad, tetapi cepat dilumpuhkan oleh pemerintah. Momentum yang dianggap tepat adalah jatuhnya rejim Orde Baru yang telah berkuasa di Indonesia selama 30 tahun. Ditengah perubahan politik yang begitu dahsyat sejak tahun 1998, Islam radikal menemukan momentumnya untuk menegaskan corak keberagamaan mereka di Indonesia. Pola perjuangan mereka ditunjukkan secara jelas tanpa ragu atau takut mendapat tekanan keras dari rezim kekuasaan. Hal ini dilakukan untuk merebut simpati umat Islam bahwa mereka benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam di Indonesia. Ketika Orde Baru jatuh, kecenderungan “garis keras” (hardliners) semakin meningkat dalam gerakan Islam. Peningkatan aktivitas garis keras ini sering dilihat sementara pengamat Islam di Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri, sebagai bangkitnya radikalisme, atau bahkan apa yang mereka sebut “fundamentalisme” Islam di tanah air.

Indikator meningkatnya gerakan Islam garis keras di tanah air yang sering diangkat media massa dan pengamat sosial-keagamaan adalah kemunculan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang kelihatan lebih keras dan tegas -cenderung tanpa kompromi- untuk mencapai agenda-agenda tertentu yang berkaitan dengan kelompok Muslim tertentu, bahkan dengan pandangan dunia (world view) Islam tertentu sebagai sebuah agama. Kesan garis keras itu agaknya pertama kali bisa terlihat dari nama dan terminologi yang mereka gunakan. Terdapat kelompok-kelompok yang menggunakan nama-nama seperti Jundullah (Tentara Allah), Laskar Jihad, dan Hizbullah (Partai Allah) atau organisasi yang kelihatan lebih besar, seperti Front Pembela Islam (FPI).

Kondisi semacam ini tentu saja berbeda secara diametral dengan generasi Islam 1970-an dan 1980-an. Ketika itu, pendekatan dan modus artikulasi pemikiran dan aksi politik Islam sudah mengalami perubahan cukup penting dimasa Orde Baru. Akibat sikap represif pemerintah Orde Baru terhadap Islam, sejumlah intelektual merubah pemikiran dan aksi politiknya, yang tidak lagi legalistik-formalistik. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan kembali potensi umat dan menumbuhkan simpati pemerintah terhadap Islam. Itulah sebabnya, dalam dekade 1980-an, terjadi pergeseran orientasi dikalangan organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, kaum intelektual, dan para aktivis nonpartai. Generasi baru ini, dalam bahasa Bahtiar Effendy disebut “intelektual baru Islam”, menempuh strategi kultural dengan memproduksi wacana politik Islam yang inklusif dan substansialistik. Tujuannya terutama untuk memperbaiki hubungan yang tidak harmonis antara Islam dengan negara. Yakni, mencari pola relasi agama (Islam) dan negara yang lebih harmonis dan tidak saling curiga.

Sejak masa Orde Baru, gerakan Islam substansialistik-inklusif jauh lebih berpengaruh dibanding gerakan Islam militan-radikal. Dukungan pemerintah, ditambah dengan represi  terhadap mereka, telah memberi peluang bagi gerakan Islam substansialis-inklusif untuk mengembangkan dan menyebarkan gagasan-gagasan mereka. Lebih dari itu, kebijakan politik dan kultural pemerintah Orde Baru telah mendorong pertumbuhan pesat komunitas santri yang lebih besar, lebih terdidik dan relatif makmur. Hal paling penting disini adalah banyak anggota kelompok yang mengalami mobilitas vertikal ini bersikap simpatik terhadap posisi gerakan Islam substansialis-inklusif, memungkinkan mereka untuk menjadi Muslim yang saleh, sekaligus tidak mengundang kecurigaan pemerintah sehingga mereka dijuluki sebagai kelompok “ekstrim kanan”.

Sejak lengsernya Orde Baru dari panggung kekuasaan, masa transisi di Indonesia dimulai dengan perubahan sosio-politik yang amat menentukan bagi masa depan bangsa. Kejatuhan rezim Orde Baru (1998) membawa perubahan yang signifikan untuk menata bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, sosial dan politik. Hal ini disebabkan oleh lemahnya fundamental ekonomi dan rapuhnya ikatan sosial masyarakat, sehingga terjadi banyak gejolak sosial dan meningkatnya suhu politik nasional. Transisi yang dicirikan dengan pergantian kekuasaan ternyata tidak secara cepat mengantarkan bangsa Indonesia dari rezim otoriter ke rezim demokratis.
Disinilah momentum munculnya gerakan Islam radikal untuk menunjukkan kekuatannya sebagai daya tekan (oposisi) kepada rezim yang dianggap tidak aspiratif terhadap Islam. Simpati masyarakat terhadap gerakan radikal sudah semakin luas dengan corak pemikirannya yang skriptualis-radikal. Slogan-slogan yang biasa muncul di Timur-Tengah mulai bermunculan di tanah air misalnya bahwa al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang harus dipahami secara literal9, bahwa al-Qur’an dan Hadis sudah menyediakan seperangkat hukum dan doktrin halal-haram lainnya bagi perilaku individu maupun masyarakat, dan bahwa -tidak seperti agama lain, khususnya Kristen yang “menyerahkan urusan Tuhan kepada Tuhan dan urusan Kaisar kepada Kaisar”- Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pemerintahan. Keinginan untuk tetap menjadi bagian dari identitas kepemimpinan politik menyebabkan artikulasi politik mereka cenderung romantis, dengan sikap keberagamaan yang skriptualistik, menekankan penegasan diri serta orientasi perjuangan politik yang mengutamakan keterikatan pada formalisme ideologis teks “Islam Politik” (Political Islam).

Menurut penelitian Khamami Zada, pola perjuangan gerakan Islam radikal di Indonesia dilakukan dalam dua pola; kultural (dakwah Islam) dan struktural. Kelompok Islam radikal yang menggunakan pola ini adalah Majelis Mujahidin untuk mencapai misi utama pemberlakuan Syari’at Islam. Pendekatan struktural yang dilakukan Majelis Mujahidin adalah kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang Muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam dan siap memberlakukan Syari’at Islalm dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara dapat dikelola sesuai dengan ajaran yang dituturkan oleh Swt.11

Sementara itu, pendekatan kultural dilakukannya dalam format gerakan pembinaan akidah, akhlak, pendidikan, sosial dan ekonomi tanpa mau terlibat sedikitpun dalalm urusan perjuangan politik. Gerakan ini lebih mengutamakan pendekatan-pendekatan akhlak individual, keluarga dan masyarakat. Usaha-usaha ini dilakukan melalui lembaga-lembaga Pendidikan formal atau nonformal, pengajian, dan kursus-kursus keagamaan lainnya.12

Dua pola perjuangan inilah yang juga dilakukan KISDI. KISDI berjuang secara politik (struktural) dan kultural. KISDI banyak melakukan gerakan politik karena sebaik-baik kebaikan adalah dakwah kepada penguasa (dakwah politik). Karena kalau umat Islam sudah berkuasa, semuanya menjadi mudah seperti dicontohkan Nabi Muhammad Saw di Madinah. Kekuasaan diyakini oleh KISDI sangat efektif untuk menjalankan agenda Islam.13

Pola perjuangan kultural dan struktural juga dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam). Dua pola perjuangan ini dilakukan secara bersama-sama demi tegaknya Syari’at Islam. Karena itu, FPI sangat giat memperjuangkan aspirasi Islam kepada pemerintah sekaligus melakukan kegiatan dakwah ditengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat diikuti dari gerakan mereka yang memperjuangkan aspirasi Islam dengan melakukan lobi-lobi kekuasaan dan pawai demonstrasi/unjuk rasa (DPR, MPR, dan Partai Politik) menentang kebijakan negara atau mendesakkan tuntutan aspirasi Islam, sekaligus dibarengi dengan kegiatan dakwah di masyarakat.

FPI, KISDI dan Majelis Mujahidin menggunakan kombinasi pola perjuangan ini. Mereka biasanya menyampaikan aspirasinya dengan menggelar aksi unjuk rasa kepada parlemen (legislatif) dan pemerintah. Secara lebih konkrit mereka biasanya memberi dukungan kepada partai-partai politik yang memperjuangkan aspirasi Islam, seperti tuntutan dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam amandemen UUD 1945, sehingga gerakannya sering dianggap politis.14

Sementara itu, Laskar Jihad tidak menggunakan pola ini secara keseluruhan. Mereka lebih memilih jalur dakwah langsung kepada masyarakat agar terjadi proses Islamisasi masyarakat (Kulturalisasi Islam) secara menyeluruh. Itu sebabnya, Laskar Jihad tidak mau melakukan demonstrasi sebagai bentuk gerakan aspirasi. Mereka memandang demonstrasi sebagai bagian dari demokrasi yang dianggapnya sebagai sistem kafir yang harus ditolak. Karena itu, pola perjuangan kultural yang menjadi prioritas gerakan mereka. Bahkan, inilah yang menjadi bagian penting dari gerakan dakwah mereka; mengislamkan masyarakat agar dapat melaksanakan nilai-nilai Islam secara total (kaffah) tanpa perlu mendesakkan tuntutan kepada negara.15

Dapat ditarik benang merah bahwa semua ormas Islam beraliran radikal, seperti Laskar Jihad, FPI, KISDI, dan Majelis Mujahidin menyuarakan aspirasi Islam, terutama nasib umat Islam di tanah air dan umat Islam di negeri lainnya. Tidak berlebihan jika dinyatakan jika perjuangan umat Islam selalu menjadi agenda utama. Ada empat isu atau tema besar yang diperjuangkan kelompok Islam garis keras/radikal, (1) Piagam Jakarta, (2) Pemberantasan tempat-tempat maksiat, (3) Konflik antar agama dan (4) Solidaritas dunia Islam. Meski keempat kelompok Islam radikal memperjuangkan empat isu tersebut, tetapi masing-masing kelompok memiliki konsentrasi perjuangan yang berbeda-beda.16

Gerakan Islam “GARIS Keras” Dulu dan Kini: Akar-akar Sejarah
Sejak paruh pertama dari abad pertama hijrah, sejarah Islam telah menyaksikan berbagai jenis gerakan garis keras, hardliners atau ekstrimisme yang dalam bentuk tertentu sebagian pengaruhnya masih terasa hingga sekarang di ranah pemikiran keagamaan Arab kontemporer dan umat Islam di berbagai tempat yang lain. Jika kita paparkan gerakan-gerakan ekstrim sejak peristiwa kekacauan besar (al-fitnah al-kubra) hingga sekarang, maka kita akan temukan bahwa gerakan-gerakan itu tanpa kecuali, memiliki hubungan langsung atau tidak, dengan politik. Sampai kadar tertentu dapat dikatakan bahwa ekstrimisme dalam Islam selalu saja merupakan sejenis ungkapan sikap politik tertentu. Ini merupakan masalah yang mudah untuk dipahami dan dijelaskan jika kita melihatnya dengan pertimbangan keterikatan agama dengan politik dan politik dengan agama dalam pengalaman peradaban Islam. Politik saat itu dijalankan atas nama, dan mencari legitimasi dari agama, sehingga menyebabkan pertarungan politik pada umumnya berada di bawah payung agama.

Tidak perlu diuraikan disini gerakan ekstrim dalam Islam dan tidak pula kecenderungan politik dari sikap-sikap dan tawaran-tawaran yang diajukan, karena hal tersebut dapat dibaca dalam literatur sejarah Islam (seperti Khawarij, al-Ghulat, dan gerakan-gerakan Bathiniyyah). Yang penulis pandang perlu dikemukakan disini adalah apa yang membedakan gerakan-gerakan Islam ekstrim kontemporer di tanah air seperti terurai diatas dari gerakan-gerakan serupa dimasa lalu. Gerakan-gerakan ekstrim masa lalu mempraktikkan ekstrimisme pada dataran aqidah, sedangkan gerakan-gerakan ekstrim kontemporer menjalankannya pada dataran syari’ah.17

Kaum Khawarij dan gerakan-gerakan Bhatiniyyah dengan berbagai aliran dan jenisnya, tidak pernah melontarkan masalah “penerapan syari’ah”, dan tidak pula menjadikannya sebagai slogan, tetapi semua slogan-slogan mereka berada pada dataran “aqidah” (hubungan antara dzat dan sifat Tuhan, determinisme (al-Jabr) dan indterminisme (al-Ikhtiyar), keadilan Tuhan, cara penciptaan alam dan lain-lain. Memang benar, bahwa masalah pokok yang menjadi titik berangkat dari perbincangan dalam aqidah adalah masalah “imamah”, masalah yang merupakan asal-muasal perselisihan dalam Islam, namun adalah benar juga bahwa masalah ini, yakni masalah “imamah” atau “khilafah” dilontarkan pada dataran aqidah, bukan pada dataran syari’ah. Hal ini berarti bahwa politik dijalankan dalam agama pada dataran aqidah, bukan pada dataran syari’ah.

Sedangkan sekarang, masalahnya justeru sebaliknya: perselisihan gerakan-gerakan Islam ekstrim dengan gerakan-gerakan moderat adalah dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan syari’ah, bukan aqidah, yang berarti bahwa politik yang dipraktikkan dalam agama sekarang ini berada pada dataran syari’ah, bukan pada dataran aqidah. Disini lalu dapat dipahami slogan yang diangkat oleh gerakan-gerakan ini, yaitu slogan “penerapan syari’ah”, dan dari sini pula dapat diketahui wilayah dimana politik dimainkan.

Demikianlah, masalah determinisme dan indeterminisme, iman dan kufur, tanzih dan tasybih … dan seterusnya yang dulunya merupakan masalah-masalah yang diperdebatkan dan karenanya para ahli Kalam terpecah kepada yang moderat dan yang ekstrim, sekarang kita temukan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan syari’ah dan fiqh seperti memotong tangan pencuri, riba, hijab … dan seterusnya yang menjadi masalah yang diperdebatkan. Orang dan kelompok organisasi Islam berselisih pendapat sekitar cara penerapan dalam berbagai masalah dan ini berarti bahwa sekarang politik dimainkan dalam terminologi Islam pada dataran syari’ah18 bukan pada dataran aqidah sebagaimana yang terjadi masa lalu. Mengapa demikian?

Jawaban bagi pertanyaan ini harus dicari dalam sejarah, yakni dalam politik, bukan dalam agama itu sendiri. Sejarah menunjukkan pada kita bahwa perselisihan pada dataran aqidah dalam Islam berlangsung dalam dua tahap: Pertama, tahap kemunculan awal. Masalah pokok pada tahap ini adalah masalah imamah, yang pada dasarnya adalah masalah internal umat. Kedua, tahap pengukuhan/pemantapan dan penulisan. Tahap ini berawal ketika Islam berbenturan dengan aqidah-aqidah dan agama-agama masyarakat lain yang baru memeluk Islam, sehingga perselisihan yang terjadi pada mulanya berwatak sosial-politis ( masalah Muslim non Arab [al-mawaly]19, gerakan pendukung persamaan [ahl al-taswiyah] dan gerakan kerakyatan [Syu’ubiyyah] ) untuk kemudian berkembang menjadi perselisihan pemikiran “murni” yang tampil dalam bentuk benturan keras antara sistem aqidah Islam dengan sistem-sistem aqidah dan pemikiran yang diwarisi dari peradaban-peradaban sebelum Islam. Jadi, terjadinya perselisihan pada dataran “aqidah”, karena disana terdapat berbagai sistem pemikiran keagamaan. Sedangkan pada dataran sosial, saat itu yang ada adalah satu sistem sosial yang berada pada tataran perkembangan yang sama, satu hal yang tidak memungkinkan terjadinya perselisihan pada dataran syari’at (dan jika pun terjadi, maka yang terjadi hanyalah pada masalah-masalah yang sangat partikular, seperti yang terjadi antara mazhab Hanafi, mazhab Iraq yang mencapai perkembangan pada tingkat tertentu dan mazhab Malik, mazhab Madinah yang juga berkembang hanya terjadi pada tingkat perkembangan bukan pada jenisnya).

Demikianlah pula dapat dikatakan, bahwa inilah yang sebenarnya terjadi, bahwa gerakan salafi kontemporer telah tumbuh secara internal, dan masalah pokok yang diajukan pada awalnya adalah masalah bid’ah yang berkembang dalam diri masyarakat Islam sendiri (menziarahi kubur, tarekat-tarekat sufi). Kemudian gerakan tersebut mengkristal -dan ini adalah tahap kedua kontemporer- ketika terjadi perbenturan masyarakat Islam dengan sistem-sistem peradaban Eropa modern, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Perbenturan tersebut pada awalnya berwatak politis (yakni perlawanan yang luas terhadap penjajahan Eropa), kemudian masalahnya berkembang menjadi perselisihan yang berwatak aliran pada dataran sistem sosial (yakni sistem Islam dan syari’at Islam berhadapan dengan sistem kapitalis dan sistem sosialis dan seterusnya).

Seperti halnya ekstrimisme menampilkan dirinya di masa lalu pada dataran aqidah melawan mazhab-mazhab yang moderat, ekstrimisme atau gerakan Islam radikal masa kini di Indonesia post era Orde Baru menampilkan dirinya pada dataran syari’ah dengan melawan mazhab-mazhab moderat juga. Sebagaimana masalah-masalah syari’ah di masa lalu dianggap sebagai masalah-masalah pinggiran (perbedaan-perbedaan diantara mazhab-mazhab fiqh tidak merangkak ke tataran ekstrimisme), maka demikian pula sekarang ini perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan ranah aqidah (Sunni, Syi’ah, Asy’ariyah, Hanbaliyah) dianggap sebagai perbedaan-perbedaan pinggiran sehingga pusat perhatian diarahkan kepada dataran syari’ah, kemudian dikumandangkanlah slogan penerapannya.20

Tampak dari uraian singkat ini, bahwasanya konflik atau perselisihan yang sangat potensial mengarah pada tindak kekerasan tidak hanya terbatas antar pengikut agama yang berbeda, tetapi lebih-lebih sangat mungkin terjadi dapat meletup pada wilayah intern umat seagama itu sendiri. Para penganut sosiologi agama mengingatkan bahwa konflik agama dalam bentuknya yang paling mendalam dan akut adalah bentuk konflik antara golongan atau kelompok agama yang memisahkan diri (heretics atau splinter group) dari mainstream kekuasaan agama (religious authorities), yaitu konflik di dalam tradisi keagamaan itu sendiri.21 Hal ini yang terus menerus perlu diwaspadai oleh umat Islam, dan umat beragama yang lain sudah barang tentu.

Nilai-nilai Inti Islam untuk Menciptakan Perdamaian dan Anti Kekerasan
Sebagai Din, atau cara hidup yang menyeluruh, Islam mengaku mencakup seluruh bidang aktivitas manusia. Karena itu, tidak sulit mencari konsep-konsep tentang penciptaan perdamaian di dalam agama tersebut. Namun, mengidentifikasi “nilai-nilai inti” yang kondusif untuk menciptakan perdamaian yang pada umumnya dapat diterima di kalangan kaum Muslimin dapat menjadi lebih pelik, karena dalam Islam gagasan perdamaian itu sendiri bukannya tidak bermasalah. Contohnya, sebagian orang akan berpendapat bahwa kata bahasa Arab yang terkenal untuk perdamaian, yaitu Salam, hanya berarti ketenangan dan keselamatan. Sementara istilah Sulh, yang berarti gencatan senjata atau perjanjian penghentian peperangan untuk suatu waktu, menunjukkan berakhirnya perang.22 Yang lainnya akan menegaskan bahwa kata Salam memiliki setidaknya 6 (enam) makna, yang mencakup makna keamanan dan keabadian dalam pengertian yang non-duniawi, kesehatan, keterpeliharaan/keselamatan, ucapan Salam, penyerahan diri secara ikhlas, serta kebebasan dari unsur-unsur yang mengganggu.23

Supaya sampai ke nilai-nilai inti yang kondusif bagi penciptaan perdamaian dan tindakan non-kekerasan dan yang akan diterima sebagian besar kaum Muslimin, praktik-praktik damai, non-violence nabi Muhammad dalam menyelesaikan konflik yang keras atau potensial mengarah kepada kekerasan akan di identifikasi dari praktik-praktik kenabian itu sendiri. Karena praktik beliau (Sunnah) telah diterima sebagai paradigma bagi urusan-urusan kemanusiaan di kalangan kaum Muslimin, sorotan atas nilai-nilai inti ini akan memberikan sumbangan berarti bagi pendekatan-pendekatan penciptaan tindakan anti kekerasan dan perdamaian pada umumnya terhadap situasi eksistensial yang melibatkan kaum Muslimin sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam konflik-konflik yang keras.24

Penulis akan memusatkan perhatian pada kejadian penting dimana tindakan non-kekerasan dan penciptaan perdamaian Nabi sangat jelas. Kedua kejadian ini –yang dikenal dengan baik oleh kaum Muslimin di seluruh dunia dan, karenanya diterima secara umum adalah pembangunan kembali Ka’bah pada tahun 605 dan penaklukan kembali Makkah pada tahun 630. Sekalipun secara historis tidak berhubungan, kedua peristiwa itu berkaitan secara teoritis, khususnya jika ditinjau dari perspektif penciptaan perdamaian. Kejadian pertama berlangsung sebelum pewahyuan al-Qur’an kepada Nabi dan karenanya, merupakan waktu ketika ia dapat dipandang sebagian orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik apapun. Kejadian ini juga merupakan suatu konflik yang secara potensial mengarah kepada kekerasan. Peristiwa kedua terjadi ketika Nabi kembali ke Makkah sebagai pemegang dan pemimpin politik yang berkuasa, setelah pengasingan yang lama di Madinah. Kejadian ini dapat dipandang sebagai tahap akhir dari konflik keras yang berkepanjangan. Nilai-nilai inti yang kondusif untuk penciptaan perdamaian dan tindak non kekerasan dapat diidentifikasi dari tindakan Nabi dalam kedua peristiwa itu: pertama kali dilakukan sebagai individu yang tuna kuasa, dan belakangan sebagai pemimpin politik yang berkuasa.

Peristiwa pertama, pada tahun 605, ketika Nabi Muhammad berusia 35 tahun, masyarakat Makkah membangun kembali Ka’bah, yang sebelumnya telah rusak. Ketika itu, Ka’bah tegak tanpa atap dan hanya sedikit lebih tinggi dari tubuh manusia. Berbagai suku mengumpulkan batu untuk meninggikan bangunan Ka’bah. Mereka bekerja secara terpisah, hingga temboknya yang cukup tinggi untuk meletakkan batu hitam (Hajar Aswad) di sudutnya. Kemudian, meletuslah pertikaian pendapat karena setiap buku ingin mendapatkan kehormatan sebagai pengangkut batu hitam tersebut dan meletakkan di tempatnya. Kebuntuan berlangsung empat atau lima hari dan masing-masing suku bersiap-siap bertarung untuk menyelesaikan konflik.

Kemudian, orang tua dari yang hadir mengusulkan kepada kelompok-kelompok yang bertikai itu supaya mereka mengikuti apa yang disarankan orang berikutnya yang memasuki kompleks Ka’bah melalui gerbang “Bab al-Safa”. Seluruh pihak menyepakati usulan ini. Orang pertama yang masuk melalui gerbang tersebut adalah Muhammad. Setiap orang gembira karena Muhammad mereka kenal sebagian al-amin, yang terpercaya lagi tulus. Mereka siap menerima keputusannya.

Setelah mendengarkan kasusnya, Muhammad meminta mereka membawakan untuknya sepotong jubah, yang kemudian ia bentangkan di atas tanah. Ia mengambil batu hitam (Hajar Aswad) dan meletakkannya di tengah-tengah kain itu. Lalu, ia berkata : “Marilah setiap suku memegang pinggiran jubah. Kemudian, kalian angkatlah bersama-sama”. Ketika mereka mengangkatnya mencapai ketinggian yang tepat, Muhammad mengambil batu itu dan meletakkannya di sudut. Dan pembangunan kembali Ka’bah dilanjutkan hingga selesai.25

Dari tindakan Nabi dalam kasus ini, nilai-nilai inti untuk penciptaan perdamaian dapat diidentifikasi. Kesabaran tentunya merupakan nilai utama dalam upaya penciptaan perdamaian oleh Nabi, karena ia mendengar terlebih dahulu. Tindakan mendengarkan menandakan kesabarannya dan kehendak untuk mempelajari seluruh informasi yang ia dapat. Dengan mengajak setiap suku atau kabilah memegang pinggiran jubah, ia menegaskan signifikansi dan martabat masing-masing kelompok yang bertikai. Mereka seluruhnya setara. Nilai inti di sini adalah penghargaan dan penghormatan atas kemanusiaan seluruh kelompok. Ketika ia mengajak mereka mengangkat jubah bersama-sama, tindakan ini menyiratkkan bahwa kehormatan tidak harus diperoleh dengan mengorbankan pihak lain atau dengan menggunakan kekerasan, tetapi bisa dibagi bersama. Dalam kenyataannya, nilai berbagi bersama merupakan yang terpenting dalam kasus ini. Berbagi bersama menjadi mungkin dengan partisipasi yang sama di kalangan kelompok-kelompok yang bertikai. Sebagai tambahan, nilai berpikir kreatif yang ditandai dengan pemanfaatan jubah secara inovatif sebagai suatu wahana untuk menyelesaikan konflik tersebut, juga mesti ditekankan.

Secara keseluruhan, paradigma penciptaan perdamaian yang diperoleh dari tindakan Nabi sewaktu ia tidak memiliki kekuasaan politik apapun terdiri dari empat nilai penting : kesabaran, penghargaan terhadap kemanusiaan seluruh pihak, berbagi bersama, dan kreativitas dalam penyelesaian masalah.

Peristiwa kedua, terjadi padat tahun 622, ketika Nabi Muhammad berusia 53 tahun, Nabi memimpin kaum Muslimin melakukan tindakan eksodus dari Makkah ke Madinah, yang dikenal dengan peristiwa Hijrah. Setelah delapan tahun berjuang dan berperang dengan orang-orang Makkah, ia memimpin suatu pasukan untuk kembali ke Makkah. Orang-orang Makkah, yang berbuat kesalahan terhadap kaum Muslimin, pada masa-masa sebelumnya takut terhadap aksi balas dendam mereka.

Tetapi, ketika memasuki kata Makkah, Nabi berpidato kepada orang-orang yang menunggu tidak jauh dari Ka’bah. Ia bertanya : “Apa yang akan kalian katakan dan apa yang akan kalian pikirkan?” Mereka menjawab : “Kami berkata dan berpikir baik: Saudara yang terhormat dan murah hati, anak dari saudara yang terhormat dan murah hati, Andalah yang akan memberi perintah”. Ia kemudian berbicara kepada mereka dengan menggunakan kata-kata yang – menurut al-Qur’an – digunakan Yusuf ketika memaafkan saudara-saudaranya yang sedang menemuinya di Mesir. Ia berkata : “Sesungguhnya aku berkata seperti yang diucapkan Saudaraku Yusuf: pada hari ini tidak ada celaan (yang ditimpakan) atas kalian : Tuhan akan mengampuni kalian, dan Dialah yang maha penyayang diantara para penyayang”.26

Terlihat jelas bahwa nilai tunggal terpenting yang dapat diidentifikasi dari tindakan Nabi pada waktu penaklukan Makkah adalah memaafkan. Tindakan ini bukan semata-mata taktik politik. Sebab ia mengikuti suatu pola perilaku yang mapan. Pola perilaku Nabi, yang dibentuk oleh nilai inti kepemaafan merupakan suatu manifestasi ajaran-ajaran wahyu Tuhan. Ditetapkan dalam al-Qur’an bahwa memaafkan merupakan kewajiban kaum Muslimin, bahkan ketika mereka marah.27

Al-Qur’an juga secara jelas menegaskan :
Balasan untuk suatu kejahatan
Adalah kejahatan yang serupa dengannya
Tetapi jika seseorang
Memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi
Balasannya adalah
Dari Tuhan : Karena (Tuhan)
Tidak menyukai orang yang
Melakukan kezaliman28

Menurut ayat ini, pemberian ampunan dan rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik. Lebih jauh, karena memaafkan merupakan suatu nilai yang secara jelas dianjurkan di dalam al-Qur’an, maka hal ini berarti Islam meyakini bahwa manusia mampu menjalaninya. Memaafkan merupakan obat penawar terhadap tindakan-tindakan masa lalu yang tidak dapat diubah. Sebagai suatu proses antara dua kelompok yang bertikai, memaafkan menjadi suatu tindakan saling membebaskan bagi yang memberi maaf dan yang dimaafkan. Maaf membantu mengubah hubungan-hubungan sosial, sehingga perdamaian dan tindakan non-kekerasan menjadi mungkin di masa depan.

Kelima nilai inti Islam, yaitu Kesabaran, Penghormatan dan Penghargaan atas kemanusiaan pihak lain, berbagi bersama, kreativitas dan tindakan memaafkan yang diidentifikasi dari kedua kisah dalam kehidupan Nabi di atas adalah kondusif bagi upaya-upaya penciptaan perdamaian dan menghindari tindak kekerasan baik dilingkungan dalam (intern) umat beragama maupun lingkungan luar (ekstern) umat beragama. Nilai-nilai itulah – disamping nilai-nilai lain yang perlu terus menerus diidentifikasi lebih lanjut dan terus menerus – adalah merupakan manifestasi tujuan ilahi yang tertanam dalam misi kenabian Muhammad. Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin hanya dapat dipahami lewat perspektif nilai-nilai fundamental yang ditawarkan, yakni nilai-nilai yang dapat berlaku untuk semua etnis, bangsa, ras, kulit dan agama, tanpa syarat apapun.

Pengembangan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah dan Gerakan Ta’shil al-Ushul: Catatan Penutup
Muhammadiyah seperti sebagai gerakan sosial-keagamaan, al-amr bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar, dan sekaligus representasi gerakan civil Islam29 di tanah air perlu tampil kedepan mempelopori gerakan kultural “baru” dalam era globalisasi saat sekarang ini untuk mempromosikan kembali nilai-nilai inti Islam sebagai pendukung pilar-pilar perdamaian dan mendahulukan tindakan anti kekerasan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, beragama dan dalam pergaulan internasional.

Lewat jalur pendidikan dan amal sosial yang ditekuni selama ini, Muhammadiyah dapat berperan aktif menyemaikan nilai-nilai inti keislaman untuk perdamaian dunia dengan metode dan pendekatan yang baru, aktual, dan segar. Bersama organisasi sosial-keagamaan yang lain, lembaga swadaya masyarakat atau NGO di tanah air tak henti-henti menyuarakan pentingnya kehidupan yang memihak pada ideology co-existence yakni hidup berdampingan secara damai dengan niali-nilai yang dikedepankan dan dipromosikan seperti : Kerjasama (co-operation), saling merengkuh (inclusive), mengutamakan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh umat manusia secara universal dan bukannya nilai-nilai yang dipilih secara selektif yang hanya menguntungkan diri dan kelompoknya saja, supel dalam pergaulan sosial-kemasyarakatan dan sosial-keagamaan (tidak rigid-kaku), merasa dengan sungguh-sungguh saling bergantung secara timbal balik dengan pihak dan kelompok lain (reciprocity), selalu mencari modus-modus baru untuk keluar dari akar-akar konflik yang laten secara kreatif, memilih upaya yang bersifat transformatif dan bukannya mendahulukan konflik, mengedepankan skenario dan pemecahan persoalan apapun lewat skenario sama-sama menang (win-win solution) dan bukannya skenario yang satu menang dan yang lain harus kalah (win-lose solution), dan dengan cermat dan cerdas pula melihat penomena kemanusiaan tidak secara hirarkis-berjenjang tetapi lebih melihatnya secara semitris-sederajat.

Penciptaan nilai-nilai baru seperti tersebut diatas itulah yang diinginkan oleh banyak kalangan, khususnya para ahli usul fikih baru, dengan menekankan perlunya membangun dan menetapkan kembali prinsip-prinsip usul fikih baru (ta’shil al-ushul) dan bukannya sekedar memulai ijtihad pada masalah-masalah cabang (faru’).

Setelah “tertutup”nya pintu ijtihad, sebagian para ahli ushul fikih dan ahli fikih yang berorientasi pembaharuan, berpikir perlunya membangun ulang prinsip-prinsip fikih diatas dasar tujuan-tujuan syari’at sebagai pengganti dari sikap membatasi diri pada ijtihad melalui analogi, yakni analogi masalah-masalah khusus yang tidak ada penjelasan teksnya dengan masalah-masalah khusus yang ada penjelasan teksnya. Mereka kemudian berangkat dari “prinsip” bahwa “syari’at sebenarnya dibuat untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat”. Berdasarkan ini, tujuan-tujuan syari’at tersebut tidak lebih dari tiga jenis yaitu : (kemaslahatan) elementer (dharuriyyat), komplementer (hajiyyat) dan suplementer (tahsiniyyat).

Satu hal perlu dicatat disini bahwa para ahli ushul fikih masa lalu, sebagaimana yang telah terurai dalam buku-buku ushul fikih, menetapkan kemaslahatan elementer dan yang lainnya secara induktif, yaitu dengan berpijak pada data-data yang ada pada peradaban di masa mereka di satu sisi dan berpegang pada perintah-perintah dan larangan-larangan syari’at disisi lain, kemudian mereka merangkum kemaslahatan elementer menjadi lima : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya, mereka merenungkan lima hal ini di tengah masyarakat Islam yang pada saat itu merupakan dunia yang berdiri sendiri dan independen dari masyarakat-masyarakat lainnya yang memang tak signifikan untuk diperhitungkan, karena yang benar-benar signifikan saat itu adalah masyarakat Arab Islam yang peradabannya merupakan peradaban dunia secara keseluruhan. Adapun sekarang, kita sedang hidup di dunia lain, dimana kita telah menjadi pengikut bukan yang diikuti, suatu dunia yang didalamnya segala keadaan berubah dan berbagai hak dan kewajiban berkembang dan persaingan serta ancaman merajalela, maka mau tidak mau bagi setiap pemikir yang serius mengupayakan pembaruan dan “membuka” pintu ijtihad, serta berusaha merealisasikan otensitas dan kekiniaan, untuk memperhitungkan apa saja perubahan-perubahan baru yang terjadi, yang tentu saja banyak dan dalam.

Memang, lima hal yang ditetapkan oleh para ahli fikih masa lalu itu sebagai kemaslahatan “elementer” tetap dan akan tetap secara aktual merupakan hal-hal yang elementer, yakni merupakan tujuan-tujuan dasar bagi setiap hukum yang benar-benar bertujuan untuk melayani “kemaslahatan manusia”. Namun menurut para pemikir Muslim kontemporer seperti Muhammad Arkoun, Abdullahi Ahmed al-Naim, Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid dan yang lain-lain, “kemaslahatan manusia” hari ini tidak lagi terbatas pada pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, melainkan mencakup, selain yang lima ini, hal-hal lainnya seperti hak bagi kebebasan afiliasi politik, hak memilih para penguasa dan mengganti mereka, hak mendapatkan kerja, sandang, pangan, hak pendidikan dan pengobatan … dan hak-hak dasar lainnya bagi seorang warga negara kontemporer. Sedangkan, kemaslahatan komplementer selain apa yang telah disebutkan oleh para pendahulu kita, ada kemaslahatan komplementer baru, seperti kebutuhan akan pemeliharaan kesehatan dan penjagaan dari penyakit dengan penyediaan rumah-rumah sakit dan lain-lain, kebutuhan kepada apa yang diperlukan untuk merangsang pemikiran baru dalam berbagai lapangan ilmiah, seni dan teori dan kebutuhan akan apa yang diperlukan bagi upaya untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang realitas dan berbagai peristiwa. Adapun kemaslahatan komplementer yang dituntut oleh zaman kita, seperti kata orang, kita bisa sebut apa saja, dan tidak ada keberatan apapun (fa haddits wa la haraj).

Adapun yang supplementer, ia juga tak terhitung jumlahnya pada dataran ini. Dalam kaitannya dengan yang menyempurnakan yang elementer, komplementer dan suplementer, pada dataran ini memungkinkan untuk disebutkan, hanya sebagai contoh, yaitu menjaga reputasi dan nama baik umat dengan cara menghindari apa yang dapat merusak nilai-nilai dan etikanya, seperti keharusan menyebarkan cahaya nilai-nilai fundamental-esensial seperti terurai diatas, dan mencari para pendukung serta sekutu untuk menyebarluaskan, mensistimatisasikan, memelihara, dan menjadikannya sebagai pandangan hidup keagamaan dan keislaman yang baru.

Gerakan Islam untuk mempromosikan dan menyebarluaskan perdamaian dan semangat keagamaan yang anti kekerasan perlu terus menerus ditiup dan hembuskan oleh para aktivis keagamaan. Salah satu basis roh nilai-nilai fundamental yang memihak kepada upaya perdamaian dan anti kekerasan yang harus mengilhami gerakan pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah adalah dengan cara menetapkan dan mengokohkan prinsip-prinsip baru (ta’shil al-ushul) dalam cara berpikir keagamaan Islam era modernisasi dan globalisasi saat sekarang ini tanpa kehilangan basis identitas sosiologis keislaman umat.


Yogyakarta, 24 Juni 2003


0 komentar:

Posting Komentar