KEYAKINAN
agama itu bersifat abstrak, tidak kelihatan (intangible), tetapi
dampak atau bekas sebuah keyakinan beragama sangat nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam perilaku individu maupun
sosial, bahkan juga dalam kesenian dan panggung politik, keyakinan agama
seseorang atau kelompok sangat berpengaruh. Keyakinan agama ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Di antaranya pengaruh guru, buku-buku bacaan, lingkungan
sosial, mazhab pemikiran yang dianut, tingkat ekonomi, geografi, sistem sebuah
pemerintahan, organisasi. Di lingkungan agama besar dunia selalu muncul berbagai
mazhab. Ada yang bersifat dominan (mainstream), ada pula yang
tergolong kecil. Ada lagi yang disebut sempalan (splinter). Ini akan
ditemukan dalam semua agama besar dunia.
Terlebih di era keterbukaan dan
demokrasi, semakin warna-warni keyakinan, pemikiran, dan ekspresi keberagamaan
seseorang dan kelompok. Di Barat yang mayoritas Kristiani, misalnya, ada-ada
saja kelompok yang dianggap ”sempalan” seperti Yehova atau Mormon. Orang luar
menganggap mereka itu Kristen, tetapi dalam komunitas Kristen sendiri dipertanyakan
kekristenan mereka. Hanya saja, karena hukum negara dikawal dan ditegakkan,
bentrokan fisik yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan bisa dicegah. Lebih
dari itu, mungkin saja mereka memilih damai dan dengan jalan dialog untuk
berlomba menyampaikan misi ajarannya. Bukan dengan jalan kekerasan. Mereka
belajar dari pengalaman pahit perang antarsekte agama di Eropa abad-abad lalu.
Begitu pula ajaran Islam yang
begitu luas, ditambah lagi pemeluknya yang sangat beragam dari segi etnis,
bangsa, pendidikan, ekonomi, dan mazhab pemikiran, sangat logis kalau ekspresi
keberagamaan mereka juga sangat beragam. Mereka yang memiliki pendidikan tinggi
dan pengetahuan luas serta dalam tentang agama cenderung terbuka, toleran, dan
tidak senang menggunakan jalan kekerasan dalam mengekspresikan keyakinan
agamanya. Mereka memilih jalan intelektual dan melalui lembaga-lembaga
pendidikan untuk menyebarkan keyakinan agamanya. Para aktivis politik tentu
akan menyisipkan ekspresi imannya melalui jalur politik. Ini berlaku untuk
semua agama. Amerika Serikat yang sekuler pun warna dan pengaruh kekristenannya
sangat kental dalam kebijakan politik, terutama dalam diri George Bush.
Bagi mereka yang memasuki Islam
melalui pintu tasawuf, ekspresinya lebih sejuk, lebih menekankan kasih sayang.
Mereka yang senang filsafat, wacana keagamaan yang dimunculkan lebih
intelektual-argumentatif. Yang bergelut mendalami ilmu fikih, mereka sangat
sadar dan peka serta bersemangat melihat kehidupan dengan kaca mata hukum. Lain
lagi para pedagang dan ekonom. Problem umat Islam yang terbesar itu terletak
pada faktor kemiskinan. Maka dakwah yang tepat adalah dengan cara memberdayakan
ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Demikianlah seterusnya, cara pandang
dan pendekatan terhadap persoalan umat, bangsa, dan kemanusiaan akan
dipengaruhi oleh pemahaman agamanya dan aktivitasnya selama ini.
Mereka yang merasa tersingkir atau
terpinggirkan tentu akan berjuang merapat ke tengah. Kalau ternyata gagal dan
merasa terzalimi, bisa saja ujungnya akan berbalik melawan dan menyerang dengan
berbagai cara dan senjata yang ada. Warna-warni pemahaman dan pendekatan
beragama itu akan berubah menjadi problem sosial politik kalau bertemu dan
berkolaborasi dengan aktor-aktor politik atau kekuasaan yang memanipulasi umat
serta ekspresi keberagamaan mereka. Dalam hal ini, masyarakat Indonesia yang
sedemikian majemuk aspirasinya tentu akan mudah diperalat.
Di sana-sini terdapat celah-celah
untuk disusupi aktor politik yang akan memanfaatkan emosi dan ekspresi agama
untuk tujuan nonagama. Cerita seputar ini sudah lama terjadi. Dan itu
berulangulang. Jadi, kemiskinan, kebodohan, fanatisme dan ambisi kekuasaan,
kalau berkolaborasi, bisa melahirkan banyak kemungkinan yang destruktif. Wajah
agama tercoreng, suhu politik memanas, wajah Indonesia di mata dunia
dicemoohkan, agenda pokok pembangunan terbengkalai. Rakyat banyak dirugikan.
Yang diuntungkan adalah mereka yang memang pintar dan senang memancing di air
keruh atau dalam suasana sosial politik yang gonjang-ganjing.
Berbagai wacana, data, pengalaman,
dan teori sudah lebih dari cukup karena sejak kemerdekaan kita semua sudah
kenyang dengan berbagai peristiwa konflik vertikal maupun horizontal. Yang
mendesak adalah kekompakan para elite politik, pemerintah, dan tokoh agama untuk
bersatu membuat langkah tegas dan segera. Jangan malah saling curiga. Kasihan
rakyat dan bangsa yang kian rapuh.(*)
0 komentar:
Posting Komentar