BEBERAPA hasil penelitian menemukan
fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup
ke sekolah umum, yaitu SMU.
Siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman
agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan
yang diincar oleh pendukung ideologi radikalisme. Targetnya bahkan menguasai
organisasi-organisasi siswa intra sekolah (OSIS), paling tidak bagian rohani
Islam (rohis).
Tampaknya jaringan ini telah mengakar dan menyebar di
berbagai sekolah, sehingga perlu dikaji dan direspons secara serius, baik oleh
pihak sekolah, pemerintah, maupun orang tua. Kita tentu senang anak-anak itu
belajar agama. Tetapi yang mesti diwaspadai adalah ketika ada penyebar ideologi
radikal yang kemudian memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam untuk
melakukan cuci otak (brainwash) pada mereka yang masih pemula belajar
agama untuk tujuan yang justru merusak agama dan menimbulkan konflik.
Ada beberapa ciri dari gerakan ini yang perlu
diperhatikan oleh guru dan orang tua. Pertama, para tutor penyebar ideologi
kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan.
Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemerintahan taghut, syaitan, karena
tidak menjadikan Alquran sebagai dasarnya.
Pemerintahan manapun dan siapa pun yang tidak
berpegang pada Alquran berarti melawan Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau
bahkan dilawan. Kedua, para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak
menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera.
Kalaupun mereka melakukan, itu semata hanya untuk mencari selamat, tetapi
hatinya mengumpat.
Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai warga negara mesti
mengikuti dan menghargai tradisi, budaya, dan etika berbangsa dan bernegara,
dibedakan dari ritual beragama. Ketiga, ikatan emosional pada ustaz, senior,
dan kelompoknya lebih kuat daripada ikatan keluarga dan almamaternya. Keempat,
kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat
tertutup dengan menggunakan lorong dan sudut-sudut sekolah, sehingga terkesan
sedang studi kelompok.
Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond
atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat.
Kelima, bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah diharuskan membayar uang
sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lalukan. Jika merasa besar
dosanya, maka semakin besar pula uang penebusannya. Keenam, ada di antara
mereka yang mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai ajaran Islam,
serta bersikap sinis terhadap yang lain. Ketujuh, umat Islam di luar
kelompoknya dianggap fasik dan kafir sebelum melakukan hijrah: bergabung dengan
mereka.
Kedelapan, mereka enggan dan menolak mendengarkan
ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang
Alquran masih dangkal, namun mereka merasa memiliki keyakinan agama paling
benar, sehingga meremehkan, bahkan membenci ustaz di luar kelompoknya.
Kesembilan, di antara mereka itu ada yang kemudian
keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustaz dan
intelektual di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan
keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi.
Menyusup ke
Kampus
Mengingat jaringan Islam yang
tergolong garis keras (hardliners) menyebar di berbagai SMU di kota-kota
Indonesia, maka sangat logis kalau pada urutannya mereka juga masuk ke ranah
perguruan tinggi. Bahkan, menurut beberapa sumber, alumni yang sudah duduk
sebagai mahasiswa selalu aktif berkunjung ke almamaternya untuk membina
adik-adiknya yang masih di SMU.
Ketika adik-adiknya masuk ke perguruan tinggi, para
seniornya inilah yang membantu beradaptasi di kampus sambil memperluas
jaringan. Beberapa sumber menyebutkan, kampus adalah tempat yang strategis dan
leluasa untuk menyebarkan gagasan radikalisme ini dengan alasan di kampuslah
kebebasan berpendapat, berdiskusi, dan berkelompok dijamin. Kalau di tingkat
SMU pihak sekolah dan guru sesungguhnya masih mudah intervensi, tidaklah
demikian halnya di kampus.
Mahasiswa memiliki kebebasan karena jauh dari orang
tua dan dosen pun tidak akan mencampuri urusan pribadi mereka. Namun karena
interaksi intelektual berlangsung intensif, deradikalisasi di kampus lebih
mudah dilakukan dengan menerapkan materi dan metode yang tepat. Penguatan mata
kuliah Civic Education dan Pengantar Studi Islam secara komprehensif dan kritis
oleh profesor ahli mestinya dapat mencairkan paham keislaman yang eksklusif dan
sempit serta merasa paling benar.
Sejauh ini kelompok-kelompok radikal mengindikasikan
adanya hubungan famili dan persahabatan yang terbina di luar wilayah sekolah
dan kampus. Hal yang patut diselidiki juga menyangkut dana. Para radikalis itu
tidak saja bersedia mengorbankan tenaga dan pikiran, namun rela tanpa dibayar
untuk memberikan ceramah keliling. Lalu kalau berbagai kegiatan itu memerlukan
dana, dari mana sumbernya? Ini juga suatu teka-teki.
Disinyalir memang ada beberapa organisasi keagamaan
yang secara aspiratif dekat atau memiliki titik singgung dengan gerakan garis
keras ini. Mereka bertemu dalam hal tidak setia membela NKRI dan Pancasila
sebagai ideologi serta pemersatu bangsa. Mereka tidak bisa menghayati dan
menghargai bahwa Islam memiliki surplus kemerdekaan dan kebebasan di negeri
ini.
Di Indonesia ini ada parpol Islam, bank syariah, UU
Zakat dan Haji, dan sekian fasilitas yang diberikan pemerintah untuk
pengembangan agama. Kalaupun umat Islam tidak maju atau merasa kalah,
lakukanlah kritik diri, tetapi jangan rumah bangsa ini dimusuhi dan dihancurkan
karena penghuni terbanyak yang akan merugi juga umat Islam. Kita harap Menteri
Pendidikan Nasional maupun Menteri Agama menaruh perhatian serius terhadap
gerakan radikalisasi keagamaan di kalangan pelajar.(*)
0 komentar:
Posting Komentar