YANG
namanya ulama pasti antikorupsi. Namun ulama tetap juga manusia yang tidak imun
dari salah dan dosa. Mengapa di Indonesia, yang meriah dengan forum-forum
pengajian, korupsi masih saja subur?
Mampukah ulama memberantas korupsi?
Pertanyaan ini saya angkat karena sering saya mendapatkan keluhan dan kritik,
mengapa di Indonesia banyak ulama, ustaz, mimbar agama, bahkan ada Kementerian
Agama, tapi korupsi tetap saja subur. Diperkirakan mimbar agama di televisi
Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jumlah jam siaran serta variasi
acaranya, terlebih lagi di bulan Ramadan.
Lagi-lagi, pertanyaannya, mengapa
korelasi antara mimbar agama dan perilaku sosial tampak kurang signifikan?
Korupsi selama ini terjadi di wilayah birokrasi pemerintahan. Aktornya pun para
pejabat negara. Mereka itu yang mendapat tugas dan memiliki legalitas mengatur
administrasi pemerintahan serta keuangan negara. Jadi, karena wilayah serta
aktor serta regulasinya dalam tubuh birokrasi pemerintah, maka peran ulama
berada di luar.
Tidak memiliki legalitas untuk
mencampuri administrasi negara. Paling banter hanya menyampaikan kritik,
khotbah dan teguran moral, tetapi mereka bukan eksekutor bidang hukum dan
administrasi pemerintahan. Penjelasan di atas tidak berarti saya mengecilkan
peran ulama,tetapi justru ingin melakukan pembelaan.
Adalah berlebihan mengharapkan
ulama dan intelektual untuk memberantas korupsi karena yang paling berwenang
dan strategis adalah aparat dan lembaga penegak hukum, terutama jajaran polisi,
hakim, jaksa, dan sekarang ditambah lagi dengan KPK dan beberapa komisioner
terkait. Kalau untuk menggerakkan demonstrasi jalanan mungkin sekali peran
ulama dan intelektual cukup efektif.
Tetapi itu tak ubahnya seperti
tukang ronda kampung berkeliling desa: memukul kentungan di malam hari, tidak
jelas target malingnya, Pesan moral agama tanpa diterjemahkan dan didukung oleh
hukum positif dan instrumen lembaga negara tak akan mampu memberantas korupsi.
Begitu pun lembaga- lembaga keagamaan yang ada, tugas mereka bukan memberantas
korupsi, tetapi menyampaikan pesan moral dan pendidikan masyarakat agar memilih
jalan kebenaran dan kebaikan.
Kalau masyarakat tidak mau menerima
ajakannya, lembaga keagamaan tidak memiliki hak paksa. Kalau masyarakat
melakukan pelanggaran hukum, lembaga dan ormas keagamaan juga tidak dibenarkan
berperan sebagai polisi atau hakim. Di Indonesia sering terjadi kerancuan
berpikir, ketika terjadi wabah korupsi yang jadi sasaran kekecewaan adalah
tokoh-tokoh agama.
Agama dan tokoh-tokohnya diharapkan
sebagai agen “tukang cuci piring” setelah koruptor berpesta. Padahal, belajar
dari beberapa negara tetangga, misalnya saja Singapura dan RRC, pemberantasan
korupsi di sana tidak melibatkan tokoh dan lembaga agama, melainkan ketegasan
penegak hukum. Di berbagai negara maju yang berjasa menekan korupsi itu bukan
pendeta,pastur atau ulama, tetapi aparat resmi pemerintah yang memang diberi
tugas dan wewenang untuk itu.
Bisa dimaklumi mengapa orang
berharap semuanya pada agama, karena berbagai khotbah agama selalu menekankan
bahwa agama itu mengatur segala-galanya. Mereka memandang agama itu di atas
negara dan di atas semuanya, maka agama mesti bisa mengatur dan menyelesaikan
semua persoalan hidup.
Benarkah demikian? Kalau memang
betul,mengapa negara-negara sekuler tingkat korupsinya rendah, sedangkan
Indonesia yang memiliki organisasi keagamaan, majelis taklim, dan partai
politik yang berciri agama dalam jumlah banyak justru tingkat korupsinya
tinggi? Saya kira di sini ada salah persepsi, harapan, pembagian peran, dan penempatan
relasional antara agama, negara dan masyarakat. Ketika negara lemah dalam
menegakkan aturan hukum, ormas keagamaan lalu ingin menggantikannya.
Tentu keduanya salah. Kalau ada
pelanggaran hukum dan tidak segera diselesaikan, demonstrasi sebaiknya dialamatkan
ke lembaga kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, agar mereka segera bertindak
tegas. Jangan ormas keagamaan ataupun ulama lalu seenaknya mengadili sesama
warga. Itu sama saja pelanggaran hukum hendak diselesaikan dengan pelanggaran
hukum. Jika begitu, yang terjadi malah menambah pelanggaran.
Lain halnya kalau Indonesia itu
negara teokrasi, yang dikuasai dan dipimpin oleh lembaga agama. Saya sendiri
tidak bisa menjawab dengan pasti, adakah pemerintahan teokrasi setelah wafatnya
Rasulullah Muhammad? Terlepas dari perdebatan teori kenegaraan, yang namanya
korupsi tetap merupakan penyakit dan musuh peradaban. Bahkan negara-negara yang
mengaku sekuler, tidak peduli agama, justru lebih serius memberantas korupsi.
Ini suatu tantangan dan tamparan
bagi sebuah bangsa dan negara yang begitu tinggi kepeduliannya pada agama
seperti Indonesia. Rasanya memang ada yang salah dalam pendidikan agama dan
dalam membangun relasi antara agama dan negara di Indonesia. Tokoh agama dan
organisasi keagamaan sangat rawan terkena korupsi karena penguasa selalu ingin
merangkul dan membeli mereka sebagai penyangga kekuasaan politik.
Sebaliknya, tokoh-tokoh agama juga
banyak yang berminat? Yang repot kalau ormas atau tokoh yang menyandang label
keagamaan terkena korupsi, maka yang ikut merasa terluka adalah masyarakat.
Mereka akan kehilangan kepercayaan kepada aparat pemerintah maupun pemimpin
masyarakat. Dalam berbagai kasus sulit dipisahkan antara tokoh agama dan aparat
pemerintah ketika seorang bupati, misalnya, adalah juga berasal dari ormas
keagamaan.(*)
0 komentar:
Posting Komentar