Saya
sering memperoleh peringatan dan pencerahan hidup dari orangorang yang dianggap
orang kecil, bawahan, dan awam meskipun bagi saya semua orang sama derajatnya.
Salah satunya dari tukang urut yang
kadang saya panggil ke rumah setelah capai bermain golf. Namanya Mas
Sabarno.Tipikal seorang Jawa, asli Solo, yang selalu mendambakan hidup tenang,
damai, meski tidak kaya-raya.“Sekarang ini banyak orang mengejar kesenangan
hidup, tetapi tidak tenang,”katanya.Mengejar kesenangan sesaat, tetapi ujungnya
masuk tahanan. Ada tipe orang yang memang selalu ingin hidup damai, harmonis,
bebas dari konflik.
Namun ada pula orang yang memandang
konflik dan persaingan itu bagian dari hidup yang mengasyikkan.Tak ada kemajuan
dan prestasi luar biasa tanpa sebuah risiko yang sangat menggelisahkan.Mereka
yang berhasil meraih prestasi di atas rata-rata,perjuangan hidupnya juga di
atas rata-rata.Yang kadang terjadi, orang kagum dan iri melihat orang lain
sukses,tetapi tidak mau tahu dan meniru kerjakerasuntukmeraihkesuksesan itu.
Para atlet kelas dunia yang
sekarang kaya-raya, mereka telah mengorbankan waktunya untuk bersenang-senang.
Mereka mengisi waktu dengan latihan keras dan disiplin tinggi.Tapi kita hanya
melihat sukses dan senangnya, tidak mau tahu perjuangan mereka sehingga sampai
ke sana. Mas Sabarno mungkin mewakili budaya agraris, mental petani desa yang
akrab dan damai dengan lingkungan alamnya.
Dia terkesan dengan Pak Harto yang
selalu tersenyum dan bersikap kebapakan ketika berdialog dengan petani
desa.“Hidup itu yang paling penting tenang dan aman. Bukan berlomba-lomba
mengejar kekayaan,tidak peduli halal atau haram,”tandasnya. Untuk apa pangkat
tinggi, hartamelimpahkalauyangdikejar- kejar harta haram dan mengorbankan harga
diri? Mimpi indah warga desa tentang kehidupan yang tenteram, aman, dan damai
tampaknya semakin jauh.
Dulu pasar-pasar tradisional di
kota kecil menjadi sarana berkenalan da bersosialisasi para pengunjung dari
desa yang berbeda sambil membawa dagangan hasil panennya. Orang pergi ke pasar
sambil menambah kenalan.Tapi semua itu sekarang sudah berubah total. Gaya hidup
dan ekonomi kota yang justru masuk ke desa. Mainan tradisional anak-anak hasil
kerajinan tangan sudah tergeser oleh mainan impor.
Masuknya televisi dan telepon
seluler ke desa membawa perubahan drastis dalam pola pikir dan pola hidup warga
desa. Sawah kehilangan daya tarik dan keindahannya. Serial sinetron dan
gemerlap iklan di televisi telah mengubah mimpi dan imajinasi orang-orang desa
untuk bisa hijrah tinggal di kota atau setidaknya berperilaku seperti orang
kota yang serbaglamor.Mereka tidak tahu,di kota terdapat kantong kemiskinan dan
jaringan kejahatan yang mengerikan.
Ketenangan hidup terasa semakin
mahal.Pejalan kaki di kota yang sudah benar mengambil posisi pun bisa tertabrak
mobil karena sopirnya ugalugalan atau tengah mabuk.Pelajar yang telah bekerja
keras agar lulus ujian bisa tersalip prestasi angkanya oleh mereka yang
mencontek dan difasilitasi pengawasnya. Sarjana dengan IPK tinggi tidak ada
jaminan lolos seleksi lamaran kerja kalau tidak memiliki koneksi dan uang
sogok.
Ketika sudah bekerja, promosi tidak
selalu didasarkan prestasi,melainkan pertemanan etnik,agama, partai atau
almamater. Demikianlah, secara lahiriah pusat-pusat perbelanjaan di kota besar
selalu ramai.Jumlah kendaraan automotif selalu bertambah. Namun ketenangan
hidup malah merosot.Orang tua dan pendidik di sekolah semakin berat bebannya
karena mendapat imbas kehidupan sosial yang beringas. Belum lagi beredarnya
narkoba dan pornografi yang tidak selalu terdeteksi oleh orang tua dan guruguru
di sekolah.
Sungguh mencengangkan, Indonesia
menjadi pasar terbesar kedua sabu-sabu di dunia setelah Thailand. Adakah semua
ini membuat kita pesimistis? Meminjam istilah yang sering digunakan Presiden
SBY, kita semua sangat prihatin dengan keadaan ini. Tapi bagi rakyat tentu
tidak cukup hanya dengan pernyataan prihatin.Mereka menuntut perbaikan nyata
dan terukur. Perlu proyeksi, misalnya, antara angkatan kerja dan lowongan
kerja. Perlu perencanaan matang antara jumlah kenaikan mobil dan pembangunan
jalan.
Kita salut akhir-akhir ini
pemerintah juga menaruh perhatian pada wilayah ”terpinggir” atau ”terdepan”yang
terletak di perbatasan RI yang warganya tidak bangga dan percaya diri ketika
bertemu dengan warga negara lain yang tinggal di seberang perbatasan. Namun
sesungguhnya, sebelum jauh-jauh memperbaiki wilayah ”perbatasan”,yang namanya
bandara internasional juga sebuah zona perbatasan yang mesti memperoleh
perhatian lebih serius.
Bandara Singapura dan pesawat SQ,
misalnya, adalah wajah terdepan negara dan masyarakat Singapura yang akan
memberikan kesan pertama orang luar tentang negara itu. Mestinya Bandara
Soekarno- Hatta didesain sedemikian rupa keindahan, ketertiban, keamanan, dan
kenyamanannya mengingat bandara adalah wajah terdepan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar