Mendengar tetapi tidak
mendengarkan. Apakah bedanya? Coba perhatikan contoh kalimat ini: Kita setiap hari
mendengar gosip, tetapi jarang mendengarkan ceramah atau warta berita.
Mendengar tampaknya bersifat pasif, lebih merupakan kepekaan dan aktivitas telinga yang mampu menangkap getaran-getaran gelombang suara di sekitarnya. Tetapi kalau mendengarkan sifatnya lebih aktif, secara sadar akal pikiran fokus pada objek yang didengarkan dengan penuh perhatian.
Misalnya ketika duduk di ruang
kelas, kita dituntut untuk mendengarkan ceramah dosen, meskipun tanpa sengaja
telinga mendengar berisik suara mobil yang lewat atau dering telepon genggam.
Untuk menjadi pendengar yang baik, sungguh tidak mudah. Diperlukan, kesiapan
mental-intelektual serta ketulusan hati untuk menjadi pendengar yang baik (good
listener).
Seorang wartawan yang baik,
misalnya, mesti memiliki bekal intelektual dan kecerdasan emosional serta
empati ketika melakukan wawancara agar mampu memahami pikiran nara sumber sehingga hasilnya akan mendalam dan objektif. Orangtua mesti bisa
menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya agar terjadi komunikasi yang baik
dan tidak salah paham ketika anak-anaknya semakin tumbuh dewasa lantaran
semakin tumbuh dewasa seorang anak, maka pengetahuan orangtua tentang
mereka akan semakin menciut.
Seorang dokter dan psikolog
biasanya sudah terlatih untuk menjadi pendengar yang baik bagi klien agar
nantinya bisa tepat ketika membuat diagnosa dan terapi. Konon katanya, yang sulit jadi pendengar adalah para penceramah agama
karena pribadinya sudah terbentuk untuk selalu memberi ceramah dan maunya
didengarkan.
Mungkin mereka lupa bahwa salah satu asma Allah adalah Maha Pendengar (as-sami’), yang selalu siap dan penuh empati mendengarkan berjuta macam doa dan keluhan hamba-Nya. Tak kalah pentingnya, untuk menjadi pendengar yang baik adalah para pemimpin dan wakil rakyat.
Sebelum berbicara kepada rakyat,
terlebih dahulu mereka mesti mendengarkan dan memahami perasaan dan pikiran
mereka, baik yang diutarakan secara verbal maupun nonverbal. Disayangkan, para politikus dan pejabat negara lebih
senang berbicara dan didengarkan dan sungguh sangat sulit untuk mendengarkan.
Maunya dipahami, bukannya secara
tulus mau memahami orang lain. Yang juga membuat saya tercenung,
di forum DPR ada istilah hearing. Biasanya mereka menghadirkan para pejabat
pemerintah (eksekutif) untuk dimintai penjelasan mengenai berbagai kebijakan
yang perlu didengar dan dikritisi DPR. Namun lagi-lagi, mungkin sesuai dengan nama forumnya, forum hearing itu jarang dihadiri
penuh oleh anggota komisi.
Mereka mendengar(kan) penjelasan
kalangan eksekutif dan ada pula yang sambil asyik main-main SMS dengan telepon
genggam. Setelah tamu selesai bicara, gantian anggota DPR bertanya dan
mengkritik. Namun setelah berbicara, ada yang terus keluar ruang, sehingga tiba giliran eksekutif hendak menjawab, yang bertanya sudah pergi.
Jadi, forum itu memang terasa pas disebut hearing, bukan listening.
Fisiknya hadir dan berkumpul di
satu ruang yang sama, namun perhatiannya entah ke mana. Tentu saja masih banyak anggota DPR yang tetap menjaga etika persidangan
dan memiliki listening skill. Mengapa seseorang sulit mendengarkan orang lain?
Ibarat gelas, mungkin dirinya sudah merasa penuh. Sudah merasa pintar, sehingga tidak perlu lagi diajari, terlebih dari mereka yang
dianggap lebih rendah posisinya.
Bukankah mendengarkan itu berarti
juga kesediaan untuk menerima? Bukankah tindakan mendengarkan juga mengandung
sikap untuk memberi? Orang sulit mendengarkan mungkin juga karena mereka sibuk
dengan dirinya sendiri. Dia mau mendengarkan hanya pada ungkapan yang memuji
dan menyenangkan dirinya.
Orang semacam ini mungkin terkena
sindrom narsisisme, sangat mencintai dirinya sendiri serta pelit untuk berbagi.
Mereka selalu ingin melihat pantulan dirinya, entah cermin kaca atau cermin
sosial, namun hanya yang menyenangkan saja dan enggan menghargai kehadiran orang
lain. Dia tidak siap menerima kenyataan pahit dari lingkungannya, meskipun
objektif adanya.
Buruk muka cermin dibelah, kata pepatah. Dalam penelitian psikologi komunikasi, daya serap terhadap
pembicaraan orang diperkirakan tidak melebihi 15%. Dalam suatu forum kuliah
atau ceramah di ruang yang nyaman sekalipun, mendengarkan ceramah lebih dari 45 menit sudah antiklimaks.
Namun, seseorang akan
mendengarkan omongannya sendiri hampir 100%. Jadi, setiap orang itu cenderung
egois, tidak mudah menjadi pendengar yang baik. Oleh karena itu, tidak mudah
pula jadi orangtua dan pemimpin yang baik, karena salah satu syaratnya haruslah
menjadi pendengar yang baik, sebelum jadi pembicara yang baik. Dulu ketika
sekolah di SD, saya masih menerima pelajaran ”mencongak” atau ”dikte”.
Ibu guru membacakan kalimat
paling banyak dua kali, lalu murid-murid menuliskannya. Lama-lama semakin
dibuat sulit. Kalimat semakin panjang dan hanya sekali diucapkan, agar murid semakin terlatih untuk mendengarkan.
Tetapi sekarang, rasanya tak ada
lagi pelajaran listening skill ini. Coba saja amati sekeliling! Berita gosip
yang mestinya cukup terdengar sambil lalu, malah menarik dan asyik didengarkan.
Jadi, kita bukannya mendengar gosip sebagai angin lalu yang kemudian
terlupakan, tetapi justru dirancang sedemikian rupa sebagai sajian berita yang
memperoleh perhatian besar untuk didengarkan (to be listened). Begitulah,
kehidupan memang warna-warni.
Berita dan informasi bermutu
dianggap angin lalu masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetapi gosip yang
tidak edukatif justru asyik didengarkan, direkam dalam hati, diolah lagi
dengan tambahan bumbu-bumbu penyedap, lalu disebarkan dengan antusias ke kanan
dan ke kiri lewat obrolan, telepon, dan SMS.
Dalam teori pendidikan dan
pengasuhan dikatakan bahwa hanya mereka yang berbicara dengan hati, maka omongannya juga akan didengarkan dengan hati. Sepintar apa pun seseorang,
kalau berbicara tanpa disertai rasa empati dan tulus, omongannya hanya sebatas
didengar (being heared), tetapi tidak didengarkan (not being listened).
Dalam komunikasi keluarga ataupun
lingkungan kantor, seseorang lebih banyak mendengarkan melalui bahasa perilaku
dan bawah sadarnya, baru sisanya melalui komunikasi verbal. Rasanya kita perlu
mendidik anak-anak kita baik di lingkungan keluarga maupun sekolah untuk
terampil dan etis dalam berkomunikasi.
Dalam acara pernikahan ataupun
pertemuan lain, sering kali saya melihat orang berjabat tangan tapi pandangan
matanya terarah ke orang lain. Ini sungguh tidak etis. Ketika berjabat tangan, mata, wajah, dan senyum sebaiknya terarah pada
orang di depannya yang sedang berjabatan tangan sehingga kehadirannya merasa
dihargai.
Anehnya, yang sering melakukan
itu justru dari kalangan papan atas, secara ekonomi ataupun jabatan
struktural.(*)
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 24 Oktober 2008
0 komentar:
Posting Komentar