Dalam rangkaian ibadah haji atau umrah, tawaf adalah
mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dari posisi Hajar
Aswad. Terdapat korelasi, bahkan pesan moral-spiritual yang sangat kuat, antara
tawaf dan kehidupan kitasehari-hari.
Bisa dikatakan, tawaf yang lebih berat dan eksistensial
itu adalah melaksanakan tawaf dalam kehidupan nyata ini. Tawaf dalam rangkaian
ibadah haji dan umrah mengenakan pakaian khusus, tak ubahnya kain kafan
pembungkus jenazah. Baik pakaian, gerakan, maupun suasana pikiran serta hati
dalam adegan tawaf mengajak seseorang untuk selalu sadar, hidup ini sebuah
perjuangan dan pencarian jati diri serta terminal akhir ke mana kita semua akan
berpulang.
Selembar kain putih yang melekat di tubuh tak lebih
sebagai pembungkus badan. Disitu tak ada predikat dan pangkat yang pantas
dibanggakan, kecuali rekaman amal kebajikan dan iman yang melekat dalam diri
seseorang. Itulah yang abadi dan di situlah terletak harga diri seseorang di
mata Tuhan.
Sebelum ajal tiba, lewat tawaf kita dilatih agar tidak
terpenjara dalam kurungan kebanggaan harta, jabatan, dan rupa. Semuanya kita
lepaskan lalu berputar mengelilingi Kakbah, tetapi bukan menyembah Kakbah.
Tawaf mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh putaran, jumlah bilangan simbolik yang
kaya makna dan tafsiran.
Mengamati dan merenungkan orang masuk dan keluar barisan
tawaf mengingatkan kita pada kehadiran dan kepergian anak manusia di atas Bumi
ini. Kelahiran dan kematian selalu terjadi setiap menit. Nalar manusia tidak
sanggup menjawab, di mana roh seseorang sebelum lahir dan ke mana setelah mati.
Bertawaf adalah perenungan, pencarian dan penegasan diri bahwa kita semua
berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.
Ketika bertawaf sekeliling Kakbah seakan satu kaki sudah
melangkah ke alam akhirat. Secara fisik kita berada di serambi baitullah, rumah
Allah, namun bukan bangunan fisik itu terminal akhir perjalanan hidup ini.
Kakbah yang berbentuk kubus, berwarna hitam, sangat sederhana desainnya, di
dalamnya pun kosong. Yang dicari dan dirindukan adalah Allah, pemilik Kakbah.
Drama tawaf sesungguhnya memiliki pesan agar seseorang
melakukan pembebasan diri dari perbudakan dan penindasan kemilau dunia. Dunia
mesti dikejar untuk ditaklukkan agar melayani kita untuk membangun kehidupan
yang produktif dan bermakna. Dari pagi bangun tidur sampai mau tidur lagi kita
semua melakukan tawaf.
Berputar-putar menjalani aktivitas dengan ragam
kegiatan. Ada orang yang aktivitasnya rutin miskin variasi. Ada yang hidup dari
rapat ke rapat. Ada yang dari panggung ke panggung. Ada yang setiap hari
berjumpa dengan belasan atau bahkan puluhan orang. Ada yang hidupnya banyak
tawa dan canda. Ada yang sebaliknya, setiap hari selalu marah-marah.
Untuk apa dan siapa semuanya itu kita lakukan? Apakah
kehadiran dan aktivitas kita memberi nilai tambah dan nilai guna pada sesama?
Atau malah merugikan dan mencelakakan diri sendiri dan orang lain? Berbagai
kasus megakorupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara mestinya lebih dari
cukup sebagai bahan renungan.
Kita kehilangan peta perjalanan dan makna serta tujuan
hidup. Bertahun- tahun kuliah, lalu meniti karier demi jabatan dan kekayaan.
Ujungnya, setelah jabatan tinggi diraih, harta terkumpul banyak, kemudian
disita negara karena ternyata hasil korupsi. Mereka masuk penjara secara nista.
Harta rakyat mereka sikat. Secara lahiriah sukses dan glamor. Tapi yang terjadi
tak ubahnya menggali lubang kubur untuk diri sendiri.
Mereka berhasil mendaki posisi yang tinggi hanya untuk
mempertinggi juga kejatuhannya. Atau mirip membangun rumah dari puing-puing
kotoran yang busuk dan bau untuk ditempati. Semuanya semu, semuanya hanya
memberatkan dirinya, termasuk keluarganya. Ibadah tawaf memberi pesan amat
jelas dan kuat.
Putaran roda hidup yang kita jalani jangan sampai lepas
dari kesadaran dan kedekatan dengan pusat dan pemilik hidup itu sendiri, yaitu
Tuhan pemilik semesta. Kita boleh berdesakdesakan. Tapi hati mesti tulus,
saling menghargai. Tak ada yang menjegal atau mengumpat karena akan membatalkan
tawafnya.
Kemuliaan hidup akan rusak oleh perilaku kita yang tidak
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, apa yang dilarang oleh nurani,
akal sehat, norma agama, sesungguhnya bertujuan agar martabat kehidupan
terjaga.
Moto dan doktrin bahwa agama adalah rahmat bagi semesta
mesti diterjemahkan dalam karya nyata agar apa yang kita jalani dan raih dalam
tawaf kehidupan ini memberikan manfaat bagi orang lain, bukannya malah merusak,
merugikan dan membuat orang lain merasa terancam. Setiap hari berapa puluh
keputusan kita buat. Berapa ribu kata kita ucapkan.
Berapa kilometer kaki melangkah. Dan setiap malam
sebelum tidur, mengakhiri tawaf hari ini, sebaiknya kita merenung, introspeksi,
kebajikan apa yang akan lakukan untuk diri kita, keluarga kita, dan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar