SEBAGAI bagian dari rukun Islam,pelaksanaan ibadah
haji sudah berlangsung 14 abad yang lalu.
Umat Islam yang sudah berhaji pun tak terhitung lagi
jumlahnya, dimulai sejak jauh sebelum kemerdekaan. Oleh karena itu, umat Islam
memiliki cerita dan ingatan kolektif suka-duka pergi haji yang disampaikan
secara turun-temurun. Hanya saja, untuk anak-anak kota yang sudah terbiasa
bepergian ke luar negeri, mungkin mereka tidak melihat langsung bagaimana
masyarakat di desa mempersiapkan diri ketika hendak pergi haji. Juga betapa
meriahnya ketika acara penyambutan kembali ke kampung halaman. Bepergian haji dengan
naik kapal laut dan pesawat terbang masing-masing memiliki cerita suka duka
tersendiri.
Konon dengan kapal laut itu sedikitnya memakan waktu
tiga bulan. Oleh karenanya ikatan persahabatan antarsesama mereka menjadi
sangat akrab. Sampai-sampai perjalanan haji menjadi ajang untuk menjodohkan
keluarga mereka. Membayangkan betapa berat dan bahayanya menyeberangi lautan
ketika melepas rombongan haji, sanak keluarganya secara mental sudah siap
andaikan pelepasan itu merupakan perjumpaan terakhir. Mereka sudah rida kalau
keluarganya meninggal di Arab Saudi atau dalam perjalanan. Semuanya ikhlas,
meninggal dalam perjalanan haji diyakini sebagai mati syahid, langsung masuk
surga. Bagi orang tua yang pergi haji, ada yang sebelumnya sudah membereskan
semua urusan harta warisnya dengan harapan kalau mati tidak meninggalkan
fitnah.
Kalaupun dengan selamat kembali ke rumahnya, dia tidak
mau lagi disibukkan oleh urusan dunia. Yang diperbanyak hanyalah ibadah.
Sekarang dengan pesawat terbang lain lagi ceritanya. Tidak semua orang yang
pergi haji adalah orang kaya. yang menabung belasan tahun. Bahkan pergi lintas
pulau saja belum pernah. Bayangkan, bagaimana perasaan mereka ketika pergi jauh
dengan menggunakan pesawat terbang. Di samping niat ibadah, perasaan rekreasi juga
muncul. Pergi jauh naik pesawat, bersama teman-teman lama dan kenalan baru,
semuanya sudah ada yang mengurus dan membimbing. Sungguh suatu peristiwa hidup
yang sangat mengesankan.
Dalam usianya yang ke-88 tahun, ayah saya kalau diajak
cerita pengalaman haji seketika berseri-seri. Saya yakin banyak orang tua lain
yang akan merasakan hal serupa setiap diingatkan pengalaman ibadah hajinya.
Serasa mimpi yang sangat indah dan ingin selalu diulang-ulang kalau saja
memungkinkan. Banyak calon jamaah haji sebelum naik tangga pesawat menatap
seluruh badan pesawat lama-lama, mungkin saja kagum dan tak percaya bahwa
burung besi sebesar itu bisa terbang mengangkut dirinya dan kawan-kawan,
mengingatkan mereka tentang cerita mikraj Rasulullah naik burung buraq.
Dan ketika sudah mendarat di Jeddah, lagi-lagi mereka hampir-hampir tidak
percaya sudah menginjakkan kaki di tanah Arab.
Memasuki Kota Mekkah atau Madinah untuk yang pertama
umumnya sangat tergetar hatinya. Tidak mampu menahan air mata, rasa syukur,
kagum, tidak percaya, bahwa akhirnya akan tercapai juga untuk memenuhi rukun
Islam kelima yang puluhan tahun didambakan. Begitu masuk Masjidilharam melihat
Kakbah, subhanallah … lidah sulit untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran
kecuali memuji Allah dengan disertai linangan air mata. Muncul perasaan,
Masjidilharam adalah batas akhir dunia, tapi juga belum masuk alam akhirat.
Perasaan berada di wilayah perbatasan antara dunia dan akhirat.
Dengan pakaian ihram, tak ubahnya kain kafan, seakan
kita sudah jadi mayit memasuki orbit akhirat, tapi juga sadar bahwa kita masih
di dunia. Seseorang tidak membawa apa-apa, kecuali kain kafan dan rekaman amal
perbuatannya selama hidup. Makanya berbahagialah mereka yang sepulang haji
melakukan transformasi diri, sebuah pertobatan untuk menemukan kembali
kefitriannya. Di antaranya dengan melunasi semua utang-utangnya, utang pada
negara, masyarakat, keluarga, dan Tuhan. Haji bukanlah sarana untuk
pemutihan dosa-dosa sosial. Berhaji tidak bisa menghapus perkara perdata dan
pidana. Tapi momentum penyadaran diri untuk melakukan perubahan dan perbaikan
diri.
Sekian banyak pesan moral haji realisasinya bukan di
Mekkah-Madinah, melainkan dalam panggung kehidupan sehari-hari setiba di Tanah
Air. Pesan dan nilai-nilai haji itu abadi, perenial, sejak Nabi Ibrahim sampai
sekarang, sebagaimana juga tema-tema pokok pergulatan hidup dari zaman ke zaman
juga tidak berubah. Hanya kemasan dan sarananya yang mengalami perubahan.
Peristiwa kelahiran dan kematian tidak pernah berubah dari zaman ke zaman. Pencarian
makna hidup selalu melekat pada diri manusia. Haji adalah satu metode yang
Tuhan ajarkan kepada Ibrahim untuk menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk
peziarah, makhluk yang selalu mencari makna hidup.
Makhluk yang senantiasa merindukan kampung Ilahi
tempat kita semua berasal. Rohani kita senantiasa bertanya, ibarat seruling
bambu Rumi yang menangis merindukan kapan berkumpul kembali ke rumpun asalnya
bersama yang lain. Kalau saja panggung dunia ini merupakan awal dan akhir
kehidupan, betapa absurdnya drama hidup anak manusia. Sungguh kasihan mereka
yang tidak berdosa mesti menanggung derita, baik akibat bencana sosial maupun
bencana alam. Dan betapa memuakkan mereka yang hidup senang-senang dengan
merampas hak-hak orang lain.
Beruntunglah mereka yang beriman dan beramal saleh.
Haji mengingatkan dan menyadarkan kita semua, terminal terakhir hidup ini
bukannya rumah yang kita tempati setiap hari, bukan pula saat berhasil
mendekati Kakbah di Mekkah, tetapi bagi kita semua peziarah adalah merindukan bertemu
dengan Allah dan mengharap rida- Nya.(*)
0 komentar:
Posting Komentar