Bangsa yang besar dan maju selalu melihat ke depan
dengan bekal pelajaran jatuh-bangun di masa lalu. Investasi demi meraih
kemajuan masa depan adalah salah satu kunci negara maju.
Logika ini memiliki titik singgung dan garis impit
dengan spirit puasa Ramadan. Sebagaimana puasa, proses modernisasi akan
mengalami kegagalan jika para pelakunya tidak mampu menahan diri ketika
dihadapkan pada godaan yang menawarkan kenikmatan sesaat sehingga mengorbankan
kenikmatan yang lebih besar di hari esok. Dalam ibadah puasa tersimpan
pembelajaran hidup agar sanggup menunda kenikmatan sesaat untuk tujuan
kenikmatan lebih besar di masa mendatang.
Yang membuat bangsa ini berjalan terseok-seok
adalah kita silau terhadap kenikmatan sesaat serta sangat rendah rasa empatinya
kepada rakyat miskin. Padahal, dua sikap dasar inilah yang hendak diraih dengan
ibadah puasa yang dilanjutkan dengan mengeluarkan zakat. Jika dua pesan ini
tidak tercapai, puasa seseorang akan kehilangan maknanya yang terdalam.
Dengan kesanggupan menahan diri untuk tidak
terjatuh pada dominasi nafsu hedonistis, dengan puasa sesungguhnya kita tengah
menumbuhkan dan memperkuat kualitas insani kita dalam rangka meraih kesuksesan
hidup yang lebih tinggi kualitasnya. Secara psikologis, bulan Ramadan adalah
bulan interupsi, edukasi, dan revitalisasi melawan rutinitas hidup yang
cenderung membuat aktivitas kita bersifat mekanistis dan tanpa kedalaman makna.
Interupsi itu antara lain berupa penjungkirbalikan
jadwal kehidupan, terutama ditandai dengan larangan makan-minum di siang hari
yang secara psikologis perubahan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi
kejiwaan seseorang.
Tidak sekadar mengubah jadwal makan, seorang yang
berpuasa juga sangat disarankan untuk mengintensifkan kesadaran spiritualnya
sehingga selama Ramadan seseorang menemukan dirinya ”yang lain” yang
sesungguhnya diri yang paling sejati dan fitri, yang selalu merasakan kedekatan
dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun berada.
Dengan datangnya bulan puasa kita diajak untuk
merenung, menggali makna dan arah hidup yang lebih hakiki sehingga terhindar
dari kejatuhan menjadi manusia robot yang kehilangan getaran halus kemanusiaan
yang bersifat ilahi.
Perhatikan sabda Nabi Muhammad SAW di akhir bulan
Sya’ban: Wahai manusia, telah dekat kepadamu bulan yang agung lagi penuh
berkah. Bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu
bulan. Bulan yang di dalamnya Allah telah menjadikan puasa sebagai fardhu dan
bangun malam sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri di dalamnya dengan
beramal sunah, (pahalanya) seperti orang yang beramal fardhu pada bulan
lainnya. Dan barang siapa beramal fardhu di dalamnya, pahalanya seperti orang
yang beramal tujuh puluh amalan fardhupada bulan lainnya. Inilah bulan
kesabaran dan pahala sabar ialah surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat
rezeki seorang mukmin ditambah. Barang siapa memberi makanan berbuka puasa
kepada orang yang berpuasa, maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya dan
memperoleh pahala yang sama tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.
Mereka berkata, ”Ya Rasulullah, tidak setiap kami memiliki makanan untuk
diberikan kepada orang yang berbuka puasa.” Beliau bersabda, ”Allah memberikan
pahala kepada orang yang memberi makanan berbuka puasa meskipun sebutir kurma,
seteguk air, atau sesisip susu. Inilah bulan yang di awalnya penuh rahmat, di
tengahnya penuh ampunan, dan di akhirannya adalah pembebasan dari api neraka.
Barang siapa meringankan beban budak-budaknya pada bulan itu, Allah akan
mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.”
Dengan ibadah puasa, kita diajak melakukan
transendensi, mengapresiasi, dan menginternalisasi nilai-nilai moral ilahi yang
lebih mulia dalam rangka memelihara keluhuran martabat manusia, yang oleh
Alquran diistilahkan dengan takwa.
”Wahai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan atas umat-umat
sebelum kamu agar kamu menjadikan manusia yang bertakwa… Maka jika di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Demikian firman Allah berkenaan dengan perintah
puasa (QS. 2:183-184). Karena perintah puasa sama sekali tidak dimaksudkan
sebagai sikap penyiksaan diri, maka Islam melarang seseorang melakukan puasa
sementara dia dalam keadaan sakit ataupun tengah dalam tugas melakukan kerja
berat yang memerlukan makan dan minum.
Dari sini terlihat bahwa di balik aturanaturan
formal yang wajib dipenuhi, salah satu hikmah dan sasaran dari ibadah puasa
adalah terbinanya pribadi masyarakat yang memiliki komitmen iman dan moral yang
kuat sehingga tidak terjatuh pada gaya hidup hedonistis-materialistis. Pribadi
dan masyarakat yang sanggup menahan diri dari godaan kenikmatan sesaat dan
senantiasa melihat sukses yang lebih besar di hari depan adalah kunci keberhasilan
negara-negara maju.
Berdasarkan pernyataan Rasulullah, kita bisa
membedakan orang yang berpuasa ke dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang
menahan diri tidak makan dan minum dan melakukan hubungan seksual sejak waktu
imsak sampai datangnya waktu berbuka. Kedua, yang derajatnya lebih tinggi,
mereka yang juga sanggup menahan diri dari omongan, pikiran, dan perilaku
tercela.
Ketiga, setelah dua tingkat di muka terlampaui,
mereka yang hatinya senantiasa terpaut dengan Tuhan Yang Mahakasih dan
Mahasuci. Puasa pada level pertama lebih cocok dikenakan pada puasa anak-anak
kecil, sedangkan mereka yang sanggup mencapai jenjang ketiga inilah barangkali
yang layak mereguk Idul Fitri, yaitu prestasi spiritual di mana seseorang
berhasil menumbuhkan dan menyegarkan kembali potensi kemanusiaannya yang suci.
Dengan puasa, seseorang mestinya mampu membebaskan
dirinya dari sikap penghambaan terhadap tuhan-tuhan palsu, entah tuhan yang
berupa jabatan, harta atau keluarga dan sebagainya.
Pendeknyatuhanpalsuitumenurut Alquran merupakan perwujudan sikap self-centered,
yaitu orang yang selalu memuja dan memenangkan ego sendiri dengan mengorbankan
kepentingan orang lain.
Ibadah puasa mengandung pendidikan bagi setiap
mukmin untuk senantiasa mawas diri bahwa setiap saat kemanusiaan kita yang
paling luhur itu selalu dihadapkan pada bahaya kudeta dari ego-ego rendahan.
Melalui ibadah puasa kita diajak melakukan konsolidasi dan menata kembali
struktur dan mekanisme ”kerajaan suci” yang berada dalam diri.
Dengan menjinakkan hawa nafsu kemudian rohani selalu
terhubung dengan Yang Mahasuci semoga kita tumbuh menjadi pribadi yang
tersucikan. Jadi, puasa yang merupakan latihan spiritual diharapkan mampu
menguliti topeng-topeng kepalsuan yang secara tidak sadar selalu kita pakai dan
pertahankan.
Tanpa disadari sering kali kita telah menjadi
kolektor dan pemakai topeng-topeng untuk menutupi wajah kita yang asli.
Topeng-topeng itu antara lain berupa jabatan-jabatan, label, kedudukan,
profesi, yang kadang kala menghambat pertumbuhan kemanusiaan kita yang senantiasa
damba pada kedamaian, kebenaran, kejujuran, dan kebaikan
0 komentar:
Posting Komentar