1. GLOBALISASI, AGAMA
DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Pergantian abad millenium kedua tidak saja ditandai
dengan bergantinya masa tetapi juga memunculkan kesadaran baru tentang
kemanusiaan. Teknologi komunikasi, transformasi dan industri strategis telah
mendorong terjadi mobilisasi yang membuka sekat-sekat sosial seperti ras,
keagamaan, etnisitas dan sekat primordialisme lainnya. Memasuki abad 21 tatanan
sosial bergeser dari masyarakat feodalistis agraris yang homogen menjadi
masyarakat urban industri heterogen, geo-politik bergerak dari monarkhi yang
otoriter menjadi negara bangsa (nation state) yang demokratis dan pluralisik.
Seiring dengan modernisasi dan globalisasi yang tengah berlangsung dunia
menjadi semakin menjadi plural dan multikultural dari segi agama, ras,
etnisitas, bahasa dan budaya. Tidak ada satu negarapun yang dapat mengisolasi
diri dari proses tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi dan transportasi makin mengaburkan
sekat-sekat sosial tersebut dan menjadikannya menjadi ‘desa besar’ (global
village). Di sisi yang lain, konvensi-konvensi internasional menjamin hak
setiap orang untuk dapat berpindah dan bertempat tinggal dimanapun ia kehendaki
secara aman dan nyaman.
Proses pergeseran sosial tersebut tak pelak menghajatkan
suatu kesadaran baru terhadap kemanusiaan. Abad 20 dapat dikatakan sebagai
‘kawah condrodimuko’ bagi umat manusia untuk melakukan berbagai trial &
error secara teknis melalui berbagai inovasi dan perkembagan teknologi dan
secara ideologis dengan kontestasi diskursif terhadap berbagai paham agama dan
aliran politik. Berbagai gejolak dan komplikasi diharapkan dapat memunculkan
kesadaran inklusif yang berorientasi munculnya ‘common word ‘ tentang
nilai-nilai universal yang berpijak pada pengakuan & penghargaan
(akcnowledgement & value), penghormatan (respect) dan tenggang rasa
(tolerance) terhadap segala perbedaan dan keberagaman sebagai suatu keniscayaan
yang secara fisolofis tercakup dalam ‘Bhinneka Tungal Ika’.
Dalam realitas normatif, semua agama, bangsa dan aliran
politik apapun menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut namun dalam praxis dunia
masih terkoyak oleh apa yang disebut oleh Syafi’i Ma’arif sebagai ‘daki-daki
peradaban’ yang bermuatan politis primordialis. Di tingkat global, cita-cita
menciptakan ‘desa global’ (global village) yang diilhami oleh romantisme
kehidupan desa yang tenang, nyaman, saling menyayangi dan tolong menolong,
toleran dan menguatkan masih dinodai oleh hegemoni, dominasi dan kesewenangan
negara-negara kuat secara politik dan ekonomi sehingga menimbulkan apriori dari
negara-negara berkembang. Ketimpangan politik-ekonomi dalam tatanan
internasional sangat berpotensi mereduksi signifikansi nilai-nilai universal
yang terkandung dalam prinsip-prinsip modern seperti demokrasi dan Hak-hak
Asasi Manusia dan merancukannya sebagai nilai-nilai Barat.[2]
Nilai-nilai universal seperti persamaan hak, kesetaraan
sosial politik ekonomi, kebebasan berekspresi, penghormatan dan tenggang rasa
terhadap perbedaan ras, suku-bangsa, agama, ekonomi dan gender merupakan
‘hybrid values’ diekstraksi dari nilai-nilai fundamental dari setiap tradisi
sosial dan agama. Oleh sebab itu, dalam proses akulturasi dan inkulturasinya
banyak menimbulkan ketegangan ‘politik budaya’ (dan dalam batas tertentu budaya
agama) konvensional seperti primordialisme, feodalisme, otoritarianisme,
kolonialisme, patriarkhi dan sexisme serta isme-isme yang mendegradasikan
kemanusiaan, baik di negara-negara Barat dan Timur.
Di kalangan masyarakat Muslim, nilai-nilai universal
yang dituangkan dalam konvensi-konvensi internasional seringkali bertaut dengan
‘trauma kolonialisasi’ di masa lalu yang menimbulkan apriori dan ketegangan
yang pada puncaknya menciptakan ‘ class of civilization’ yang secara provokatif
dilontarkan oleh Samuel Hantington. Di sisi lain, kecenderungan Barat dalam memaksakan
‘pengertian tunggal’ terhadap nilai-nilai universal HAM yang justru
menciptakan ‘apologi Barat’ seperti
dalam kasus Irak dan Afganistan. Selanjutnya, kegagalan pemerintahan modern di
berbagai negara Muslim dalam mewujudkan cita-cita demokrasi memunculkan
apatisme dan frustasi kolektif. Rongrongan korupsi, kolusi dan nepotisme telah
mengaburkan nilai-nilai subtansif demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan
universal. Agama menjadi ‘jangkar spiritual’ (spiritual anchor) untuk
melampiaskan rasa frustasi dan apatisme kolektif tersebut. Alih-alih
membangkitkan kesadaran moralitas lintas budaya (cross-cultural morality)
sebagai cara untuk menguatkan nilai-nilai universal, gerakan revivalisme agama
terjebak dalam ekstrimisme dan politisasi agama yang justru mengabaikan
nilai-nilai fundamental agama untuk menciptakan perdamaian dan menjunjung
tinggi kemanusiaan.[3]
Pergantian abad yang diharapkan sebagai ‘gerbang emas’
(golden gate) bagi tercapainya nilai-nilai kemanusiaan masih memunculkan
berbagai tantangan seperti autoritarianisme politik, ekspansi neo-liberalisme
ekonomi, fundamentalisme agama dan fanatisme sekuler seperti yang terjadi di
Perancis dan Turki serta konflik-konflik antar etnis, agama serta kekerasan
internal agama seperti akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Semua masalah
tersebut merupakan ancaman bagi eksistensi kemanusiaan
2. AGAMA, NILAI
KEMANUSIAAN & KEMAJEMUKAN INDONESIA
Pluralitas dan keberagaman harus dimaknai sebagai
keniscayaan dunia modern, termasuk dalam konteks Indonesia sebagai bangunan
masyarakat negara bangsa. Sangat mustahil untuk memutar kembali kejayaan
eksklusifitas, hegemoni dan dominasi kelompok apapun landasannya kecuali dengan
cara kekerasan dan kenistaan terhadap kelompok lain. “Single majority’ sebagai
sistem demokrasi prosedural telah direvisi oleh demokrasi berbasis hak asasi
yang memunculkan nilai-nilai
multikultural yang mengakui representasi dari setiap kelompok dan
golongan untuk berpartisipasi dalam negara.[4]
Hal ini memunculkan tantangan yang fundamental terhadap
eksklusifitas tradisi agama yang menyejarah. Hampir semua tradisi agama menjadi
besar beriringan dengan puncak kekuasaan dan dominasi politik pemeluknya.
Kecenderungan tersebut terus berlangsung karena sumber tradisi agama yang
diajarkan secara turun temurun adalah hasil-hasil kompilasi pada masa-masa
tersebut. Tidak hanya sebatas proses pengajaran, tradisi agama yang
sesungguhnya merupakan hasil pemahaman dan interpretasi kolektif pada masa
tertentu yang ditetapkan secara politik validitas dan kebenarannya sebagaimana
terjadi pada abad ke 10 ketika kekuasaan politik Abbasiyah menutup pintu
ijtihad. Ajaran agama menjadi rancu
antara aspek normatif-teologis yang absolut dan universal dengan aspek
historisitas yang merupakan ’human construction’ yang dipengaruhi aspek
sosial-ekonomi dan budaya yang menyejarah.[5]
Hal itulah yang dicemaskan oleh Huntington ketika
menganalisis konsep negara bangsa dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti
Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara, tidak saja beragam secara agama
tetapi juga etnis dan bahasa. Negara bangsa yang dibangun secara demokratis
menghajatkan dan mensyaratkan integrasi nasional yang tunggal. Integrasi nasional yang tunggal
hanya dapat tercapai jika negara dibebaskan dari otoritas politik tradisional,
religius, familiar dan etnis untuk digantikan dengan otoritas nasional yang
sekuler dan tunggal’.[6]
Munculnya berbagai masalah sosial pasca-kemerdekaan
negara-negara Asia Tenggara menguatkan kerisauan Geertz dan Hefner bahwa
fondasi etnis-keagamaan ini dapat menjadi sangat rapuh manakala terkait dengan
persaingan perebutan kendali negara. Dominasi suatu kelompok ethno-religious
akan mengoyak upaya untuk membangun suatu negara bangsa, baik secara internal
maupun eksternal sebagaimana terjadi pasca reformasi tahun 1998. Fondasi negara
bangsa dipertanyakan manakala terjadi konflik dan kekerasan pada level
masyarakat sipil. Hefner menawarkan suatu konsep tentang kewarganegaraan yang
multikultural (multicultural citizenship).
Tawaran tersebut mengandaikan bahwa masyarakat sipil
mempunyai berperan lebih besar dalam mengelola keberagaman berbasis budaya,
agama, etnisitas, gender dan ideologi sosial lain agar dapat menjadi modal
sosial bagi terwujudnya demokrasi. Masyarakat sipil dapat dikatakan memperkuat
demokrasi jika interaksi sosial yang majemuk dan heterogen dapat dilaksanakan
dengan damai, bahkan ketika terjadi perselisihan dengan pihak lain di ruang
publik. Unsur-unsur dari masyrakat sipil tetap menjunjung tinggi hak-hak warga
negara lain yang pada gilirannya dapat menyumbangkan suatu budaya partisipasi
publik yang didasarkan pada kebebasan berpendapat dan perserikat.[7]
Kewarganegaraan yang multikultural dapat menjadi aset
bagi pembentukan kepribadian yang inklusif
dan terbuka terhadap akses, partisipasi dan pengambilan keputusan serta
keterjangkauan manfaat dari pembangunan bagi seluruh komponen bangsa. Disisi yang lain, masyarakt sipil
dapat mendorong negara untuk berlaku adil dalam memberikan perlindungan
keamanan dan layanan-layanan publik terhadap seluruh komponen bangsa apapun
latar belakang etnisitas, kepercayaan, klas ekonomi, gender bahkan kalangan
diffable. Dalam bahasa yang agak
berbeda, Farid Esack melontarkan suatu konsep tentang pluralisme yang dimaknai
sebagai pengakuan dan penerimaan daripada sekedar toleran terhadap perbedaan
dan keragaman, yang dalam tradisi keagamaan merupakan bentuk menerimaan
terhadap perbedaan faham, baik yang bersifat normatif maupun tradisi.[8]
Definisi ini sangat berbeda dengan anggapan umum bahwa
pluralisme adalah mencampuradukkan kebenaran agama atau pengakuan kebenaran
semua agama. Yang sering terlupakan dalam membahas tentang multikulturalime dan
pluralisme adalah posisi ‘negara-bangsa’ dan masyarakat sipil. Agama bagi
setiap orang adalah suatu kebenaran mutlak yang perlu dipertahankan. Namun
demikian, klaim kebenaran tersebut tidak boleh menghalangi hak-hak asasi orang
lain yang dijamin oleh negara. Sebagai suatu negara bangsa yang bersifat
teritorial dan tidak bersifat primordial, negara memiliki kewajiban
memperlakukan semua agama dan pengikut agama dan kepercayaan apapun dengan cara
sama dan adil dalam mendapatkan hal-hak dasar seperti keamanan, temapt tinggal,
kesehatan, pendidikan, akses ekonomi dan partisipasi politik dan ekpresi
kebudayaan. Dalam hal ini tidak diasumsikan bahwa ketegangan dan konflik tidak
terjadi dalam keberagaman. Namun konflik dan ketegangan tersebut seharusnya
diselesaikan secara ‘santun’ dan tidak melanggar hak-hak asasi. Jika hak-hak
tersebut dilanggar maka negara berkewajiban menindaknya, sekalipun mereka
adalah kelompok mayoritas.
Kemajemukan telah menjadi fenomena universal karena
modernisasi dan keterbukaan yang dijamin oleh HAM dan demokrasi maka pluralisme
kini menjadi dasar bagi nilai-nilai universal sebagaimana diputuskan oleh
konggres the Parliament of the World Religion di Chicago pada tahun 1993.
Konggres tersebut dihadiri oleh lebih dari 7000 delegasi dari tokoh-tokoh agama
dan spiritual seluruh dunia yang
mengilhami Hans Kung untuk merumuskan perdamaian dunia yang ditopang oleh tiga
preposisi yaitu:
Mustahil kehidupan manusia tidak ditopang oleh
nilai-nilai universal yang melampaui batas-batas negara
Tidak ada perdamaian sejati di antara bangsa-bangsa
tanpa perdamaian antar agama
Tidak ada perdamaian agama tanpa adanya dialog antar
agama.[9]
Yang perlu ditambahkan dari preposisi di atas adalah
dialog antar agama hanya dapat dilakukan jika warganya memiliki kepribadian
yang inklusif sehingga dapat menciptakan relasi sosial yang produktif dan
menguatkan.
3. AGAMA & PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN INKLUSIF
KEINDONESIAAN
Dalam konteks Keindonesiaan yang plural dan
multikultural, sejak dari awal pembentukan karakter bangsa harus diarahkan pada
kepribadian yang inklusif. Bukan semata-mata bertenggang rasa dalam kerangka
co-existence tetapi lebih jauh lagi harus berpartisipasi dalam menciptakan
relasi sosial yang pro-existence dalam kemajemukan. Sikap tersebut menghajatkan
kerjasama antar agama dalam menghadapi masalah-masalah aktual kehidupan seperti
kemiskinan, kekerasan dan konflik horisontal, korupsi dan lain sebagainya dalam
kerangka nilai-nilai fundamental dan universal antar agama.[10]
Pembentukan kepribadian adalah merupakan proses
pembelajaran dua arah yang meliputi sosalisasi kolektif dan internalisasi
individual, baik secara formal maupun informal. Setidaknya ada dua aspek yang
harus dikemukakan dalam proses pembentukan kepribadian inklusif yaitu muatan
pelajaran agama dan strategi pembelajarannya.
3. a. Muatan Pelajaran Agama (Content of Religious
Studies)
Secara ideal, pelajaran agama harus mencakup aspek
multidemential yaitu dimensi normatif-teologis sebagai ‘hard-core’ yang memberikan absolusitas
keyakinan dan kebutuhan emosional (emotional fulfillment) yang bersifat
esoteris yang tercakup dalam hubungan antara manusia dan tuhannya (habl min
Allah). Dimensi historis yang memberikan pemahaman keterkaitan antara ajaran
agama dengan proses-proses ketersekatan dan pelembagaan yang menyejarah serta
dimensi sosial aktual yang memberikan perangkat analisis komprehensif terhadap
masalah-masalah aktual. Kedua dimensi tersebut merupakan aspek eksoteris dari
muatan pelajaran agama.[11]
Selama ini, pelajaran agama lebih menitik beratkan pada
pendekatan normatif yang berdimensi ‘salah dan benar’ semata-mata bahkan pada
dimensi eksoteris yang bersifat historis dan sosiologis sehingga menimbulkan
ketegangan, baik secara internal maupun hubungan antar agama. Pendekatan
semacam ini bahkan masih dominan digunakan sampai tingkat perguruan tinggi yang
seharusnya lebih mengedepankan pendekatan historis dan sosial empiris-kritis
sehingga agama dapat memberikan perangkat problem solving dan bukan justru
menjadi part of the problem dalam konteks kemajemukan dan keberagaman di
Indonesia.
Dimensi normatif dapat memberikan fondasi spiritualitas
yang dinamis dalam menjunjung nilai-nilai universal kemanusiaan seperti
keberagaman, toleransi dan penghargaan, persamaan dan keseteraan, bukan
semata-mata pada sesama pemeluk agama tetapi bagi seluruh umat manusia dan alam
semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dimensi historis dapat memberikan lesson
learns, baik suatu fenomena yang konstruktif maupun aspek destruktif yang
pernah dilakukan oleh para pendahulu dalam konteks kesejarahannya. Sehingga
dapat diambil hikmah bagi kemaslahatan kemanusiaan di masa berikutnya. Dimensi
sosial-empiris dapat memberikan kesadaran kontekstual dengan mengacu pada
pemecahan masalah aktual dan komprehensif.
Pada aspek ini, klaim kebenaran (truth claim) yang
bersifat normatif yang mengedepankan sentimen emosional akan menimbulkan
dogmatisme dan fanatisme. Di sinilah dimensi kesejarahan dan sosial menjadi
sangat penting perannya dalam mengimbangi dimensi normatif sehingga dapat
membentuk komitmen dan sentimen yang sehat dan inklusif yang dituntut oleh
agama dan menghindari fanatisme sempit
eksklusif yang dicegah oleh agama.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan rekonstruksi studi
agama yang dapat mewujudkan suatu teologi yang kritis yang dituntun oleh
filsafat sebagai aktifitas akal budi yang melakukan formulasi, reformasi,
evaluasi dan reorientasi terhadap suatu faham agama. Analisis sosial budaya
dapat memperkaya teologi kritis dengan data-data empiris yang dapat memperkaya
agama dalam memberikan solusi yang komprehensif. Rekonstruksi tersebut dapat
dilakukan melalui paradigma ‘interkoneksi dan integrasi’ antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu kontemporer lainnya seperti filsafat, antropologi, sosiologi, budaya
dan politik sehingga agama yang diajarkan dapat secara komprehensif memberikan
solusi bagi isu-isu strategis seperti HAM, demokrasi, kesetaraan gender,
pluralisme dan multikulturalisme, isu lingkungan hidup dan pemanasan global dan
isu-isu lainnya.
3. b. Strategi Pembelajaran Agama dalam Pembentuk
Kepribadian Inklusif
Pembelajaran agama konvensional dan otoriter yang
berpusat pada pengajar atau pewacana (the author of discourse) masih
mendominasi strategi pembelajaran agama, bahkan sampai di perguruan tinggi.
Pembelajaran tersebut dapat menghasilkan outcome yang menguatkan dogmatisme dan
fanatisme jika peserta didik bersikap pasif. Namun, strategi tersebut dapat
menimbulkan outcome yang berkebalikan yaitu munculnya kecenderungan ‘penafian’
jika peserta didik bersifat kritis sehingga pelajaran agama tidak mampu
berperan sebagai spiritual dan moral guidance serta cenderung diabaikan.
Idealnya agama harus diajar secara multi-approches dan
bersifat contested dengan sebanyak mungkin memaparkan berbagai dimensi
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pendekatan yang bersifat normatif-historis
dan sosiologis akan dapat menyemai suatu kesadaran kritis dan spiritualitas
yang dinamis dalam menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks seiring
dengan modernisasi dan globalisasi yang tengah berlangsung. Dengan demikian
agama menyediakan alternatif-alternatif pemecahan yang berpijak pada
nilai-nilai fundamental universal (sebagai antitesis terhadap nilai-nilai
furu’iyah partikular) dan berorientasi pada relevansi pemecahan yang
kontekstual dan aktual seperti pemberantasan secara bentuk eksploitasi,
penindasan, korupsi dan praktek-praktek dekaden lainnya.[12]
Proses pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam
pendidikan agama semacam ini tidak dapat dilakukan secara instan karena
membutuhkan reorientasi muatan akademis yang cukup rumit dan tidak jarang
menimbulkan ketegangan diskursif dalam kontestasi ‘klaim kebenaran’ serta
pembenahan strategi pembelajaran bagi para pengajar atau pewacana agama seperti
guru, da’i dan para pemimpin keagamaan. Perubahan IAIN menjadi UIN dengan
pembukaan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora dan Fakultas Sains dan Teknologi
diharapkan akan dapat menguatkan proses pergeseran paradigma tersebut dan pada
gilirannya dapat mengukirkan suatu pendekatan pelajaran agama yang komprehensif
dalam rangka mendukung pembangunan kepribadian yang inklusif yang diharapkan
dapat mewujudkan suatu kehidupan agamis, dinamis dan berwawasan kebangsaan.
Referensi
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Nomatifitas atau Historisitas?,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2009.
Tibi, Basam, The Challenge of Fundamentalism: Political
Islam dan The New World Disorder, London: Universityof California Press, 2002.
Gerung, Rocky, “Mengaktifkan Politik”, dalam Ihsan Ali
Fauzi dan Syamsu Rizal Panggabean, Demokrasi dan Kekecewaan, Jakarta:
Paramadina, 2009.
Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: an
Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppresion, Oxford: One
World, 1997.
Anwar, Syafii (Ed) , Islam, Universal Values and the
Challenge of Globalization: Toward A Dialog of Civilization, Jakarta: ICIP,
2008.
Madjid, Norcholish, Fiqih Lintas Agama: Pembangun
masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004.
[1] Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Professor dalam bidang Filsafat Islam
[2] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2009.
[3] Basam Tibi. The Challenge of Fundamentalism:
Political Islam dan The New World Disorder ( London: University of California
Press, 2002.
[4] Rocky Gerung, “Mengaktifkan Politik”, dalam Ihsan
Ali Fauzi dan Syamsu Rizal Panggabean, Demokrasi dan Kekecewaan, Jakarta:
Paramadina, 2009.
[5] Amin Abdullah, Studi Islam: Normativitas atau
Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
[6] Robert W. Hefner (Ed), The Politics of Multiculturalism,
Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Hawaii: the
University of Hawaii Press, 2001.
[7] Ibid, hal. 26-27
[8] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: an
Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppresion, Oxford: One
World, 1997.
[9] Syafi’i Anwar (Ed) , Islam, Universal Values and the
Challenge of Globalization: Toward A Dialog of Civilization, Jakarta: ICIP,
2008.
[10] Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama: Pembangun
masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004.
[11] Amin Abdullah, Studi Agama: Nomatifitas atau
Historistas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
[12] Farid Esack, Qur’anic Liberation & Pluralism,
1997
0 komentar:
Posting Komentar