BERBICARA
tentang makanan biasanya akan membawa kita pada imajinasi tentang sesuatu untuk
dikonsumsi agar dapat memenuhi hajat akan energi untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari.
Makanan dipandang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan fisik meskipun ada pula yang memberi konotasi sebagai nutrisi untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bersifat fisik, tapi spiritual atau jiwa. Biasanya makna kedua ini merujuk pada kebutuhan terhadap siraman jiwa yang berupa ajaran agama, nasihat tentang kearifan ataupun ekspresi cinta, kasih sayang atau perhatian. Kedua pengertian tersebut sama-sama mengasumsikan perlunya asupan yang baik dan sehat seperti yang juga diperintahkan Alquran surah Al-Baqarah ayat 57 “kuluu min thayyibat ma razaqnakum” yang artinya makanlah yang baik-baik yang telah kami berikan kepadamu.
Makanan dipandang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan fisik meskipun ada pula yang memberi konotasi sebagai nutrisi untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bersifat fisik, tapi spiritual atau jiwa. Biasanya makna kedua ini merujuk pada kebutuhan terhadap siraman jiwa yang berupa ajaran agama, nasihat tentang kearifan ataupun ekspresi cinta, kasih sayang atau perhatian. Kedua pengertian tersebut sama-sama mengasumsikan perlunya asupan yang baik dan sehat seperti yang juga diperintahkan Alquran surah Al-Baqarah ayat 57 “kuluu min thayyibat ma razaqnakum” yang artinya makanlah yang baik-baik yang telah kami berikan kepadamu.
Ayat di atas mengindikasikan apa
yang kita makan itu penting untuk mendapat perhatian. Artinya, makanan bukan
sekadar untuk mengenyangkan, melainkan memiliki makna lebih dalam dari itu. Ada
pepatah mengatakan, you are is what you eat, artinya siapa dirimu
tercermin dari apa yang kamu makan. Ini menunjukkan, makanan apa yang kita
konsumsi sedikit atau banyak merepresentasikan siapa kita, bagaimana cara
pandang kita tentang banyak hal. Orang yang mengikuti gaya hidup vegetarian,
yaitu menghindari makanan yang berasal dari hewan misalnya, berpandangan bahwa sebagai
sesama makhluk hidup, hewan tidak berhak untuk menderita karena penyembelihan
oleh manusia.
Karenanya hewan tidak menjadi
bagian dari menu mereka. Bagi umat Islam dan Yahudi, babi juga dianggap makanan
yang tidak boleh dikonsumsi sehingga ada istilah makanan halal bagi kaum muslim
atau kosher bagi kaum Yahudi. Bahkan cara pandang seperti itu telah
melahirkan institusi yang menangani dan mengawasi kehalalan makanan bagi muslim
di Indonesia seperti Majelis Ulama Indonesia. Selain makanan berkorelasi dengan
ideologi seperti dicontohkan di atas, dia juga memiliki kaitan erat dengan
tingkat adaptability dan keterbukaan ataupun sebaliknya dengan tingkat
resistensi dan kekakuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru atau
berbeda.
Saya teringat cerita kawan saya
yang saat itu baru saja sampai di sebuah kota di Amerika untuk belajar. Sebagai
orang yang datang dari kampung, dia bercerita betapa sulitnya ketika pertama
kali dia makan burger. Karena dalam bayangannya dan berdasarkan kebiasaan dia
di kampung, roti itu mestilah dimakan dengan mentega dan cokelat atau tambahan
lain yang rasanya manis. Ketika dia menemukan roti yang dimakan dengan sayuran,
daging, dan saus tomat ditambah lagi rasanya pun asin, pikirannya menolak dan
itu langsung tergambar dari reaksi fisiknya yang tidak mau menelan makanan
tersebut.
Ada semacam perasaan this is
not right, ini tidak semestinya begini, ini keliru, ada yang salah dan
seterusnya sehingga makanan yang terasa “asing” itu tidak bisa lolos sensor
tenggorokannya. Keluar dari comfort zone atau wilayah nyaman memang
tidak mudah. Pasti akan menimbulkan kekhawatiran, ketidakpastian, dan
ketidaknyamanan atau unheimlich (not feeling at home).
Sebagai reaksi terhadap kondisi ini, ada orang yang mau berusaha mencoba
memahami sesuatu yang baru tersebut, ada pula yang resisten atau daya tolaknya
tinggi dan menganggap apa yang berbeda dari apa yang pernah dia tahu dan alami
adalah keliru dan tidak baik.
Inilah yang sering disebut dengan
subjektivitas. Subjektivitas sesungguhnya adalah sesuatu yang alamiah. Karena
pengalaman seseorang dan pengetahuan yang dia dapat semenjak masa kecil dari
keluarga atau pergaulan akan membentuk cara pandang seseorang sehingga pikiran,
cara pandang, selera, dan cara berperilakunya pun tidak bisa lepas dari
pengaruh pengalaman subjektif tadi. Karenanya, kita akan menyaksikan seseorang
memiliki pandangan sama atau berbeda dengan orang lain. Adik-kakak, teman satu
negara atau teman satu pesantren sangat mungkin akan memiliki cara pandang yang
sama dalam beberapa hal, tetapi juga berbeda dalam hal lain.
Pernah suatu ketika saya mengajak
kawan untuk makan sushi, makanan Jepang yang berupa nasi yang digulung dengan
berbagai rasa dan diberi garnish atau hiasan sedemikian rupa. Kawan
ini bilang, “Ah, lebih enak lemper daripada sushi. Lagian kan sama-sama dari
beras, tapi kan rasanya jauh lebih enak lemper.” Bagi saya, komentar ini tidak
mengherankan karena bagi seseorang yang dibesarkan di sebuah kota kecil di
Yogyakarta, maka fore-structures atau kekayaan informasi, pengalaman,
dan imajinasi yang sudah tertanam dalam benaknya semenjak kecil, khususnya
tentang apa itu makanan enak dan tidak enak, tentu saja ditentukan oleh
pengalaman tersebut.
Dan berdasarkan pengalaman itu
pula, dia mendasarkan judgment-nya bahwa A lebih enak dari B atau sebaliknya.
Berpendapat subjektif tentang rasa makanan tersebut tidaklah salah, bahkan itu
adalah sesuatu yang alamiah saja. Yang hendaknya dihindari adalah mengatakan
bahwa subjektivitas yang satu lebih baik atau lebih benar dari subjektivitas
yang lain. Karena pada dasarnya, tiap klaim tadi lahir dari sebuah keniscayaan
historisitas atau presuposisi yang terdiri atas cara pandang, pengalaman yang
berbeda dan unik. Mari kita ambil contoh lagi, bagaimana makanan yang
dikonsumsi orang Kongo di Afrika dan orang Jepang.
Bagi orang Kongo, pisang besar
merupakan makanan intinya sehingga dalam sebuah jamuan, lauk seperti ayam
goreng, ikan goreng akan disajikan dengan pisang tadi. Tak ada bumbu yang heboh
seperti di Indonesia. Sepertinya kesederhanaan penyajian ini karena makanan di
sana berfungsi primer, yaitu memenuhi kebutuhan energi. Ini berbeda dengan
sushi makanan Jepang yang sudah kita sebutkan di atas. Bagi orang Jepang,
makanan tidak hanya memiliki fungsi primer,mengenyangkan, tapi juga estetis,
indah dipandang mata. Dari sini, sesungguhnya kita bisa belajar, makanan dan
apa yang kita makan serta bagaimana makanan itu dikonsumsi bukanlah sesuatu
yang berdiri sendiri.
Semuanya itu merupakan miniatur
dari pencapaian budaya, peradaban, dan tingkat cara pandang seseorang atau
sekelompok orang terhadap banyak hal. Karenanya sangat lumrah bila kita
menemukan food culture atau budaya makanan yang beragam, sebanyak
ragamnya judgment tentang rasa berbagai jenis makanan tersebut.
Bila ada orang yang belum apa-apa
sudah apriori untuk mencoba jenis makanan yang baru ditemuinya, bahkan sudah
mendahulukan klaim buruk dan tidak enak didengar, maka besar kemungkinan orang
tersebut memiliki kecenderungan untuk berpandangan lebih kaku dalam hal lain.
Barangkali ada benarnya kalau kita mengatakan bahwa you are is what you eat,
tapi juga you are is how you eat.(*)
0 komentar:
Posting Komentar