Eksistensi Jiwa Nabati



Meneruskan pembahasan jenjang eksistensi manusia, setelah eksistensi jasadi, di atasnya terdapat eksistensi jiwa nabati. Dalam diri manusia, pertumbuhan jiwa nabati sangat mudah diamati pada masa kanak-kanak.
Kata kuncinya adalah: tumbuh, sebagaimana dunia tumbuh-tumbuhan (flora). Agar tumbuh sehat, diperlukan gizi melalui kegiatan makan-minum dan memperoleh cahaya matahari secara proporsional. Terutama masa pertumbuhan fisik, jika tidak cukup asupan gizinya, eksistensi tubuh tidak sehat dan tidak berkembang secara optimal.
Jadi, ketika seseorang sibuk berpikir dan bekerja mencari uang untuk memenuhi tuntutan makan dan minum, sesungguhnya yang dilakukan adalah tengah memenuhi kebutuhan jiwa nabati, tak ubahnya dengan dunia tumbuhan yang agenda utamanya berputar pada makan minum dan berkembang. Begitu pun jiwa nabati yang melekat pada diri setiap manusia. Sebagaimana dunia flora, pada masa kanak-kanak dan remaja tubuh seseorang berkembang terus sampai pada titik klimaks.
Sejak dari tinggi badan, panjang tangan, kaki, dan organ-organ tubuh lain akan mencapai puncak pertumbuhannya dan pada usia tertentu akan menurun. Perhatikan saja pepohonan yang sudah menua di sekeliling kita, tak ubahnya sekumpulan orang tua yang juga sudah semakin rapuh kondisi fisiknya dan tidak lagi segar. Rambut kian rontok dan memutih, pendengaran dan penglihatan kian berkurang ketajamannya.
Ketika duduk atau berjalan mesti memerlukan penyangga karena otot dan tulang-tulang penyangganya tak lagi solid dan kuat. Bahkan makan dan minum juga tidak lagi lahap. Pada dimensi nabati ini seseorang tumbuh sesuai dengan DNA/deoxyribonucleic acid-nya yang menyimpan informasi tentang keunikan seseorang sehingga berbeda dari yang lain. Dengan kata lain, dunia nabati akan tumbuh berkembang mengikuti prinsip teleologi.
Contoh termudah, dalam sebiji mangga di dalamnya tersimpan informasi dan karakter, kalau saja biji mangga itu tumbuh berkembang pasti akan menghasilkan pohon mangga. Tidak mungkin biji mangga ketika disemai akan menghasilkan pohon kelapa. Inilah maksud teleologi atau “serba-tuju” bahwa setiap benih mengandung potensi dan jika berkembang akan mengikuti cetak biru yang sudah terkandung di dalamnya.
Jadi, andaikan kita menyebar 10 biji dari beraneka macam buah, masing-masing kalau tumbuh akan berbeda-beda sesuai dengan cetak biru potensi yang sudah terkandung di dalamnya. Begitu pun dalam diri manusia, sejak terjadi seleksi sperma yang kemudian bertahan dan berkembang menjadi calon manusia, masing-masing sudah memiliki cetak biru, baik jenis kelamin maupun organ-organ tubuh lainnya.
Ini bisa juga disebut takdir atau ketentuan Ilahi yang mesti kita terima. Betapa repot dan lelahnya jika seseorang mengingkari cetak biru eksistensi nabati yang melekat dan tumbuh dalam diri kita. Misalnya, mereka yang ditakdirkan terlahir dengan warna kulit hitam lalu mendambakan berubah menjadi berkulit putih. Mereka yang terlahir rendah lalu ingin sekali menjadi jangkung.Yang memiliki takdir rambut keriting menginginkan lurus.
Sampai tahap tertentu bisa saja kita mengubah potensi dan cetak biru yang sudah melekat pada jiwa nabati, tetapi tidak akan permanen. Pada eksistensi jiwa nabati, kehidupan manusia sudah meriah. Berbagai ragam bentuk dan kegiatan pesta dengan agenda pokok makan dan minum mudah dijumpai di manamana. Sekian banyak mal dan ratusan restoran berdiri di berbagai kota. Apa yang ditawarkan? Tak lain memenuhi tuntutan jiwa nabati.
Bagi anak kecil dan remaja, pemenuhan ini sangat vital. Namun bagi orang yang telah berumur, jika tidak terkontrol, makan dan minum justru akan menjadi sumber penyakit. Pada umumnya orang sakit karena tidak mampu mengontrol kegiatan dan nafsu jiwa nabatinya. Penyakit kolesterol dan jantung yang paling banyak menjadi pemicu kematian orang kaya disebabkan aktivitas jiwa nabati yang tidak terkontrol.
Oleh karena itu agama mengajarkan agar apa yang kita makan dan minum selalu berpegang pada prinsip halalan-thoyyiban. Halal artinya bukan hasil korupsi atau curian, sedangkan thoyyiban artinya makanan dan minuman itu mesti baik dan sehat menurut pertimbangan medis. Sungguh indah jika kita selalu menjaga dua kualitas ini sehingga jiwa nabati tumbuh sehat untuk menyangga dan mendukung eksistensi jiwa yang lain, yaitu hewani, insani, dan malakuti yang akan kita bahas belakangan.
Ketika usia semakin lanjut, persis tumbuh-tumbuhan di kebun, rambut––ibarat daun––kian putih dan mudah rontok. Batang dan dahannya tidak lagi segar dan tidak bisa tumbuh lebih tinggi lagi. Bahkan mulai merunduk dan mudah roboh jika ada empasan angin agak kencang. Di saat itu, ke mana perginya ketampanan dan kecantikan yang selalu segar dan dibanggakan ketika remaja? Lalu, apa yang mestinya menjadi kebanggaan sebagai kekayaan dan identitas diri yang paling berharga?

Komaruddin Hidayat

0 komentar:

Posting Komentar