Amin Abdullah
Pendahuluan
Bertubi-tubi bangsa Indonesia terkena musibah. Tidak hanya musibah alam, berupa guncangan
gempa di berbagai daerah tetapi juga gempa-gempa sosial, agama, politik, ekonomi dan hukum.
Munculnya peristiwa satu dan lainnya hampir-hampir tidak
berjarak. Belum lepas dari ingatan bangsa Indonesia bagaimana dahsyatnya musibah tsunami Aceh,
gempa dahsyat di Yogya, Tasikmalaya dan
Padang, kemudian diiringi peristiwa bom bunuh diri (Suicide bombings)
di berbagai daerah dan penyergapan dan penangkapan sebagian para
pelakunya. Disusul pemilihan umum dan
pimilukada yang diwarnai money politic dengan berbagai intrik-intrik dan
kecurangan yang melekat didalamnya,
diselingi kekerasan yang berbasis ideologi agama, tawuran antar kelompok
pemuda dan warga desa, diramaikan pula oleh
kasus cicak-buaya, ledakan bank Century yang mengguncang dunia politik,
dan yang paling baru adalah makelar kasus
dan mafia peradilan perpajakan yang menyeret Gayus dengan kekayaannya
yang fantastis dengan melibatkan aparat
penegak hukum baik di kepolisian, kejaksaaan maupun kehakiman. Lengkaplah
sudah gempa alam, sosial, agama,
politik dan hukum yang diderita bangsa
ini. Gempa sosial, agama, politik, dan
hukum yang bertubi-tubi dan saling silih berganti ini menunjukkan betapa
rendahnya kualitas karakter manusia Indonesia, sehingga masuk rangking
tertinggi dalam daftar urut negara terkorup di dunia. Krisis multidimensi,
krisis etika, krisis kepercayaan diri, krisis kepercayaan sosial belum berakhir
dan cenderung menjadi-jadi.
Musibah, krisis multidimensi dan cobaan besar yang
diderita oleh bangsa ini menggugah dan memaksa warga negara, masyarakat sipil,
pejabat negara dan institusi sosial-kemasyarakatan dan keagamaan untuk
introspeksi diri dan melakukan langkah-langkah perbaikan. Mengapa bangsa dan manusia Indonesia, yang
biasa mengklaim dirinya religius, mengidap penyakit akut “split of personality”
(Kepribadian yang terpecah)? Yaitu, keterpecahan atau tidak kemampuan menyatukan perkataan dan perbuatan, antara
“teori” dan “praktek”. Orang (bisa jaksa, polisi, hakim, guru, dosen, pejabat
negara), bahkan orang-orang beragama, tokoh partai, tokoh organisasi, tokoh LSM
sering hafal diluar kepala rumus-rumus, undang-undang, ayat-ayat, tetapi tidak
mampu melaksanakan apa yang ia ketahui dan hafal dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Mudah tergoda oleh berbagai bujuk rayu, iming-iming, kepentingan
golongan, ekonomi, agama, partai dan begitu seterusnya.
Penyakit Split of Personality ini dalam al-Qur’an Surat
al-Shaff (61), ayat 2-3, sebagai berikut :
(Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kami kerjakan).
Bukankah, salah satu tujuan diutusnya seorang Nabi,
rasul, yang kemudian diteruskan (diwariskan) kepada seluruh ulama, great
leaders (pemimpin-pemimpin besar) diseluruh antero dunia adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia (Innama bu’itstu li utammima makarim al-akhlak).
Akhlak disini bukanlah sekedar ”Ilmu Akhlak”, tetapi lebih pada menyatunya teori
dan praktik, lengkatnya ucapan dan perbuatan, tidak melebarnya jarak antara
hafalan, rumus, ayat, undang-undang, PP dan realitas kehidupan riil sehari-hari
dalam masyarakat.
Adalah Kementerian Pendidikan Nasional yang mencoba
melihat bahwa pangkal tolak persoalannya adalah terletak pada lemahnya
pendidikan karakter (Character building) dalam kehidupan berbangsa, beragama,
bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada anggota masyarakat yang manapun dan
dimana pun di tanah air yang kebal dari penyakit
sosial ini. Sejauh ini belum ada obat yang mujarab untuk mengobati
penyakit yang kronis ini. Bukankah sudah
ditegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Singkatnya melalui pendidikan hendak
diwujudkan peserta didik yang memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan
spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Dari
segi rumusan, barangkali inilah rumusan tujuan pendidikan yang paling ideal,
ambisius dan nyaris sempurna, tetapi tetap saja menyimpan pertanyaan besar
mengapa dalam alam praktik kehidupan sosial bernegara, berbangsa, beragama, dan
bermasyarakat masih muncul krisis akut yang tak berkesudahan? What went wrong (apa yang salah ?) dalam
berbangsa dan bernegara yang kita cintai bersama ini ? Diperlukan kajian yang
komprehensif, radikal. bersinambungan, sungguh-sungguh dan tak perlu jemu
mencoba dan salah dan mencoba lagi dan salah dan sampai berhasil. Tugas ini adalah tugas long
life strife, perjuangan sosial sepanjang usia manusia, perjuangan yang tak
kenal masa awal dan masa akhir. Semua upaya perbaikan perlu dilakukan terus
menerus tak kenal henti, ibarat air yang mengalir, tanpa kenal henti.
Multidimensionalitas Pendidikan Karakter
Tidak mudah mencari jalan keluar dari persoalan yang
sedang dihadapi bangsa ini. Tidak ada definisi
Pendidikan Karakter yang memuaskan, karena setiap definisi biasanya
hanya menekankan pentingnya aspek tertentu dan mengabaikan aspek lain. Begitu
juga pandangan atau pendekatan disiplin keilmuan terhadap Pendidikan Karakter.
Tak ada satu pun pendekatan keilmuan – dengan mengabaikan pendekatan disiplin
keilmuan lain – yang memuaskan. Sifat
Pendidikan Karakter adalah multidimensi
dan multidisiplin, sehingga
diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai
disiplin ilmu, tidak sektoral-parsial,
ad hoc, apalagi atomistik. Pendidikan Karakter mengasumsikan keterkaitan erat
antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya, dan
estetika. Pendidikan agama, begitu juga pendidikan kewarganegaraan pada level
manapun tidak dapat berbuat banyak jika ia berdiri sendiri (self sufficiency),
karena jika tidak dikaitkan dengan budaya, sosial, hukum dan politik
misalnya, maka pendidikan agama hanya
akan jatuh pada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang mungkin
mudah dihapal, tapi seringkali tidak dapat dipraktikkan dan
diimplementasikan dalam dunia sosial sehari-hari yang begitu kompleks.
Menyadari kesulitan yang begitu kompleks, dengan
mengambil inspirasi dari seorang filsuf
Jerman era modern, Immanuel Kant, dapat ditegaskan disini bahwa Pendidikan Karakter adalah pendidikan kemanusiaan yang
bertujuan menjadikan manusia “baik”.
Menjadikan manusia “baik” tanpa prasyarat apapun. Meskipun pendapat ini
terkesan deontologis dan ahistoris, tapi
justru disitulah letak kekuatan dan relevansinya saat ini. Pada era Negara bangsa (nation states),
Pendidikan Karakter sangat diperlukan oleh bangsa manapun karena dengan
Pendidikan Karakter yang berhasil akan membuat warga masyarakat dan warga negara
menjadi “baik” tanpa prasyarat apapun. Menjadikan warga negara yang “baik” tanpa embel-embel syarat agama,
sosial, ekonomi, budaya, ras, politik dan hukum. Pendidikan Karakter seperti
ini sejalan dengan cita-cita kemandirian manusia (moral otonomy) dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pendidikan Karakter yang
sukses akan sama dengan tujuan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang baik dalam ranah
multikultural, multietnis, multibahasa, multi religi di era globalisasi
seperti saat sekarang ini.
Namun ada pertanyaan yang sulit dijawab. Seiring dengan
keberhasilan pendidikan di tanah air, maka pengetahuan dan keterampilan manusia
Indonesia turut meningkat pesat, meskipun belum sebagus dibanding negeri lain,
seperti Malayia dan Singapura. Namun mengapa MORALITAS dan KARAKTER manusia
Indonesia merosot tajam ? Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), white color
crime (kejahatan kerah putih), mutual distrust antar warga negara, distrust kepada pejabat publik, pengadilan yang
tidak adil, tawuran pelajar, bentrok antar warga desa, antar RT/RW, kekerasan
intern umat beragama, juga antar umat beragama, demonstrasi yang anarkhis,
suap-menyuap, makelar kasus, kongkalikong perpajakan, birokrasi yang korup ada
dimana-mana? Belum lagi harus disebut
rendahnya disiplin lalu lintas, rendahnya solidaritas sosial, disiplin pegawai
negeri yang rendah, rendahnya disiplin nasional dan begitu seterusnya.
Bukankah pendidikan kewarganegaraan, pendidikan
Pancasila, pendidikan agama telah diselenggarakan dalam setiap jenjang pendidikan?
Bahkan untuk pendidikan agama di sekolah saja selama 12 tahun, anak didik
memperoleh tidak kurang dari 960 jam
? Belum lagi menyebut Penataran P 4 yang
dahulu dilakukan oleh pemerintah Orde Baru? Mengapa upaya ini tidak atau belum
dapat mengantar anak didik mempunyai Karakter yang baik? Apakah Pendidikan
Karakter yang sukses dapat mengurangi kejahatan sosial, ekonomi, politik,
hukum, dan agama? Jangan-jangan ada yang
keliru dan perlu ditinjau dalam ulang hal-hal yang terkait dengan metode
penyampaian, pendekatan yang digunakan, paradigma yang membimbing pendidikan
karakter dan materi yang disusun? Perlu ada kajian dan penelitian yang
komprehensif dan mendalam tentang hal ini, melibatkan stakeholders, guru,
dosen, dan anak didik untuk semua jenjangnya, peneliti, pengamat sosial,
Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh-tokoh agama, kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama, bahkan para
jaksa, hakim, kepolisian, pengusaha, pejabat pemda dan masyarakat luas sebelum
dilakukan pembenahan yang integratif-interkonektif-menyeluruh dalam Pendidikan
Karakter di tanah air. Penelitian dan kajian yang mendalam dan komprehensif perlu dilakukan secara periodik dan menjadi agenda
nasional atau Rencana Aksi Nasional (RAN), jika saja pemerintah pusat dan
daerah dan warganegara pada umumnya memiliki sense of urgency dan sense of
crisis.
Peran hati nurani, bukan intelektualitas
Banyak faktor menjadikan Pendidikan Karakter tidak atau
kurang berhasil di lingkungan sekolah dan lebih-lebih di masyarakat luas di
tanah air. Perangkat undang-undang dan aturan-aturan yang ada sudah lebih dari
cukup namun pengawasan pelaksanaannya sangat lemah, Tapi yang sering dilupakan adalah bahwasanya
Pendidikan Karakter memang diawali dengan Pengetahuan (Teori), Pengetahuan
(Teori) tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, sosial, budaya.
Kemudian dari pengetahuan itu diharapkan dapat Membentuk Sikap atau akhlak yang
mulia. Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah MENGAMALKAN
apa yang diketahui itu. Disini terjadi kekeliruan dan ketidaktepatan dalam menentukan paradigma pembelajaran
Pendidikan Karakter di tanah air. Yang semestinya diperlukan adalah MENGAMALKAN
berubah menjadi yang dipentingkan adalah MENGETAHUI atau menghapal, tanpa
kemampuan untuk melakukan dan mempraktekkanya di lapangan.
Dapat dijumpai secara mudah di tanah air bahwa model pembelajaran Pendidikan Karakter atau
akhlak yang berjalan sekarang ini lebih mengutamakan ‘alih pengetahuan moral,
agama atau karakter’ (transfer of knowledge tentang moral, agama atau karakter). Dengan paradigma pembelajaran
seperti ini, maka yang ditekankan oleh
pendidik adalah penguasaan materi sesuai SAP yang tersedia dan daya serap anak didik atau memorisasi / hafalan lebih
dipentingkan. Praktik ini tergambar dengan jelas dalam model soal ujian atau
test yang dibuat oleh guru atau dosen.
Akibat langsung yang tidak dirasakan selama bertahun-tahun adalah bahwa
Pendidikan Karakter atau moral dan akhlak terlalu berorientasi pada
intelektualisme etis. Padahal model paradigma pembelajaran Pendidikan Karakter
(humanities) semestinya tidaklah seperti
pembelajaran sains (natural sciences) yang memang memerlukan ketajaman analisis
intelektual .
Model dan paradigma pembelajaran sains dan matematika
(Natural sciences) berbeda dari model dan paradigma pembelajaran
humanities. Yang diperlukan dalam
pembelajaran humanities, dalam hal ini
Pendidikan Karakter, adalah kemampuan guru, dosen, pendidik, pemimpin untuk “menyentuh dan menyapa keseluruhan dan
keutuhan pribadi anak didik. Keutuhan pribadi
manusia meliputi perasaan, rasio,
imajinasi, kreativitas dan memori. Dengan begitu, paradigma Pendidikan Karakter seharusnya lebih tajam
diarahkan pada KEHENDAK dan MOTIVASI,
dan bukannya intelektualitas. Oleh karena itu, yang perlu dikenal terlebih
dahulu oleh para pendidik adalah Struktur Kepribadian manusia. Sedangkan
Motivasi atau Kehendak sangat terkait dengan Hatinurani. Maka Pendidikan
Karakter adalah Pendidikan Hatinurani.
Sampai disini, penulis teringat ada sebuah hadis Nabi
(bagi penganut agama Islam) yang menyatakan bahwa “ala inna fi al-jasadi
mudghah, wa hiya qalbu” (Ketahuilah bahwasanya di dalam tubuh manusia ada
segumpal darah, yaitu hati). Hati atau qalbu disini bukanlah bentuk fisiknya, yaitu segumpal darah, melainkan adalah Mind Set atau seperangkat nilai-nilai
yang telah membentuk perilaku. Mind Set
inilah biasa disebut dengan filsafat hidup pribadi (Mabda’ al
hayah), yang telah mendarah mendaging. Dalam Mind Set atau Falsafah hidup
pribadi mempunyai berbagai potensi yang seluruhnya perlu disentuh dan
digerakkan, antara lain emosi, rasio, imajinasi, memori, kehendak, nafsu, dan
kecenderungan-kecenderungan. Seluruh potensi ruhani yang tertimbun dalam badan
fisik manusia akan tampak keluar ke
permukaaan dalam bentuk perilaku lahiriyyah, baik dalam bentuk ekspresi wajah
atau raut muka (senyum, sangar, cemberut, peduli, ramah), gerak-gerik (bhs Jawa
: solah bowo) mencurigakan, slintutan), tutur bicara ( bhs Jawa : muna muni)
seperti halus, kasar, galak, manis, tingkah laku (tegas, sopan, kasih
sayang) dan juga kelalaian (lupa, tidak
serius, tidak teliti).
Pengalaman menjalani dan melakukan nilai-nilai dalam
kehidupan
Oleh karena gambaran model dan pendidikan humanities,
lebih-lebih yang menyangkut Pendidikan Karakter, sangat berbeda dari paradigma
pengajaran dan pendidikan natural sciences, maka paradigma pendidikan, pembelajaran dan pembiasaannya pun tidaklah dapat bertumpu pada akal-intelek
semata, atau kemampuan menghafal rumus-rumus perbuatan yang baik, bahkan bukan
pula sekedar menghafal dan mengutip ayat-ayat kitab suci atau hadis (khususnya
untuk pendidikan agama), tetapi lebih ditekankan pada PENGALAMAN HIDUP (Living
Experience). Peserta didik dan lebih-lebih lagi guru, dosen, orang tua, para
pejabat dan pemimpin perlu berpengalaman, merasakan, mencoba terlebih
dahulu, mempraktikkan, melakukan dan
mengamalkan terlebih dahulu apa yang disebut dengan “rela berkorban”, “jujur”, ”tanggungjawab”,
“memaafkan”, ”compassion” (bela negara), “hormat kepada orang lain”, “hormat
kepada orang tua”, “hidup sederhana”, “kasih sayang”, “kerjasama”, “peduli”,
“toleran”. “Kebebasan”, “bahagia”, “harmoni”, “menghargai perbedaan”,
”kebhinekaan”, ”transparan”, ”pluralitas”,
“empati”, “simpati”, “dedikasi”, “perdamaian”. “persatuan”, “keadilan”,
”kesetaraan”, ”kesejahteraan” dan begitu seterusnya.
Pendidikan humanities yang antara lain meliputi
Pendidikan Karakter, pendidikan hati nurani, dan juga pendidikan nilai perlu
melibatkan secara utuh aspek perasaan,
imajinasi, ingatan-memori dan kreativitas. Pendidikan Karakter yang berkualitas
dan berhasil, dengan sendirinya akan akan dapat menggugah perasaan, merangsang
imajinasi, mengaktifkan ingatan dan menggerakkan kreativitas serta mendorong kehendak untuk berbuat. Salah satu
indikator keberhasilan dan kesuksesan Pendidikan Karakter jika pada ujungnya
dapat MEMOTIVASI peserta didik untuk
berbuat riiil dan nyata dalam bersikap, berperilaku, dan berbuat dalam alam
perbuatan dan amalan yang nyata. Sudah barang tentu contoh-contoh dan
kasus-kasus konkrit yang diambil dari PENGALAMAN HIDUP yang nyata akan mempermudah peserta didik tergerak,
meneladani, mengamalkan, mempraktikkan nilai-nilai dan Karakter baik (dan
menjauhi yang buruk) dalam kehidupan pribadi dan masyarakat
Salah satu indikator keberhasilan Pendidikan Karakter
bermula dari tumbuhnya kesediaan seseorang atau peserta didik untuk menghargai
nilai. Menghargai nilai mengandung arti bahwa seseorang atau anak didik telah
tersentuh hatinya dan dapat menyimpulkan bahwa nilai tersebut sebagai sesuatu
yang indah dan baik untuk diri pribadi dan masyarakatnya. Pribadi-pribadi
tersebut menyatakan dalam hati masing-masing
bahwa nilai-nilai baik tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan dirinya. Menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang “baik”. Nilai-nilai
yang baik, tanpa embel-embel syarat
apapun. Tanpa embel-embel syarat agama, ras, suku, etnis, kelamin, usia,
pendidikan, tingkat intelektualitas, literasi, difable dan begitu
seterusnya. Dengan demikian, ada
tahapan-tahapan yang perlu dilalui dalam Pendidikan Karakter, yaitu dari
tindakan dapat Menghargai nilai, kemudian meningkat ke Penerimaan nilai dengan
penuh kesadaran dan ketulusan, dan
akhirnya berujung pada Pengamalan dan penerapan nilai dalam kehidupan pribadi,
masyarakat, bangsa, negara bahkan sebagai warga dunia. Sampai disitu, maka nilai-nilai kebaikan tadi telah melekat,
tertanam kokoh dan terbiasa dalam sepak
terjang kehidupan anak didik, mahasiswa dan anggota masyarakat dimanapun dan
kapanpun dan dalam cuaca sosial, agama, politik, ekonomi yang bagaimanapun.
Pendidikan Karakter menuntut ketajaman dan kepekaan
Hatinurani. Hatinurani jauh lebih penting dari pada kepandaian intelektualitas
semata. Kecerdasan spiritualitas dan kecerdasan emosi memang sangat terkait
dengan kepekaaan hati nurani. Radius kepekaaan dan ketajaman daya jangkau radar
hati nurani memang sangat jauh ke dalam maupun keluar karena akan berpengaruh,
membimbing dan memandu Tata Pikir (kecerdasan Intelektualitas), Tutur Kata
(Kecerdasan Komunikasi), Sikap-sikap (Kecerdasan emosi), Tindak-tanduk
(Kecerdasan sosial). Akumulasi dari berbagai kecerdasan tersebut adalah
kecerdasan spiritual. Dengan demikian, Pendidikan Karakter terkait dengan
kecerdasan spiritual. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa kematangan
kecerdasan spiritual sangat terkait dan tergantung kepada bagaimana impact
keberhasilan pendidikan Karakter dilakukan oleh sebuah komunitas manusia.
Bahkan pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan juga akan mengalami
kegagalan jika tidak mampu membentuk Karakter yang baik, unggul dan kuat
(Character building) bagi pribadi dan masyarakat pendukungnya.
Tindak Lanjut dan Penutup
Diperlukan penyegaran sikap, komitmen seluruh warga
masyarakat dan pembaharuan metode dan pendekatan Pendidikan Karakter yang lebih
integratif-interkonektif-koordinatif. Multidimensionalitas Pendidikan Karakter
perlu dijadikan acuan untuk perbaikan dan penyempurnaan apa yang telah dilakukan selama ini.
Pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan
pendidikan Pancasila perlu dikaitkan dengan isu-isu baru yang lebih menyentuh
kebutuhan dasar manusia (Human development index) seperti kesehatan
(reproductive health), kesetaraan gender (gender equity), pemerintahan yang
baik (good governance), kesejahteraan ekonomi (enterpreneurship) dan rembug
bersama para pemimpin agama (faith-based
organization) tentang permasalahan sosial kebangsaan.
Diiperlukan upaya aksi nasional atau Rencana Aksi
Nasional (RAN) dari tingkat pusat, daerah, kota dan desa untuk mengupdate dan
merefresh pimpinan-pimpinan sosial keagamaan yang berpengaruh (Leaders of
influence) untuk duduk bersama-sama selama 2 – 3 minggu untuk memperoleh
data-data terbaru perihal human development yang comprehensif dan tukar
pikiran, pengalaman antar mereka, untuk mencari jalan keluar bersama dalam
menghadapi berbagai persoalan sosial, korupsi, kolusi, nepotisme, (narkoba,
fandalisme), ekologi (kerusakan lingkungan), disiplin lalu lintas, ekonomi,
pemberdayaan ekonomi dan seterusnya. Bangsa kita dapat belajar dari bangsa lain yang lebih berpengalaman dalam
gerakan aksi nasional yang konkrit, non sloganistik.
Disampaikan pada acara Sarasehan Nasional
Pendidikan Karakter
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional
Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010
0 komentar:
Posting Komentar