Peran kyai sebagai pemimpin agama tidak
bisa dianggap sederhana, dan atau diabaikan begitu saja. Setiap komunitas
membutuhkan pemimpin atau tokoh. Demikian pula dalam kehidupan beragama, selalu
membutuhkan pemimpin. Di Jawa khususnya, pemimpin agama itu disebut
kyai. Peran yang sama di tempat lain diberi sebutan berlain-lainan,
tetapi esensinya adalah sama. Misalnya di NTB, masyarakat menyebutnya Tuan
Guru, Di Jawa Barat peran itu disebut ajengan, dan tentu
sebutan-sebutan lainnya di tempat-tempat yang berbeda-beda.
Dalam sejarahnya kyai tidak saja melakukan
peran-peran pendidikan di pesantrennya, tetapi juga peran yang lebih
luas, yaitu menyangkut kehidupan sosial, ekonomi, dan bahkan juga
politik. Peran di bidang pendidikan sudah sedemikian jelas, kyai
membangun pesantren. Bemodalkan kekayaan sendiri, kyai mendirikan masjid,
pesantren, dan madrasah. Para kyai itu tidak ada yang
membayar atau gaji atau imbalan, bahkan sebaliknya, mereka menggaji
orang-orang yang diberi tugas untuk menyelesaikan pekerjaan di pesantren.
Para Kyai mampu melakukan peran itu
oleh karena, pada umumnya dulu mereka itu adalah orang kaya. Mereka
memiliki tanah yang luas, peternak, atau menjadi pedagang. Lihat saja
kyai-kyai besar di Jombang, Kediri, Blitar, Pasuruan, Probolinggo, Jember,
hingga Situbondo, dan di tempat-tempat lain yang tidak perlu disebut semuanya.
Kyai Hasyim Asy’ari, misalnya, adalah orang kaya. Begitu pula kita lihat Kyai
Syamsul Arifin Situbondo, dan lain-lain Pada umumnya kyai, selain
alim di bidang ilmu agama, juga seorang entrepreneur kaya, dan bahkan juga
berpengaruh di bidang politik
Harta kekayaan, bagi kyai,
dijadikan modal untuk mengembangkan dan mewariskan ilmunya. Kekayaan bagi kyai
bukan dijadikan sebagai kebanggaan, dan menaikkan harga diri dan keluarganya,
melainkan digunakan untuk modal atau bekal memperjuangkan
keyakinannya, dengan mendirikan pesantren, masjid, dan mengembangkan masyarakat
di sekitarnya. Oleh karena itu, para kyai ditokohkan dan dihormati, oleh
karena, mereka memiliki berbagai kelebihan, yaitu ilmu, dan juga jiwa sosialnya.
Zaman kemudian berubah secara terus
menerus tanpa henti, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
modern dan teknologi. Dulu, kyai memiliki sawah yang luas dan juga usaha lain
di bidang peternakan, perdagangan, dan lain-lain. Usaha itu mendatangkan
keuntungan ekonomi yang lebih dari sekedar yang dibutuhkan. Pada saat itu, para
tokoh agama berhasil memenangkan berbagai kompetisi di tengah masyarakat,
hingga posisinya dipandang unggul.
Namun pada akhir-akhir ini, dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, maka muncul industri atau
pabrik, perdagangan modern, jasa transportasi, komunikasi dan lain-lain,
sehingga rupanya tidak semua kyai mampu mengimbangi perubahan itu. Ekonomi para
kyai berupa pertanian, perdagangan, dan peternakan tradisional dikalahkan oleh
usaha-usaha yang bersifat modern. Ada saja kyai yang mampu mengikuti
perkebangan dan kemajuan itu, tetapi juga tidak sedikit di antara mereka yang
tertinggal. Akhirnya, kekuatan kyai dan apalagi sesudah mereka tergantikan
oleh generasi berikutnya menjadi kalah bersaing dengan kekuatan baru
lainnya.
Tuntutan terhadap peran kyai, apapun
kondisinya, tetap diharapkan oleh masyarakat. Sebab, sebagaimana
disebutkan di muka bahwa setiap komunitas selalu merlukan pemimpin dan atau
keberadaan orang-orang yang ditokohkan. Relevan dengan persoalan ini,
beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi informal dengan salah seorang kyai
yang saya anggap mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan
perkembangan masyarakat. Kyai dimaksud memiliki pondok pesantren
lumayan besar dan memiliki usaha-usaha ekonomi sebagaimana kyai dahulu, untuk
menghidupi lembaga pendidikannya.
Kyai yang saya ceritakan ini tidak
memungut biaya pendidikan kepada semua santrinya. Semua santri yang belajar di
pondok pesantrennya digratiskan. Akan tetapi, para santri di luar jam mengaji,
ditugasi untuk bekerja di berbagai jenis usahanya. Tokoh agama ini memiliki
berbagai usaha di bidang perdagangan, --------membuka restoran di berbagai
kota, usaha pertanian modern, perikanan, dan lain-lain. Hasil usahanya itu
digunakan untuk membiayai kehidupan pesantrennya. Mereka yang belajar di
pesantren itu, sekaligus juga belajar kewirausahaan atau entrepreneurship.
Kyai dimaksud saya anggap
memiliki pandangan yang menarik dan akan selalu relevan di masa depan
terkait dengan peran kyai. Di antara pandangannya itu bahwa kyai harus memiliki
kemandirian dan kedaulatan dalam berbagai hal, baik di bidang ekonomi, sosial,
dan juga politik. Atas dasar kedaulatan pribadinya itu, maka kyai semestinya
(1) harus mampu mandiri, artinya tidak tergantung kepada
siapapun, termasuk kepada pemerintah, (2) harus mampu menggerakkan dan
membimbing masyarakat di sekitarnya, dan (3) keberadaan kyai harus mampu memberi
sumbangan kepada pemerintah. Terkait dengan hal terakhir, menurut dia, kyai
juga harus mampu membayar pajak dalam jumlah besar. Artinya, kyai harus
memiliki usaha-usaha ekonomi yang handal.
Dalam diskusi itu, kyai juga mengkritik
tajam kebijakan pemerintah, di antaranya berupa selalu import dalam
berbagai jenis komuditas. Dikatakan oleh kyai bahwa inport apa saja
sebenarnya adalah merupakan penjajahan baru yang tidak disadari oleh para
pemimpinnya sendiri. Dengan kebijakan inport, maka bangsa ini akan
menjadi bangsa pembeli, rakyat menjadi malas, dan akhirnya tidak akan memiliki
karya atau prestasi apa-apa. Keadaan seperti itu akan menyengsarakan
rakyat hingga kapan pun. Rakyat tidak akan memiliki kedaulatan di negerinya
sendiri.
Akibat lain dari kebijakan inport, masih
menurut pendapat kyai, bangsa ini akan menjadi bermental buruh dengan gaji yang
selalu ditentukan oleh pemilik usaha atau pabrik. Kenaikan BBM juga tidak luput
dari kritik kyai ini, misalnya tatkala sudah tahu, bahwa sumber-sumber
minyak di negeri ini akan segera habis, mengapa tidak segera membangun kembali
kilang minyak, dan membangun pabrik pengolahannya, sehingga bangsa
ini tidak menjual minyak mentah dan kemudian membeli kembali dengan harga
mahal.
Kyai yang memiliki kegiatan sosial dan
ekonomi seperti itu, tidak berarti bahwa aktifitasnya mengaji di hadapan satri,
dan juga kegiatan ritual lain bersama-sama masyarakat seperti dzikir bersama,
tahlil rutin, istighatsah, dan lain-lain ditinggalkan. Kegiatan semacam itu
masih tetap menjadi bagian hidupnya. Maka akhirnya, saya berpikir, kyai
seperti ini yang dibutuhkan oleh umat, dan tidak akan kehilangan relevansinya
dalam kehidupan masyarakat modern hingga kapan saja. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar