Kiranya semua orang yang beragama menghendaki agar
keberagamaannya mencapai derajad sempurna. Sebab dengan kesemupurnaan itu, mereka telah
menjalani hidup secara benar. Namun ternyata kesempurnaan itu tidak mudah didapat,
atau bahkan tidak akan mungkin diraih. Oleh karena semua orang, pada hakekatnya
adalah sebatas berada pada proses menuju
kesempurnaan itu.
Bagi orang yang memahami bahwa keberagamaan setiap orang
selalu berada pada proses menuju kesempurnaan itu, maka
tidak ada orang yang berani mengklaim
bahwa dirinya telah mencapai derajad
sempurna. Mereka akan mengakui bahwa satu-satunya orang yang sempurna dalam
menjalankan agama hanyalah rasulullah, yaitu Muhammad saw. Selainnya selalu
memiliki kekurangan, atau berada pada
keadaan tidak sempurna.
Keberagamaan rupanya memang bertingkat-tingkat, baik terkait
dengan pengetahuan tentang agama itu sendiri, tingkat keyakinan yang dimiliki,
ritual yang dilakukan, jiwa keberagamaan yang berhasil dikembangkan, aspek sosial yang dijalankan, kesediaan berkorban
untuk kemanusiaan dan lain-lain.
Terkait dengan pengetahuan seseorang terhadap agamanya,
yaitu setidaknya pengetahuan tentang kitab suci dan sejarah kehidupan Rasulnya,
pada kenyataan empirik, antar orang,
kelompok dan atau antar generasi yang berbeda-beda selalu berjenjang atau
bertingkat-tingkat. Seseorang misalnya, pengetahuannya tentang kitab suci al Qur’an begitu mendalam,
sedangkan lainnya biasa-biasa dan mungkin
kebanyakan orang hanya sampai mampu
membaca, atau bahkan tidak mengenal sama sekali.
Maka artinya, dalam aspek pengetahuan tentang kitab suci dan
sejarah hidup nabi juga berjenjang, atau
berbeda-beda antara orang, kelompok, atau bahkan dari generasi ke
genarasi. Di antara mereka yang
berbeda-beda itu tidak selayaknya saling
merendahkan, dan apalagi bermusuhan. Mereka yang memiliki pengetahuan lebih,
-------dalam beragama, harus memberikan kepada mereka yang berkekurangan.
Itulah pentingnya pendidikan dan atau dakwah.
Demikian pula terkait dengan
keyakinan, atau lebih mudah disebut dengan keimanan. Masing-masing orang memiliki kadar
keimanan yang berbeda-beda. Keimanan
bisa menguat, sedang dan melemah. Tingkat keimanan seseorang juga tidak ada yang
mengetahui. Selain itu, siapapun juga
tidak akan mampu atau bisa mengklaim bahwa dirinya lebih beriman dari lainnya.
Keimanan ada dalam hati setiap orang, sehingga tidak mudah dipahami, baik oleh
dirinya sendiri dan apalagi oleh orang lain.
Perbedaan antar masing-masing orang juga terkait dengan kegiatan ritual
keagamaan. Sementara orang sedemikian disiplin dalam menjalankan ritual
keagamaan. Misalnya tampak dalam kehidupan sehari-hari, sementara orang senantiasa berdzikir, shalat berjama’ah lima waktu di
masjid, membaca al Qur’an secara
istiqamah, menjalankan puasa wajib dan bahkan juga puasa sunnah, selalu
mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah, menjalankan haji dan kegiatan ritual
lainnya.
Akan tetapi, juga ada saja orang yang menjalankan kegiatan
ritual hanya pada waktu-waktu tertentu,
memilih jenis tertentu, dan tidak
istiqomah. Misalnya, menjalankan shalat
wajib, tetapi selalu dilakukan sendirian di rumah, berpuasa tetapi tidak
sempurna, membayar zakat, infaq dan shadaqoh tetapi hanya sebatas mengikuti
orang-orang di sekitar lingkungannya,
bahkan rajin tetapi dilakukan dengan kurang ikhlas. Bahkan, ada yang
lebih rendah tingkatannya dari itu, yaitu mereka menjalankan shalat hanya pada
waktu-waktu tertentu, misalnya hanya pada shalat hari raya. Namun demikian,
mereka mengaku sebagai penganut Islam.
Aneka ragam atau bermacam-macam jenjang keberagamaan seperti
itu terjadi di mana-mana, pada setiap waktu,
dan juga terjadi di sepanjang zaman. Umpama dibuat semacam garis, maka
masing-masing orang sebenarnya ada saja yang menempati ujung yang paling
sempurna hingga titik yang paling rendah. Akan
tetapi seberapapun kadar yang dijalankan, mereka mengaku bahwa dirinya telah masuk Islam dan
mengaku sebagai orang yang beriman.
Kualitas keberagamaan masing-masing orang, ternyata
di mana saja dan kapan saja, adalah bertingkat-tingkat mulai dari yang
paling berkualitas hingga sampai pada mereka yang hanya mengenal atau bahkan
hanya pada tingkat mendapatkan kabar tentang Islam. Mereka yang disebutkan
terakhir, tidak pernah mengetahui tentang Islam, dan juga tidak menjalankan ritual,
dan bahkan juga tidak mengenakan identitas keber-Islamannya. Namun demikian,
jika ditanya mereka akan menjawab sebagai penganut Islam. Di Jawa atau mungkin
juga di tempat lain, dikenal dengan sebutan Islam KTP, artinya keberagamaannya hanya sebatas tercatat dalam
kartu penduduk.
Sekalipun tingkat kualitas keberagamaan tersebut berbeda-beda, tetapi tidak ada seorangpun
yang mengetahui secara persis, siapa sebenarnya yang paling berkualitas.
Mungkin saja seorang dikatakan, bahwa
keberagamaannya sudah sangat mendalam sedangkan lainnya dikatakan dangkal. Akan
tetapi sebenarnya, penilaian itu tidak mutlak benarnya. Kualitas keberagamaan,
apalagi yang menyangkut keimanan, keikhlasan, tawakkal, dan lain-lain akan
sulit untuk dideteksi.
Keimanan dan atau keikhlasan seseorang tidak akan bisa
dilihat dari bentuk baju yang selalu dikenakan, kendaraan yang dimiliki,
lamanya waktu yang digunakan untuk shalat, panjangnya bacaan dalam berdzikir,
shalat dan seterusnya. Tingkat
kesempurnaan seseorang dalam beragama hanya diketahui oleh Allah sendiri.
Keberagamaan seseorang tidak cukup diukur dari jawaban atas pertanyaan
sebagaimana dalam ujian seklolah.
Dalam masyarakat seringkali ditemukan perdebatan panjang
tentang paham keagamaan yang diyakini. Sekalipun masing-masing mengaku berada
pada pihak yang paling benar, namun klaim kebenaran itu tidak pernah berhasil
diketahui secara pasti. Kebenaran mutlak dalam beragama selalu dikembalikan
pada Dzat yang memiliki otoritas, yaitu Allah swt.
Dari perenungan
terhadap keberagamaan yang sedemikian variatif dan bahkan bersifat
subyektif tersebut, maka kiranya tidak perlu masing-masing orang mengaku bahwa
dirinya berada pada posisi yang paling benar dan kemudian menyalahkan pihak
lain. Tugas sebagai pemeluk agama tidak menilai atau mengoreksi keberagamaan
orang lain, melainkan masing-masing diri dituntut untuk saling berwasiat dengan
sesama tentang kebenaran dan kesabaran,
serta selalu berusaha meraih tingkat
yang terbaik. Sedangkan yang tahu, tentang siapa yang paling sempurna
keberagamaan seseorang, hanya Allah swt. sendiri. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar