Perbincangan mengenai gender akhir-akhir ini semakin
menarik berbagai kalangan tidak terkecuali bagi perguruan tinggi Islam.
Bahkan, perhatian terhadap persoalan gender ini seolah-olah menjadi
tolok ukur tingkat kemajuan atau kemodern-an sebuah komunitas. Artinya,
sebuah komunitas dikatakan maju atau modern jika memiliki perhatian atau
kepedulian terhadap gender, dan sebaliknya. Oleh sebab itu, agar
tidak disebut kuno dan ketinggalan zaman, maka arus ini harus
disambut sebaik mungkin. Hanya saja, mungkin yang masih perlu dipertimbangan
khususnya bagi kalangan perguruan tinggi Islam, ialah bahwa persoalan
gender atau persoalan hubungan laki-laki dan perempuan, semestinya selain
dikaji dari sisi empirik baik dari perspektif sosiologis, antropologis,
psikologis, sejarah atau lainnya, yang tidak kurang pentingnya adalah
mengkaji dari sisi doktrin baik yang bersumber al Qur^an dan hadits dan
pandangan ulama^ terdahulu.
Isu gender sesungguhnya sudah cukup tua. Plato
yang hidup kurang lebih 300 tahun sebelum masehi, sudah berbicara tentang
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Yang digunakan sebagai dasar pijakan
perbincangan, dari dulu hingga saat ini masih sama, yaitu menuntut agar
dibangun kesetaraan dan keadilan. Berbagai pihak memandang atau paling
tidak merasakan bahwa selama ini masih terdapat ketidak-setaraan dan
ketidak-adilan di berbagai lapisan. Bahkan di antara orang yang
paling dekat-pun, yaitu antara laki-laki dan perempuan masih terjadi. Perempuan
dalam banyak kasus masih diposisikan pada wilayah yang kurang teruntungkan.
Mereka (perempuan) banyak yang ditinggalkan, kurang diberi hak dan wewenang
yang cukup dan bahkan (kadangkala) dilecehkan. Kondisi seperti itulah, kiranya
yang ingin diperjuangkan selama ini.
Keadilan dalam kehidupan bermasyarakat adalah
hakiki, sentral, mutlak, dan harus selalu diperjuangkan. Tetapi pada
kenyataannya, betapa susahnya memperoleh rasa keadilan itu, dan sebaliknya
betapa mudahnya kita dapat menyaksikan dan merasakan yang bernama ketidakadilan
itu. Kita selalu hidup dalam suasana ketidak-adilan. Ketidakadilan
terjadi di mana saja. Ketidak-adilan itu tidak saja bersumber dari adanya
perbedaan status antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga terhadap berbagai
kategori dalam berbagai komunitas lainnya. Kita saksikan misalnya,
ketidak-adilan itu antara yang terdidik dengan yang tak terdidik, antara yang
lemah dengan yang kuat, antara buruh dan majikan, antara yang berpunya dengan
yang tak berpunya, antara yang berkuasa dengan yang tak berkuasa, dan masih
banyak lagi lainnya. Kategori-kategori seperti ini melahirkan
pembagian yang dirasakan tak seimbang dan melahirkan rasa ketidakadilan itu.
Nafsu untuk menguasai, memperoleh nilai lebih,
mengalahkan dan lain-lain sejenisnya, semua itu adalah merupakan
beberapa faktor internal pribadi yang selalu tumbuh dan berkembang dalam setiap
kehidupan pribadi seseorang tanpa mengenal status dan peran yang disandang.
Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang ingin memperoleh sesuatu
yang bersifat lebih dan resiko yang kecil. Siapa saja yang kuat, bernafsu
menguasai dan mengalahkan dan bahkan akan menghisap mereka yang lemah.Yang
lemah biasanya semakin lemah, sebab mereka justru harus memberikan apa yang
dimiliki kepada pihak-pihak yang kuat. Fenomena kehidupan seperti itu
ternyata terjadi dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Penjajahan,
perbudakan, kuasa menguasai dan pengaruh mempengaruhi selalu terjadi dan ada
pada setiap sejarah kehidupan. Hanya bentuknya saja penghisapan dan kuasa
menguasai itu yang beraneka ragam, ada yang tampak dan yang tersembunyi.
Terkait dengan persoalan gender, jika mengikuti
alur logika di muka, pihak-pihak yang tertindas dan merasa diberlakukan tidak
adil, pada saat ini, tidak selalu diderita oleh pihak-pihak perempuan
melainkan juga terjadi pada pihak laki-laki. Pihak perempuan diperlakukan tidak
setara dan kemudian tidak adil bukan semata-mata karena status keperempuannya,
melainkan yang justru lebih dominan, menurut hemat saya, adalah oleh karena
mereka sudah diberi citra “lemah” baik secara biologis, sosiologis, psikologis
dan bahkan pilitis. Inilah yang menurut hemat saya awal dari bias gender yang
mesti kita luruskan. Berbeda dengan hal itu, dalam realita, tidak sedikit
saya menemukan kasus, laki-laki atau suami justru diperlakukan tidak adil oleh
isterinya. Seorang suami karena posisinya terkalahkan oleh sang isteri,
ia harus menanggung beban fisik dan psikis sekaligus.
Fenomena seperti disebutkan di muka, jumlahnya
semakin banyak. Laki-laki yang mengalami nasip seperti ini lantaran ia
memiliki kelemahan dan atau kekuarangan di hadapan isterinya. Ungkapan
ini, saya anggap penting, untuk mengingatkan bahwa ketidak-adilan
bukan semata-mata hanya menimpa seseorang berjenis kelamin tertentu, melainkan
yang lebih penting adalah karena adanya kekuatan yang tak seimbang dan
suasana adanya tingkat rasa kasih sayang yang lemah. Rasa kasih sayang
sengaja saya pertegas untuk menunjukkan betapa pentingnya sikap itu ditumbuhkan
dalam upaya membangun rasa keadilan itu. Dalam suasana
ketidak-setaraan masih mungkin dibangun rasa keadilan jika di sana tumbuh
kasih sayang itu. Sekedar contoh bahwa, anak kecil yang lemah seringkali justru
dapat menguasai ayahnya yang perkasa, oleh karena di sana masih terdapat
suasana kasih-sayang itu.
Berangkat dari pikiran sederhana ini, saya
ingin mengatakan bahwa dalam upaya meningkatkan emansipasi dan peran wanita,
tidak perlu menghadap-hadapkan antara laki-laki dan perempuan secara dikotomis,
tetapi yang justru lebih penting adalah bagaimana memperkukuh pihak-pihak
yang lemah hingga akhirnya terjadi kesetaraan itu. Kaum perempuan yang
tertindas, terabaikan hak-haknya, terkuasai, menurut hemat saya bukan oleh
karena status keperempuannya, melainkan lebih banyak disebabkan oleh
kelemahan-kelemahan yang disandang, misalnya dari aspek pendidikan,
ekonomi, social dan lainnya. Oleh karena itu pemberdayaan perempuan tidak
bisa lain adalah seharusnya dilakukan lewat program-program yang berujung
pada upaya memperkukuh perempuan dari berbagai aspeknya itu.
Dalam masyarakat demokratis seperti sekarang
ini, gender equality tidak cukup hanya dimaknai sebagai
diperolehnya hak yang sama antara laki-laki dan perempuan tetapi juga bagaimana
perempuan bisa mengembangkan diri dan kemampuannya sampai tingkat
maksimal, tanpa harus kehilangan jati diri dan harkatnya sebagai perempuan.
Sebab, apalah artinya persamaan hak tersebut jika toh tidak bisa mengangkat
citra perempuan itu sendiri. Dalam perspektif konvensional gender
equality tampaknya memang sekedar perolehan hak yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Maka ke depan, dalam membangunan sebuah bangsa,
perempuan seharusnya tidak boleh dipandang dan diposisikan dalam
peran-peran pinggiran, tetapi harus diletakkan pada posisi
strategis dan mulia, apalagi di lingkungan keluarga.
Namun terakhir, masih ada pertanyaan kecil yang
perlu dipikirkan jawabnya, ialah jika kita selalu menuntut
kesetaraan, maka sesungguhnya kesetaraan seperti apa yang seharusnya
dibangun dalam kehidupan ini. Apakah dengan kesetaraan yang
kita makudkan itu ada jaminan kehidupan ini lebih membahagiakan semua
pihak. Dalam banyak hal laki-laki dan perempuan memang sama. Dalam kitab suci
Al Qur^an dinyatakan bahwa “Siapa saja yang beriman dan beramal sholeh,
laki-laki atau pun perempuan Kami akan memberikan kehidupan yang layak”.
Persoalan lain yang muncul kemudian adalah bahwa dalam kehidupan ini
secara fisik dan psikis ada yang berada pada posisi lebih dari yang lain.
Dan, selain itu, terdapat pula beberapa ayat al Qur^an maupun hadits nabi yang
dapat memberi petunjuk tentang ketidak-setaraan itu. Menghadapi persoalan
yang cukup pelik ini, selain harus dikaji dengan saksama, mendalam, dan
tanpa henti, maka yang diperlukan pula adalah selalu berdo^a,
semoga kita semua diberi petunjuk pada jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang telah diberi nikmat, dan bukan jalannya
orang-orang yang sesat. Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar