Banyak pengamat
mengeluhkan tentang posisi umat Islam selama ini. Disebutkan bahwa banyak negara-negara Islam masih tertinggal dibanding negara
lainnya, misalnya dari aspek jumlah
pengangguran, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tingkat
ekonomi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengelolaan lingkungan, dan
lain-lain.
Para pengamat itu
melihat di berbagai negara, ada
jarak yang sedemikian jauh antara Islam yang
dipahami dari al Qur’an dan hadits dan keadaan umat Islam itu sendiri.
Kalau akhir-akhir ini terdapat beberapa negara Islam yang mengalami kemajuan,
seperti misalnya Adu dhabi, Dubai, Kuwait, dan beberapa sedikit lainnya,
sebenarnya adalah sebatas tampak pada aspek fisik sebagai dampak dari kekayaan alamnya. Sementara pendesainnya adalah bukan mereka
sendiri. Negara-negara Islam itu belum
memiliki tenaga ahli, pusat-pusat riset, dan juga pendidikan yang dipandang
unggul.
Keluhan semacam itu juga dirasakan oleh seseorang yang
kebetulan datang ke rumah saya. Ia mengatakan bahwa pada setiap pergi ke
beberapa negara Islam dan kemudian membandingkannya dengan negara non muslim,
selalu merasa sedih. Ajaran Islam yang
mengatakan bahwa umat Islam adalah sebaik-baik ummat, ternyata belum berhasil dilihat pada tataran
kenyataan. Umat Islam masih tertinggal dan bahkan masih harus belajar ke
negara-negara yang bukan beridentitas muslim. Pertanyaan yang selalu ia
rasakan adalah, apa yang salah dari
keadaan ini.
Oleh karena pertanyaan itu diajukan hanya dalam forum
diskusi antar pribadi, dan apalagi dalam keadaan santai di rumah, maka untuk
memperoleh jawabannya, tamu dimaksud
saya ajak untuk mencari bersama-sama dalam waktu yang agak panjang. Ia
saya ajak untuk mengamati sendiri keadaan di Indonesia terkait dengan Islam.
Sekalipun Indonesia mayoritas berpenduduk muslim, tetapi masih masuk kategori sebagai negara
berkembang, dan belum masuk negara maju. Di negeri ini masih banyak
pengangguran, kemiskinan, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang masih rendah,
dan bahkan tingkat korupsi masih terlalu tinggi.
Diskusi tersebut agak berkepanjangan. Akan tetapi, pada
akhirnya, ia saya ajak untuk melihat tentang
bagaimana Islam diimplementasikan
di Indonesia. Orang memahami dan menjalankan Islam di Indonesia lebih pada aspek ritualnya. Mungkin gambaran
itu juga terjadi di semua negara-negara Islam di dunia. Sehingga,
manakala tolok ukur penilaian
terhadap umat Islam itu sebatas dari jumlah masjid, jama’ah haji, jumlah orang
yang menjalankan shalat lima waktu, sholat Jum’at, dan apalagi sholat Id, maka kemajuan itu
sudah pada tingkat luar biasa.
Sementara itu, tolok ukur yang digunakan oleh orang lain
pada umumnya untuk melihat kemajuan
masyarakat bukan sebatas dari aspek ritual. Mereka melihat kemajuan masyarakat
dari aspek yang lebih luas, yaitu dari
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kualitas sumber daya manusia,
tatanan sosial yang berkeadilan,
dan tingkat berbagai pelayanan
sosial, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Manakala
ukuran-ukuran itu yang digunakan untuk
melihat tingkat kemajuan negara-negara muslim, tentu masih tertinggal.
Diskusi santai tersebut hingga sampai pada pertanyaan, apakah benar bahwa
ajaran Islam yang diimplementasikan di
Indonesia hanya sebatas menyangkut
kegiatan ritual sebagaimana dikemukakan di muka. Untuk menjawab pertanyaan
itu, maka ia saya ajak untuk melihat sendiri kenyataan
yang ada dalam kehidupan sehari-hari tentang apa yang disebut agama.
Di Indonesia ini ada kementerian yang khusus mengurus agama.
Birokrasi keagamaan itu berjenjang,
mulai dari tingkat pusat hingga tingkat pedesaan. Para pejabat itu
mengurus tentang pelayanan haji, pendirian tempat ibadah dan penggunaannya,
hal-hal terkait dengan pernikahan, pelayanan keagamaan, penerangan dan pendidikan keagamaan, dan mengurus hal yang terkait kerukunan antar
umat beragama.
Selain itu, ia juga
saya ajak untuk melihat tentang lingkup ajaran Islam yang diajarkan di lembaga
pendidikan Islam, baik di pondok pesantren, di sekolah-sekolah umum, dan bahkan
juga sampai di tingkat perguruan tinggi agama Islam. Lembaga pendidikan Islam
itu mengajarkan tentang fiqh, aqidah, akhlak dan tasawwuf,
tarekk, dan Bahasa Arab. Sebutan ilmu ke-Islaman di perguruan tinggi juga
sebatas meliputi syari’ah, ushuluddin, dakwah, tarbiyah, dan adab.
Dari kenyataan itu semua, maka diskusi kecil dimaksud sampai
pada kesimpulan bahwa, memang ternyata belum tampak, bahwa Islam dikaji secara
utuh, luas dan serius. Umpama, Islam tidak saja dipandang sebagai ajaran yang
terkait dengan kegiatan ritual, melainkan
juga dari aspek lain yang lebih luas, yaitu misalnya Islam dipandang
sebagai ajaran yang selalu mendorong umatnya agar mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya
manusia yang berkualitas, keadilan, dan pelayanan profesional atau amal shaleh,
------selain terkait ritual sendiri,
maka umatnya akan maju dan menjadi yang
terbaik dibanding umat lainnya. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar