Kepemimpinan Kreatif



Seorang disebut kreatif manakala memiliki banyak ide, pendapat, prakarsa, dan sejenisnya. Orang kreatif biasanya juga cerdas. Sebaliknya,orang yang tidak kreatif biasanya juga lamban dan hanya mengikuti kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan. Orang yang tidak kreatif, tatkala mau melangkah, selalu mencari pedoman, aturan, dan juga undang-undangnya.


Salah satu syarat agar komunitas maju adalah harus memiliki pemimpin yang kreatif. Seorang disebut kreatif manakala memiliki banyak ide, pendapat, prakarsa, dan sejenisnya. Orang kreatif biasanya juga cerdas. Sebaliknya,orang yang tidak kreatif biasanya juga lamban dan hanya mengikuti kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan. Orang yang tidak kreatif, tatkala mau melangkah, selalu mencari pedoman, aturan, dan juga undang-undangnya.

Perguruan tinggi mengantarkan mahasiswa dan dosen-dosennya agar mengembangkan kreativitas seluas-luasnya. Mahasiswa dikatakan lulus manakala dilihat sehari-hari lewat karya dan penampilannya telah memiliki kreativitas yang tinggi. Begitu pula para dosennya, mereka dinaikkan pangkat manakala telah memiliki karya ilmiah dari hasil kreativitasnya. Para dosen yang  berhasil membuat karya-karya ilmiah sejumlah tertentu, maka dikukuhkan sebagai guru besar. Karena itu, guru besar mestinya adalah seorang yang memiliki kreativitas tinggi.

Untuk menumbuhkan jiwa kreatif itu, maka komunitas perguruan tinggi harus selalu berada pada suasana bebas, terbuka, dan berani.  Siapa pun, manakala tidak berada pada suasana seperti  itu, maka kreativitasnya tidak akan muncul. Seorang penakut tidak akan mampu melahirkan ide-ide baru. Begitu pula orang yang tertutup dan merasa dirinya terikat oleh berbagai hal, maka idenya tidak akan lahir. Orang yang merasa tidak bebas, terikat atau terbelenggu tidak akan menghasilkan karya-karya kreatif yang seharusnya dihasilkan.

Orang perguruan tinggi harus dibedakan dari para birokrat, tentara atau polisi tingkat menengah ke bawah, apalagi para security di berbagai tempat.  Dosen harus dibedakan dari pegawai kantor pemerintah atau yang serupa dengan itu. Pegawai kantor atau birokrat yang dipentingkan adalah loyalitasnya. Semakin  loyal, pegawai kantor dan tentara kelas menengah ke bawah dianggap semakin baik.  Ketaatannya pada aturan harus dinomorsatukan. Pegawai kantor dan tentara tidak boleh membantah, lebih-lebih pada atasan. Seorang tentara, manakala sudah diperintah untuk menembak, misalnya, maka perintah itu harus dijalankan.

Lain halnya para ilmuwan. Seorang yang sehari-hari bekerja dengan nalarnya itu, maka tidak bisa digerakkan dengan cara komando. Apa saja yang diperintahkan harus didasari pada logika yang kokoh, bukti-bukti yang kuat,  hingga perintah itu dianggap masuk akal. Orang di perguruan tinggi tidak mudah diharapkan untuk bersikap sami’na wa atha’na, atau kami mendengar dan kami segera mentaati. Karena itu, di perguruan tinggi, selalu ada diskusi, dialog, seminar, dan lain-lain. Cara itu kadang  berisiko, yaitu  bahwa dalam penyelesaian persoalan menjadi lama, karena harus berdiskusi dan berembuk. Namun itulah ciri khas orang kreatif dan yang  seharusnya ditumbuhkembangkan oleh perguruan tinggi.

Budaya perguruan tinggi seperti itu yang bebas, berani, dan terbuka  tidak akan tumbuh manakala mereka dihadapkan pada peraturan, ketentuan, atau undang-undang yang membelenggu. Memang peraturan dan undang-undang masih tetap diperlukan tetapi tidak harus terlalu bersifat detail atau rinci dan mengikat. Komunitas perguruan tinggi justru tidak memerlukan ikatan, melainkan iklim kebebasan, keterbukaan dan keberanian. Peraturan atau undang-undang dibuat agar terjadi ketertiban, sementara perguruan tinggi harus menghasilkan hal baru, pandangan baru, dan bahkan ciptaan baru.  Sesuatu  yang baru selalu menyebabkan ketertiban terganggu, namun manakala dilarang, maka institusi  dimaksud akan kehilangan ruh yang  seharusnya ditumbuh-kembangkan.           

Akhir-akhir ini, perguruan tinggi  menghadapi problem  yang mendasar, yaitu suasana keterikatan. Sekedar penerimaan mahasiswa baru saja diatur oleh pemerintah. Membuka program studi,  menaikkan pangkat para dosennya, dan bahkan meluluskan saja harus diatur oleh pemerintah pusat.  Kebijakan seperti itu menjadikan seolah-olah di dalam kampus sudah tidak ada lagi orang kreatif. Padahal perguruan tinggi sebenarnya adalah merupakan rumah atau tempat berkumpulnya orang-orang kreatif yang seharusnya tidak terlalu diatur, agar dengan cara itu daya kreativitasnya menjadi tumbuh dan berkembang.

Masyarakat kreatif tentu harus dipimpin oleh orang kreatif. Pemimpin perguruan tinggi tidak boleh hanya mendasarkan pada petunjuk, peraturan, dan sejenisnya. Jika demikian maka apa bedanya, pimpinan perguruan tinggi dengan  seorang lurah, camat atau tentara atau polisi tingkat menengah ke bawah. Pimpinan perguruan tinggi, oleh karena dipersyaratkan  bergelar doktor dan bahkan profesor, maka harus diberlakukan sama  dengan seorang jendral. Profesor doktor sebagai rektor atau pimpinan perguruan tinggi harus diberikan ruang seluas-luasnya untuk berkreasi. Namun sayangnya, akhir-akhir ini ruang gerak itu seolah-olah ditutup rapat. Saya merasa kasihan, ada seorang ketua sekolah tinggi diadili dan ditahan di penjara, karena hanya membuka program studi baru. Jika itu dibenarkan, maka bangsa ini akan kehilangan hartanya yang amat berharga, yaitu institusi yang bertugas menumbuhkembangkan kreativitas.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar