Mengambil Tauladan dari Kepemimpinan Rasulullah




Pada  peringatan  Maulud Nabi  seperti sekarang ini, kiranya banyak hal yang perlu diambil pelajaran, terutama oleh  para pemimpin bangsa ini.  Nabi Muhammad adalah sosok  pemimpin yang sukses.  Beliau telah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang hidup secara damai, aman, dan sejahtera.  Tentu, kapan dan di mana pun, bukan pekerjaan  mudah untuk melakukan perubahan masyarakat dalam waktu yang singkat  namun  sedemikian mendasar itu.

Perjuangan nabi  dibagi menjadi dua fase, yaitu fase di Makkah dan kemudian dilanjutkan di Madinah. Setelah kurang lebih 13 tahun di Makkah dan dihitung hasilnya kurang maksimal, maka nabi mengambil kebijakan strategis, yaitu hijrah ke Madinah. Perpindahan itu bukan pekerjaan mudah. Apalagi antara  Makkah dan Madinah cukup jauh jaraknya. Sekarang saja, dengan kendaraan bus atau taksi harus ditempuh selama antara 5 hingga 6 jam. Tentu kepindahan itu sangat berat sekali, tatkala belum ada kendaraan seperti sekarang ini.

Akan tetapi, pemimpin harus berani mengambil keputusan, apapun beratnya. Dalam perjuangan,  tatkala di suatu tempat sudah tidak mendapatkan hasil maksimal, dihitung-hitung tantangan menjadi semakin berat, maka beliau mempelopori untuk berpindah, meninggalkan tanah kelahirannya, yaitu di Makkah. Nabi melawan naluri kemanusiaan, sekalipun tempat kelahirannya,  dan begitu pula Ka’bah, Minna, dan Arafah sebagai pusat kegiatan ritual berada di sekitar Makkah, beliau hijrah ke Madinah.

Memperhatikan  peristiwa hijrah dan dikaitkan dengan persoalan terkini di Ibu Kota,  yaitu tatkala penduduk Jakarta sudah sedemikian padat, sehari-hari macet, dan apalagi banjir, belum lagi polusi,  dan lain-lain, mestinya para pemimpin negara ini  juga berani mengambil keputusan, sebagaimana dilakukan  oleh Rasulullah tersebut yaitu berpindah.  Ibu kota   negara yang selama ini di Jakarta dipindah ke kota lain misalnya, di Kalimantan, Sulawesi, atau lainnya yang sekiranya memungkinkan dan  dianggap lebih aman.

Memindah ibu kota memang sulit dan beresiko. Tetapi resiko dan kesulitan berpindah itu juga telah dialami oleh sang pemimpin 14 abad yang lalu. Mestinya ketika  sehari-hari telah merasa sedemikian beratnya hidup di Jakarta,  para pemimpin bangsa ini segera mengambil keputusan, yaitu  kapan dan tahap-tahapnya dalam melakukan kepindahan itu. Semakin cepat semakin baik. Kelambatan dalam  mengambil keputusan akan  berakibat  biaya dan resiko   semakin  mahal dan berat. Banyak orang akan berspekulasi, masing-masing akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Selain tauladan tentang  keberanian  menanggung resiko,  dari  proses berhijrah saja,  tidak sedikit  nilai-nilai  yang seharusnya  diambil oleh  para  pemimpin dan pejabat. Ada kisah menarik di dalam  perjalanan Nabi bersama-sama sahabat, dari Makkah ke Madinah,  tatkala  mengalami kehabisan  bekal. Ketika itu, beberapa sahabat kehausan yang serius, sementara di kanan kiri jalan tidak terdapat air.  Kebetulan tidak jauh dari tempat yang dilewati itu,----- menurut suatu kisah, terdapat rumah penduduk yang juga tidak memiliki air, tetapi punya kambing betina kurus yang tidak mungkin bisa diperas susunya.

Apa boleh buat, nabi meminta ijin pemiliknya untuk memeras susu kambing tua dan kurus itu, sekiranya bisa digunakan untuk menghilangkan  rasa haus bagi  semua yang ikut dalam rombongan perjalanan itu. Semula dalam  kisah itu, pemilik kambing menolak dengan alasan tidak mungkin kambing seperti itu keluar air susunya. Namun setelah lewat dialog, pemilik kambing itu mengijinkan. Tanpa diduga, kambing tua dan kurus dimaksud  berhasil mengeluarkan air susu. Satu demi satu para sahabat dipersilahkan oleh Nabi untuk meminumnya, termasuk pemilik kambing itu sendiri.  Setelah semua kebagian, maka giliran terakhir, nabi meminumnya.

Dalam suasana kepepet, merasa  haus  seperti itu, nabi tidak mengajak para sahabat untuk  berebut. Nabi  mengerjakan sendiri, memeras susu, dan kemudian membagikannya. Tatkala membagi,  sebagai pemimpin, nabi tidak mengambil terlebih dahulu, melainkan sebaliknya, yaitu justru yang terakhir. Umpama cara-cara seperti ini juga dilakukan oleh para pejabat dan pemimpin bangsa ini, yaitu mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri, maka kehidupan ini akan menjadi damai.  Mereka tidak perlu harus berebut, sebab  semua telah memikirkan kebutuhan orang lain.

Pada saat sekarang ini, rasanya berbalik, orang lebih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, golongannya, partainya dan mengbaikan  yang lain. Semua diajak untuk berebut dan berkompetisi, sehingga akibatnya yang lemah akan kalah. Sebaliknya, mereka yang kuat akan mendapatkan yang paling banyak dan yang berkualitas. Itulah kemudian lahir kesenjangan atau jarak sosial yang sedemikian jauh. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh sebagian, dan sementara itu sebagian lainnya tetap dalam keadaan kekurangan dan menderita.

Dua pelajaran tersebut itu saja,  manakala benar-benar bisa ditangkap dan dijalankan oleh para pemimpin bangsa ini, maka negara ini akan meraih  apa  yang dicita-citakan, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Penduduk ini tidak terlalu terkonsentrasi di satu wilayah, tetapi akan semakin menyebar, sehingga berbagai potensi  akan berhasil  dikembangkan. Selain itu,  melalui  Maulud Nabi,  para pemimpin bangsa ini  kiranya perlu metangkap sifat-sifat mulia yang disandang oleh nabi sebagai kunci keberhasilan beliau  tatkala mengubah masyarakiat Makkah dan Madinah yang jahiliyah menjadi masyarakat yang aman, damai, makmur, dan sejahtera. Wallahu a’lam  

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar