MASYARAKAT
pendukung paham sekularisme di Barat mulai khawatir akan terdesak oleh kekuatan
fundamentalisme agama yang jumlah populasinya kian berkembang dari tahun ke
tahun, baik di lingkungan Yahudi, Kristen, maupun Islam.
Pernyataan di atas dikemukakan Eric
Kaufmann dalam buku Shall the Religious Inherit the Earth? (London,
2010). Kaufmann menganalisis hubungan antara kependudukan dan politik pada
abad-21, yang menurutnya perkembangan penduduk di lingkungan komunitas
pendukung paham fundamentalisme agama jauh lebih tinggi ketimbang masyarakat
sekuler. Jika tren ini berjalan terus, sebelum 2050 kekuatan agama akan
mendominasi percaturan politik dunia.
Secara ideologis-intelektual paham
ateisme-sekularisme memperoleh bintang-bintang baru, seperti Richard Dawkin,
Christopher Hitchens, Sam Haris, dan Daniel Denett, dengan karya-karyanya yang
serius menyerang fondasi teologi agama-agama besar dunia. Buku mereka cukup
laku keras di pasaran sebagai serangan balik terhadap kebangkitan
fundamentalisme agama yang dianggap emosional dan menggerogoti pilar
sekularisme yang menjadi karakter masyarakat Barat modern.
”Kita memasuki abad ideologi yang
berakar pada keimanan, yang berseberangan dengan kebudayaan ilmiah yang
dialogis dan rasional,” kata Kauffmann. Di tengah dua arus yang menguat ini,
mereka yang berpaham moderat didorong untuk berpihak ke salah satu kubu.
”Moderate faith is being squeezed by both secularism and fundamentalism,”
tulisnya. Kebangkitan agama di panggung politik ditandai oleh kehadiran
Ayatullah Khomeini dari pengasingan ke Iran pada 1979.
Lalu pada 1981 terjadi penembakan
terhadap Anwar Sadat di Mesir oleh pengikut aliran keras. Sejak dekade 1980-an
Pantekosta berkembang pesat di Amerika Latin, Afrika, dan Asia sehingga menjadi
komunitas terbesar setelah Protestan dan Katolik di tingkat global. Di Amerika
Serikat anak-anak muda dari komunitas Yahudi Ortodoks mengkritik generasi
tuanya yang mereka anggap lembek. Mereka kini tampil lebih militan.
Etnisitas ke Keagamaan
Terdapat hubungan signifikan antara
jumlah penduduk, sentimen etnis, agama, dan peran politik dalam sebuah negara.
Semakin maju tingkat pendidikan dan ekonomi sebuah bangsa, fertilitas penduduk
cenderung menurun. Sebaliknya, pertambahan populasi masyarakat miskin dan
kurang pendidikan berkembang cepat. Pertambahan penduduk ini juga berkaitan
dengan paham keagamaan dan ideologi. Di Eropa imigran muslim yang datang dari
dunia Islam semakin tinggi populasinya, sedangkan tingkat pendidikan dan
ekonomi tergolong rendah dibanding masyarakat setempat.
Perkembangan penduduk ini sekaligus
dianggap memberi tambahan amunisi bagi perkembangan gerakan fundamentalisme
agama di benua itu. Persaingan jumlah populasi Protestan dan Katolik di
Irlandia Utara juga selalu menimbulkan ketegangan politik. Begitu pun di
Lebanon, Irak, dan Bahrain terjadi ketegangan politik dan ekonomi yang
ditimbulkan oleh imigran dan konflik antara penduduk penganut Syiah dan Sunni.
Jadi, apa yang populer dengan
sebutan ethno-religion kelihatannya semakin menguat di berbagai belahan bumi
seiring laju migrasi penduduk lintas negara yang semakin terbuka peluangnya. Di
Indonesia, faktor migrasi bangsa Arab dan China beberapa abad lalu sangat nyata
pengaruhnya terhadap perkembangan agama, ekonomi dan politik di wilayah
Nusantara ini. Belum lama ini Kong Hu Cu sudah resmi dinyatakan sebagai agama
resmi sehingga keberagamaan di Indonesia kian warna-warni.
Kenyataan di atas mengisyaratkan
satu hal, terdapat korelasi signifikan antara identitas etnis dan agama serta
dinamika politik. Kekuatan dan kelanggengan sebuah tradisi agama mengasumsikan
dukungan jumlah komunitas pendukungnya. Semakin banyak warga pendukungnya
semakin kokoh sebuah tradisi agama.Dengan demikian sesungguhnya keberagamaan
seseorang sangat dipengaruhi oleh keluarga dan tradisi tempat seseorang
dilahirkan dan tumbuh, bukan hasil sebuah pilihan bebas.
Sekadar contoh, kalau orang
menyebut warga Aceh, Manado, Bali, Sunda, misalnya, tanpa disadari pasti punya
asosiasi keberagamaan tertentu. Pluralitas etnis dan agama ini akan menjadi
problem ketika muncul tren yang berseberangan, antara pendukung paham
sekularisme-liberalisme dan fundamentalisme-skripturalisme dalam melihat
tradisi agama. Konflik ideologis semakin sulit diredam kalau negara yang
mestinya melindungi warganya tidak jelas dan tegas menegakkan hukum untuk
melindungi warganya, bahkan kalah oleh desakan massa. Indonesia sebagai negara
hukum, mestinya konstitusi dan hukum menjadi acuan dalam menyelesaikan berbagai
sengketa.(*)
0 komentar:
Posting Komentar