Tasbih



Saya mengenal tasbih sejak lama. Orang tua, terutama para kyai selalu memiliki tasbih. Alat itu  digunakan untuk menghitung jumlah dzikir yang telah diucapkan. Memang perintah berdzikir, yakni mengucapkan tasbih,  tahmid, takbir, tahlil, dan lain-lain,  agar dilakukan dalam jumlah  sebanyak-banyaknya. Sebutlah nama Tuhanmu sebanyak-banyaknya. Dzikran katsiran. Akan tetapi, biasanya orang menghitung berapa banyak ucapan dzikir yang telah diucapkan  dengan alat berupa  tasbih.

Namun, pada akhir-akhir ini,  tasbih tidak  saja dipegangi oleh para ulama, kyai, atau pemuka agama Islam, melainkan juga digunakan sebagai asesoris atau hiasan. Kita seringkali melihat anak-anak muda mengenakan kalung atau gelang dengan tasbih. Bahkan juga menaruhnya di kaca  bagian dalam mobil yang dikendarai. Tentu, tasbih yang diletakkan di tempat seperti itu bukan digunakan untuk menghitung jumlah dzikir yang telah diucapkan, melainkan lebih berfungsi sebagai hiasan kendaraan. Sekalipun demikian keberadaannya tetap penting, sebab  disengaja atau tidak,  tasbih itu juga  akan mengingatkan pada Dzat Yang Maha Kuasa.

Tidak semua ulama atau pemuka agama Islam selalu membawa tasbih, sekalipun mereka juga berdzikir setelah selesai  menunaikan sholat secara  rutin.   Bagi  mereka yang tidak membawa tasbih, menghitung jumlah ucapan  bacaan  dzikir dengan menggunakan ruas-ruas  jari-jari kedua tangannya.  Masing-masing jari memiliki tiga ruas, sehingga menghitung berapa kali  jumlah tasbih, tahmid dan takbir yang telah diucapkan  cukup dengan sepuluh jari di kedua tangannya. Cara itu dianggap lebih  mudah, dan tidak perlu membawa tasbih pada setiap kali pergi ke tempat sholat.

Dahulu, saya memahami tasbih hanya untuk kepentingan menghitung ucapan dzikir itu. Akan tetapi,  setelah saya renungkan secara mendalam, ternyata tasbih memiliki makna lebih dari sekedar sebagai alat hitung. Memegang butir tasbih dalam berdzikir selalu dimulai dari butir pertama dan kemudian butir-butir berikutnya hingga  berakhir pada butir terakhir. Sehabis butir terakhir, mengawali lagi dari  butir pertama, secara terus menerus butir-butir selanjutnya hingga kemudian kembali lagi pada butir terakhir.

Rasanya hidup ini seperti  menghitung dzikir pada tasbih itu.  Memulai dari satu butir ke butir berikutnya  hingga  mengakirinya pada butir terakhir. Dalam hidup ini, kita semua melewati butir-butir yang berbeda-beda tetapi  seharusnya bentuknya sama. Bukan bernama tasbih manakala hanya  terdiri atas  satu butir. Butir-butir itu menggambarkan suasana dalam kehidupan, yaitu mengalami kegembiraan, senang,  beruntung, susah, sakit, sedih, kecewa, prihatin, bahagia,  dan kemudian gembira lagi. Demikianlah hidup itu, persis seperti bertasbih, memulai  dari satu titik melewati  pada titik-titik  berikutnya dan akhirnya menyudahi  pada titik terakhir.  Hidup ini berawal dari Allah  dan mengakhiri untuk  menghadap Allah kembali. 

Tatkala melewati berbagai titik itu  hidup ini menjadi lengkap. Tidak pernah ada, kehidupan hanya berada pada satu titik. Misalnya, gembira terus menerus atau sebaliknya susah sepanjang masa. Ada kalanya hidup ini bahagia, dan pada saat yang lain mengalami kesusahan. Namun menurut ajaran Islam, pada suasana apapun ------dalam keadaanb gembira, sedih, kecewa, senang dan seterusnya, kita harus selalu bersyukur  pada  Dzat Yang Maha Pencipta, Yang Maha Melihara, Maha Penolong,  dan Maha Pemberi Keselamatan. Kita tidak boleh putus atau berhenti mengingat dan bersyukur pada  Allah swt,   agar sama persis dengan lingkaran tasbih itu. Semua butir-butir itu selalu dilewati dalam menjalani hidup dan itulah pertanda bahwa kehidupan ini menjadi sempurna.

Pada hari ini, kita berada pada butir atau hari terakhir tahun 2012. Besuk insya Allah akan memulai pada butir  pertama  pada tahun 2013. Hari demi hari pada tahun itu akan kita lewati. Tentu suasana batin kita dari waktu ke waktu berikutnya  akan berbeda-beda. Ada kalanya sedih, gembira, beruntung, rugi dan seterusnya. Namun apapun suasana yang kita lalui, seharusnya kita terima dengan ikhlas, sabar, selalu bersyukur dan menjaga istiqomah dalam beribadah,  sebagai upaya  mendekatkan diri pada Allah.

Dalam posisi apapun, kita harus memahami bahwa kehidupan itu memang demikian itu, tidak akan berkurang dan berlebih, persis seperti tasbih. Dan akhirnya, dengan pemaknaan   seperti itu, tasbih bukan saja merupakan alat hitung melainkan juga berfungsi untuk mengingatkan kepada siapapun tentang makna kehidupan ini, yaitu berawal dari satu titik menuju titik berikutnya hingga sampai pada titik akhir,  yaitu tatkala kembali menghadap  Allah swt. Wallahu a’lam. 

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar