Semetara orang menganggap bahwa orang desa
itu lemah. Pendidikan dan juga komunikasinya terbatas sehingga
dianggap tidak cerdas dan selalu ketinggalan. Orang desa dikonotasikan
sebagai kemunitas yang lugu, berpikir dan berbuat apa adanya, dan
karena itu dianggap tidak cerdas dan harus diberdayakan.
Anggapan itu tidak selalu salah, tetapi juga tidak
sepenuhnya benar. Memang ada orang desa yang oleh karena pendidikannya tidak
sebarapa baik, maka kehidupannya sederhana, tidak banyak memiliki cita-cita
yang tinggi. Bagi mereka itu yang penting kehidupan sehari-hari
bisa dijalani, dan tidak perlu repot-repot. Tetapi
sebaliknya, ada juga orang desa yang tidak berpikir seperti itu.
Cerdik dan selalu berpikir masa depan.
Saya mengenal seorang desa yang memiliki pikiran
cerdas dan bahkan cemerlang. Sebutan itu menurut hemat saya pantas
diberikan kepadanya, oleh karena hal itu belum tentu dimiliki oleh semua orang
kota yang berpendidikan sekalipun. Orang desa yang sehari-hari bekerja sebagai
petani tersebut kebetulan anaknya banyak. Hampir setiap dua
tahun, anaknya bertambah, hingga saat itu lebih dari 10 orang jumlahnya.
Anehnya, Ia tidak pernah mengkhawatirkan terhadap jumlah anaknya itu,
baik terkait dengan masa depan maupun juga pendidikannya kelak.
Terkait dengan rizki, menurut keyakinannya,
tidak ada yang perlu dirisaukan.Yang penting orang itu harus bekerja,
berdoa, dan bertawakkal. Tuhan akan memberikan rizki kepada seluruh
makhluknya. Kalau ada orang miskin, maka dianggap bukan merupakan
kesalahan Tuhan, tetapi oleh karena kelemahannya sendiri. Orang miskin
dianggapnya sebagai tidak mau dan mampu menggunakan peluang-peluang
yang tersedia dan segala kelebihan yang ada padanya. Rakhmat Allah selalu
dianggap tidak terbatas, dan kebutuhan manusia yang justru terbatas.
Sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan biaya
pendidikan bagi putra-putrinya yang jumlahnya banyak itu, ia menggunakan
strategi yang amat cerdas. Setiap anaknya lahir, ia menanam 10 batang kelapa.
Ia berkalkulasi, bahwa kelak setelah anaknya mulai sekolah dan pasti
membutuhkan biaya pendidikan, maka akan tercukupi dengan hasil 10 batang kelapa
itu. Kalau misalnya, setiap pohon kelapa menghasilkan 10 butir, maka akan
dihasilkan 100 butir kelapa pada setiap bulannya. Sejumlah buah kelapa itu akan
mencukupi untuk menanggulangi biaya sekolah masing-masing anaknya.
Orang desa yang saya anggap cerdas itu
juga memikirkan bahwa pada setiap enam bulan, atau setahun dua kali,
anaknya memerlukan baju baru dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka selain
disediakan 10 batang kelapa, juga ditanam buah-buahan yang selalu panen pada
setiap enam bulan sekali. Penghasilan dari phon kelapa yang ditanam untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing anak pada setiap bulannya, maka juga
dipersiapkan tanaman yang mendatanghkan hasil pada setiap enam bulan sekali.
Pikiran tersebut terasa sederhana, akan
tetapi ternyata belum tentu dimiliki oleh setiap orang, termasuk bagi
mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun. Anehnya lagi, orang desa yang
saya maksudkan itu untuk membiayai pendidikan bagi anak-anaknya tidak pernah
mengharapkan belas kasihan dan atau beasiswa dari pemerintah.
Menurut pendapatnya, hal-hal yang sudah pasti tidak boleh ditanggulangi dengan
cara-cara yang tidak pasti. Setiap anaknya lahir, maka kelak dianggap pasti
membutuhkan biaya pendidikan. Oleh karena tu, biaya harus dipersiapkan
secara pasti pula.
Ia juga berpandangan bahwa pendidikan bagi
anak-anaknya adalah penting dan harus dipenuhi oleh orang tuanya sendiri.
Hidup di masa depan tidak boleh dipandang sama dengan masa kehidupannya sendiri
di masa lalu. Anak-anak masa lalu, asalkan memiliki kebun yang luas,
tanpa berpendidikan tinggi pun tidak mengapa. Akan tetapi anak-anak masa depan,
mereka harus dipersiapkan pendidikannya. Pendidikan selalu memerlukan
biaya dan biaya itu harus dipersiapkan dari jauh sebelumnya.
Orang desa ini juga tidak sependapat jika biaya
pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Boleh-boleh saja pemerintah
atau yayasan dan bahkan perusahakaan memberikan bantuan dana untuk
pendidikan anak-anak. Akan tetapi orang tuanya sendiri harus merasa
lebih bertanggung jawab mencukupinya. Tanggung jawab orang tua
olehnya dipandang sebagai bentuk pendidikan itu sendiri. Anak-anak tidak
boleh diajari selalu menerima, menunggu belas kasihan pihak lain,
dan selalu meletakkan tangannya berada di bawah.
Sebaliknya, anak-anak harus selalu diajari agar tangannya diposisikan di atas,
yaitu sebagai pemberi atau paling tidak diajari bekerja dan bertanggung
jawab di masa depan.
Mendengarkan pikiran dan cara-cara kongkrit
orang desa tersebut, saya menjadi sangat salut. Selain itu, saya menyimpulkan
bahwa kecerdasan tidak selalu diperoleh dari bangku sekolahan. Alam dan juga
lingkungan sekitar sebenarnya bisa digunakan untuk belajar oleh
siapapun. Orang desa ini telah belajar lewat alam dan lingkungan sekitar.
Berbagai persoalan yang dihadapi dan diselesaikannya adalah merupakan media
belajar yang lebih handal. Namun sayangnya, tidak semua orang mampu
melakukannya secara maksimal. Bahkan ada saja orang yang sudah
sekolah pun, kadang kecerdasan dan kecerdikannya kalah dibanding orang
desa dimaksud.
Saya kira orang desa sebagaimana yang saya gambarkan
dalam tulisan ini jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena itu, banyak anak-anak
desa yang kebetulan dilahirkan dari keluarga cerdas itu, kemudian mendapatkan
peluang belajar ke kota, dan akhirnya beruntung mendapatkan peluang
mengalami mobilitas vertikal hingga mendapatkan posisi-posisi penting baik di
perusahaan, birokrasi, politik dan lain-lain. Kita lihat banyak sekali
anak desa yang menjadi pejabat pemerintah, politikus, pengusaha dan
lain-lain. Namun anehnya, mereka tidak selalu bisa
mengalahkan kecerdikan orang tuanya sendiri, lebih-lebih yang terkait
dengan cara melihat masa depan dan kearifan yang seharusnya disandangnya. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar