Tatkala NU dan Muhammadiyah Mulai Menyatu



Pada bulan Ramadhan ini, hampir setiap hari, saya diundang untuk mengisi ceramah, baik pada bakda tarweh, atau pada acara pengantar buka bersama. Undangan ceramah yang cukup banyak itu saya dapatkan sejak tahun ini saja, ketika sudah tidak menjabat lagi sebagai rektor. Pada tahun-tahun sebelumnya, umpama ada undangan ceramah, hanya sekali-sekali saja. Mungkin banyak orang tahu, setelah tidak memimpin perguruan tinggi, saya memiliki banyak waktu. Padahal yang saya rasakan kegiatan itu justru semakin banyak.

Dalam beberapa kesempatan memberi ceramah itu, saya mendapatkan informasi menarik. Yaitu adanya gejala, bahwa tidak sedikit orang yang tidak lagi terlalu memperhatikan latar belakang organisasi keagamaannya. Dampaknya, antara penganut NU dan Muhammadiyah menjadi bersatu. Keadaan yang sangat menggembirakan itu terjadi di beberapa masjid yang berada di daerah perumahan baru. Masyarakat di lokasi itu semuanya adalah pendatang. Tentu mereka berlatar belakang organisasi keagamaan, dan bahkan pemeluk agama yang berbeda-beda.

Di beberapa masjid yang berlokasi di perumahan baru dimaksud, saya mendapatkan informasi bahwa masyarakat penghuni perumahan itu berlatar belakang organisasi keagamaan yang berbeda-beda.
Salah seorang takmir masjid di perumahan baru mengatakan bahwa, tempat ibadah yang dibangun bersama harus menjadi milik bersama. Oleh karena itu cara menjalankan ibadah di tempat milik bersama itu juga diorientasikan untuk menyatukan jamaah yang berbeda-beda itu. Dikatakan bahwa di antara anggota jamaah masjid itu ada yang berafiliasi ke NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, dan lain-lain.

Kebersamaan itu tidak dirasakan sebagai keterpaksaan, melainkan justru sebaliknya, yaitu menjadi sesuatu yang dibanggakan.
Mereka mengatakan bahwa di masjid itu umat Islam berhasil disatukan. Persatuan dianggap sebagai sebuah prestasi. Tatkala di berbagai tempat antara NU, Muhammadiyah, dan lainnya masih sulit bersatu, maka di perumahan baru itu ternyata berhasil disatukan. Rupanya, mereka bangga sekali, telah berhasil menyatukan kelompok yang berbeda-beda. Hal-hal yang dianggap bisa memisahkan di antara mereka yang berlatar belakang organisasi yang berbeda itu diusahakan untuk didekatkan, dan masing-masing diajak saling menghormati.

Usaha-usaha itu misalnya, tatkala menjalankan shalat tarweh yang bagi NU terbiasa 23 rakaat bersama witirnya, maka di masjid itu dilaksanakan hanya 11 rakaat saja.
Selanjutnya, mereka dianjurkan untuk menambah sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Demikian pula, tatkala hari-hari tertentu, di salah satu warga perumahan itu menyelenggarakan tahlilan, maka semuanya, apapun latar belakang organisasinya, diundang dan ternyata juga selalu datang, sekalipun mereka sebenarnya tidak terbiasa tahlilan. Demikian pula, tatkala terjadi perbedaan pendapat tentang jatuhnya awal bulan Ramadhan dan Hari Raya, maka perbedaan itu tidak ditampakkan, dengan maksud agar saling menghormati dan persatuan tetap terjaga.

Saya lihat bahwa penghuni perumahan baru, kebanyakan adalah pendatang. Sebelum bertempat tinggal di lokasi itu di antara mereka tidak saling mengenal. Lagi pula, baik tingkat ekonomi dan juga pendidikan, di antara mereka relatif sama. Oleh karena itu, di antara mereka tidak ada yang merasa berstatus atau berkedudukan lebih tinggi dan sebaliknya yang lain lebih rendah. Kesamaan atau kesetaraan itulah kiranya yang menjadikan di antara mereka saling mendekat, sekalipun berbeda-beda organisasi keagamaannya. Kemauan saling mendekat itu akhirnya menjadikan perbedaan justru, secara bersama-sama dicarikan titik temu dan ternyata berhasil.

Keberhasilan menyatukan berbagai kelompok latar belakang organisasi keagamaan itu ternyata dirasakan sebagai sesuatu yang dibanggakan. Mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa, tatkala di tempat lain perbedaan itu sulit dicari titik temu, maka ditempat itu ternyata mereka berhasil melakukannya. Persatuan dirasakan oleh mereka sebagai sebuah prestasi yang tidak semua orang atau kelompok masyarakat berhasil mewujudkan. Di tempat itu, semua orang saling berusaha beradaptasi, dan keberhasilan itu oleh mereka dianggap sebagai sebuah prestasi.

Ketika mendapatkan informasi itu, saya segera mengapresiasi, bahwa persatuan memang merupakan ajaran Islam yang harus ditunaikan. Umat Islam tidak boleh saling bercerai berai. Ajaran tentang persatuan itu sangat jelas, yaitu bersumber dari al Quran maupun hadits nabi. Ketika itu, saya juga menyampaikan sepotong hadits nabi yang intinya mengatakan bahwa, sebaik-baik orang adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Maka, manakala hadits nabi itu dikembangkan akan berbunyi bahwa, sebaik-baik organisasi adalah organisasi yang paling banyak memberi manfaat terhadap organisasi lainnya. Demikian pula bisa dilanjutkan bahwa, sebaik-baik negara adalah negara yang berhasil memberi manfaat bagi negara lainnya.

Selanjutnya saya juga mengatakan bahwa boleh-boleh saja kita menjadi anggota NU, Muhammadiyah, al Wasliyah, Tarbiyah Islamiyah, dan lain-lain, tetapi semua itu dengan catatan tidak boleh saling bercerai berai.
Islam mengajarkan persatuan. Umat Islam harus bersatu secara kokoh. Kita tidak akan bisa mengajarkan tentang persatuan kepada generasi mendatang, selama kita sendiri tidak mampu mewujudkan persatuan itu. Secara pribadi, kita harus selalu berusaha bisa memberi manfaat bagi orang lain. Demikian pula, organisasi yang kita ada di dalamnya, harus memberi manfaat bagi organisasi lain. Dan demikian pula bangsa kita, agar dianggap menjadi bangsa terbaik, maka harus memberi manfaat bagi bangsa lain. Dengan begitu, tatkala NU dan Muhammadiyah bersatu, memang benar-benar tampak indah. Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar