Kebangkitan Madrasah



Di beberapa daerah pedesaan, madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan alternatif,  didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat secara mandiri. Lembaga pendidikan itu,  dalam sejarahnya,  sudah sekian lama berjalan  tanpa bantuan pemerintah. Kalau ada campur tangan, hanya sekedar berupa ijin, agar lulusannya diakui dan diikutkan ujian nasional. Pada akhir-akhir ini saja, madrasah swasta mendapat subsidi dan bantuan pembangunan gedung, sekalipun belum mencukupi dan merata. 

Oleh karena kebanyakan berstatus swasta dan hanya mengandalkan kekuatan masyarakat,  maka keadaan madrasah serba berkekurangan, baik sarana prasarana pendidikan, guru, dan kekuatan pendukung lainnya. Namun anehnya, madrasah tetap hidup. Tidak pernah ada madrasag mati, sekalipun muridnya sangat sedikit. Sebaliknya, juga tidak banyak madrasah yang maju, oleh karena keterbatasannya itu. Tahan hidup dan sukar maju seolah-olah adalah menjadi ciri khas madrasah.

Lembaga pedidikan yang berada di bawah pembinaan kementerian agama ini ada di mana-mana, terutama di masyarakat yang kehidupan keagamaannya  relatif kuat.  Masyarakat yang berpegang agama secara kokoh lebih menyuai memilihkan anaknya ke madrasah daripada sekolah umum, sekalipun keadaan lembaga pendidikan Islam itu  serba terbatas.

Umumnya madrasah, oleh karena  berstatus swasta,  para gurunya tidak digaji oleh pemerintah. Kekuatan madrasah terletak pada keikhlasan dan semangat juang para pengurus dan guru-guru yang mengajar di lembaga pendidikan itu. Keadaan madrasah yang serba terbatas seperti itu,  ternyata banyak lulusannya yang berhasil hingga menjadi sarjana. Tidak sedikit tokoh, baik di pemerintahan, politik, atau swasta,  ternyata berlatar belakang pendidikan madrasah.

Pada kesempatan bersilaturrakhiem di hari raya yang lalu, saya mendapatkan informasi yang menarik.  Ternyata ada kebangkitan madrasah. Jumlah murid  madrasah rata-rata  meningkat, sementara sekolah umum justru berkekurangan murid. Tidak sedikit madrasah menerima murid melebihi target,  hingga beberapa kelas. Sebaliknya,  sekolah umum atau sekolah dasar hanya menerima murid dalam jumlah yang amat kecil, beberapa  disebutkan  hanya antara  lima hingga sepuluh anak saja. Tidak sedikit di daerah itu,   SD  yang gurunya lebih banyak dari jumlah muridnya.

Sekalipun siswa madrasah harus membayar biaya pendidikan,  ternyata tidak menyurutkan minat masyarakat. Hal itu berbeda dengan siswa sekolah dasar, semuanya gratis. Pilihan masyarakat dalam menyekolahkan anak-anaknya bukan  atas pertimbangkan biaya yang harus dibayar, tetapi pada misi lembaga pendidikan yang bersangkutan. Mereka lebih suka membayar,  tetapi lembaga pendidikan itu memiliki visi yang sesuai dengan pandangan hidupnya. Bahkan pilihan itu juga bukan sekedar atas pertimbangan  keadaan fasilitas dan kualitas gurunya.

Saya juga mendapatkan  informasi lagi, bahwa pada umumnya di daerah  itu madrasah semakin  lebih diminati oleh masyarakat. Madrasah dianggap memiliki kelebihan, misalnya   di rumah siswanya tidak perlu diajari  shalat lima waktu lagi, -------karena sudah dibiasakan di madarasah, dan mampu membaca al Qur’an. Selain itu, oleh karena berstatus swasta,   madrasah lebih kreatif sehingga  memiliki banyak kegiatan. Hal itu berbeda dengan sekolah negeri, bahwa apa saja  hanya mendasarkan pada peraturan,  hingga menjadi kaku dan miskin kegiatan. 

Selain itu, hal yang agaknya lebih aneh lagi,  bahwa masuk madrasah harus membayar,   baik uang pangkal maupun SPP pada setiap bulan. Dengan membayar, maka mereka merasa tidak menjadi orang miskin. Ternyata aneh, bahwa sekolah gratis  bagi masyarakat tertentu tidak membanggakan, dan oleh karena itu tidak menjadi pilihan. Akibatnya, madrasah di daerah-daerah  tertentu menjadi bangkit. Wallahu a’lam.      

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar