Mengajar di tengah orang yang sedang berminat pada ilmu
pengetahuan adalah mudah dan menggembirakan. Akan tetapi sebaliknya, tugas itu
akan menjadi sangat sulit dan berat manakala mereka yang diajar tidak menyukai
ilmu dan hanya datang sekedar memenuhi persyaratan mendapatkan nilai atau
ijazah. Orang yang menyukai ilmu pengetahuan akan mengejar-ngejar guru di
manapun mereka berada. Tetapi sebaliknya,
mereka yang bersekolah atau kuliah tetapi tidak terlalu berharap mendapatkan
ilmu pengetahuan akan menjadi senang tatkala guru atau dosen yang seharusnya
mengajar tidak hadir.
Dalam suasana para siswa tidak menyenangi ilmu pengetahuan,
maka diajar seperti apapun tidak akan membawa hasil maksimal. Sekalipun buku
yang tersedia cukup lengkap, suasana belajar yang bagus, peralatan
terpenuhi, dan bahkan guru yang mengajar
cukup pintar akan tidak membawa hasil
maksimal manakala muridnya tidak bersemangat dalam mencari ilmu pengetahuan. Kunci
keberhasilan pendidikan itu lebih banyak terletak pada diri murid, sedangkan
yang lain adalah sebatas pelengkap.
Oleh karena itu tatkala menilai pendidikan hanya sebatas
melihat standar-standar yang ditentukan sebenarnya tidak mencukupi. Sebab hasil
pendidikan lebih banyak ditentukan oleh kekuatan internal pada diri siswa yang
bersangkutan. Pada kenyataannya ada saja
lembaga pendidikan yang dalam berbagai hal, keadaannya di bawah standar, tetapi
karena para siswa di sekolah itu
memiliki minat ilmu yang tinggi, maka mampu
menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Iklim belajar atau semangat
terhadap ilmu pengetahuan adalah merupakan faktor utama dalam menentukan
keberhasilan pendidikan. Siswa yang
tidak berminat pada ilmu pengetahuan
adalah bagaikan orang sakit tatkala melihat makanan. Selezat apapun makanan itu, ketika
seseorang tidak bernafsu makan,
maka makanan itu tidak akan menarik dan tidak akan dinikmati. Orang seperti ini perlu
disembuhkan terlebih dahulu, baru kemudian diberi makanan.
Di tengah melemahnya semangat mencari ilmu pengetahuan tidak
berarti bahwa tidak banyak orang
tertarik pada lembaga pendidikan. Jumlah
lembaga pendidikan cukup banyak dan ada di mana-mana. Orang juga masih memasuki
lembaga pendidikan, dan bahkan lembaga pendidikan tertentu yang diangap bermutu
diperebutkan. Akan tetapi, tidak semua mereka yang masuk sekolah atau kuliah di
perguruan tinggi benar-benar bermaksud mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan
untuk mengejar lulus dan mendapatkan ijazah.
Rasanya memang aneh melihat kenyataan seperti itu. Akan
tetapi hal itu adalah nyata. Rendahnya
minat terhadap ilmu bisa dilihat dari kenyataan misalnya, tatkala guru yang
sedianya memberi pelajaran atau kuliah tidak masuk malah direspon dengan
suasana gembira, asalkan tatkala ujian nanti dinyatakan lulus. Bagi mereka itu yang terpenting adalah
lulus. Dalih yang digunakan bahwa ilmu
bisa dicari sendiri di luar sekolah atau kampus, sedangkan yang penting bahwa kewajibannya telah dinyatakan selesai.
Rendahnya minat terhadap ilmu di lembaga pendidikan lebih
tampak lagi pada penyelenggaraan pendidikan yang kurang memperhatikan aspek mutu, yang pada umumnya diselenggarakan oleh pihak
swasta. Mereka membuka kuliah hanya
beberapa kali dalam seminggu dan bahkan juga hanya beberapa semester. Jumlah
jam belajar mengajar dihitung sedemikian rupa agar dianggap patut atau telah memenuhi syarat. Mereka memainkan
jumlah jam pelajaran yang diperlukan dalam hitungan sks. Hitungannya serba
formalitas dan semu. Sebaliknya, bukan
secara riil, yaitu seberapa jauh para
siswa atau mahasiswa menguasai bidang studi yang dipelajari.
Dalam suasana seperti itu tugas guru yang menyandang
idealisme menjadi sangat sulit. Para siswa hanya membutuhkan ijazah tidak
terlalu berminat pada ilmu pengetahuan yang seharusnya dikuasai. Para guru atau
dosen dalam melakukan tugasnya bagaikan menyuapi orang sakit. Pasien yang
dilayani tidak memiliki nafsu makan sekalipun seharusnya mem butuhkannya
agar segera sembuh. Pada akhir-akhir
ini, jumlah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan aktivitas seperti dikemukakan
itu cukup banyak. Itu pertanda bahwa
masyarakat sudah semakin prakmatis dan pragmatis, serba formalistik, termasuk
dalam menyikapi ilmu pengetahuan. Tentu keadaan seperti ini sangat membahayakan
bagi kemajuan bangsa ke depan. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar