Tugas, Mengakui ‘Aku’-nya Orang



Disadari atau tidak,  setiap orang pasti  memiliki aku atau eksistensi diri. Dalam batin seseorang, aku itu menuntut orang lain mengakuinya. Tatkala harapan itu gagal diperoleh, maka seseorang akan tersinggung, kecewa, dan bahkan marah. Seseorang tidak mau dianggap tidak ada. Keberadaannya selalu menuntut orang lain mengakuinya.

Banyak orang merasa sedih, kecewa, dan bahkan marah hanya oleh karena merasa dirinya dianggap tidak penting, tidak diorangkan, dan apalagi dianggap tidak ada. Pengakuan dari orang lain itu, oleh setiap orang, dianggap penting. Agar  pengakuan itu semakin mantap, maka orang berjuang untuk memperoleh sesuatu yang dihargai oleh banyak orang. 

Oleh karena mengetahui bahwa pengakuan itu didasarkan atas harta, jabatan, asal muasal keturunan, pakaian, kendaraan, gelar akademik yang dimiliki, prestasi seseorang, maka banyak orang mengejar semua itu. Simbol-simbol yang bernilai tinggi  yang menjadikan seseorang diakui dan dihormati, maka dengan cara apapun dicari dan diusahakan, agar keberadaan dirinya diakui dan bahkan diperhitungkan.

Orang mencari harta bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mencari gelar bukan sekedar mendapatkan ilmu yang terkait dengan gelarnya itu. Demikian pula, seseorang sedemikian rajin menunjukkan silsilah atau asal muasal keturunannya. Semua itu dilakukan  dengan maksud  agar orang lain mengakui, menghargai, dan menghormatinya. Dengan cara itu, agar eksistensi dirinya diakui.  

Pada intinya bahwa setiap orang memerlukan pengakuan, penghormatan, dan penghargaan. Kebutuhan itu ternyata  tidak  mudah  dipenuhi. Kita lihat misalnya, banyak orang  yang  berusaha  menjadi kepala desa, bupati, wali kota, gubernur,  dan bahkan presiden,  itu semua  bukan   semata-mata untuk mengabdi kepada masyarakat, melainkan ada maksud  agar dirinya dianggap penting oleh banyak orang. Padahal untuk meraih posisi itu pasti  memerlukan tenaga, dana,  dan pikiran yang tidak sedikit dan mudah.

Motivasi yang menggerakkan diri seseorang untuk menduduki posisi penting tersebut tidak akan dikemukakan secara terang dan jelas. Biasanya,  motoivasi yang sebenarnya itu justru  disembunyikan oleh yang bersangkutan. Seseorang berkeinginan menjadi pejabat selalu berdalih untuk mengabdi, mensejahterakan rakyat, memenuhi aspirasi masyarakat, dan seterusnya. Padahal motivasi yang sebenarnya bukan sekedar yang disebutkan itu, tetapi adalah agar dirinya diakui, dihargai, dan bahkan juga mendapatkan penghormatan dari banyak orang.

Pemahaman seperti digambarkan tersebut  sangat penting dimiliki oleh siapapun yang sedang menjadi pemimpin. Orang lain di sekitar pemimpin selalu memerlukan akunya diakui. Mereka itu memerlukan  keberadaannya diakui, dianggap penting, dan bahkan terhormat. Oleh karena itu, kepada siapapun, termasuk kepada para bawahan sekalipun, pemimpin harus memperlakukannya secara tepat. Para bawahan akan menghormati atasan, dan sanggup bekerja keras  manakala atasanya  juga mengakui  atau mengorangkannya.

Pengakuan terhadap diri  seseorang itu ternyata sedemikian penting. Orang akan bekerja secara sungguh-sungguh, ikhlas,  dan tulus,  manakala keberadaannya atau akunya diakui. Tatkala pengakuan terhadap diri seseorang diberikan, maka yang bersangkutan akan menjadi senang  dan bangga. Kesenangan dan kebanggaan itulah yang menyebabkan  mereka bersedia dan sanggup bekerja semaksimal mungkin. Uang sebagai imbalan atas prestasi  adalah penting.  Akan tetapi,  mengakui aku mereka justru jauh lebih penting dari segalanya. Tentu, yang lebih sempurna, para pemimpin seharusnya  memberi pengakuan dan sekaligus kesejahteraan.

Saya pernah menyaksikan sendiri kasus sederhana terkait dengan semangat yang dilahirkan dari pengakuan yang diberikan oleh pemimpin kepada anak buahnya. Pemimpin yang saya maksudkan itu sebenarnya hanyalah berskala kecil, yaitu sebagai kontraktor pembangunan gedung di kampus. Penanggung jawab proyek dimaksud  mengakui terhadap kehebatan pekerjanya dalam mengangkut batu merah dari lantai bawah ke lantai lebih atas. Pemimpin ini mengatakan bahwa, ada salah serang kulinya yang mampu mengangkut batu merah satu truk ke lantai atas hanya dalam beberapa jam saja.

Ternyata pengakuan itu benar-benar melahirkan semangat luar biasa. Tatkala truk pengakut batu merah datang, maka petugas pengangkut batu merah dimaksud  mulai kerja. Dan betul, dalam waktu beberapa jam saja, ternyata batu merah sudah berpindah dari lantai bawah ke lantai atas.  Pekerja itu rupanya berusaha menyesuaikan pengakuan yang diberikan kepadanya dengan apa yang benar-benar bisa diperbuatnya. Kiranya akan sebaliknya, manakala pekerja itu tidak diapresiasi, dihargai, dan diakui akunya, maka akan bekerja seeneknya.

Oleh karena itu, agar menjadi dinamis dan berhasil, para pemimpin bukan saja berbekal uang, otoritas, dan daya dukung lainnya belaka, tetapi juga ada kesediaan mengakui orang lain. Uang, otoritas, kewibawaan, memang penting. Akan tetapi, satu aspek lagi yang tidak boleh dilupakan adalah kemauan untuk mengakui semua orang, tidak terkecuali kepada  para bawahannya.

Tanpa kesediaan atau kemauan mengakui akunya orang, maka kepemimpinan tidak akan berjalan efektif, dan akibatnya program-program tidak akan berjalan lancar. Maka, saran yang tepat kepada  orang yang sedang menduduki posisi sebagai pemimpin adalah sederhana, yaitu gembirakan dan akuilah semua orang, maka dia akan segera mendapatkan kegembiraan dari banyak orang itu.


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar