Jiwa Nasionalisme di Pesantren



Seringkali ada orang mengira bahwa  pesantren tidak memiliki jiwa nasionalisme. Hal itu hanya disebabkan oleh karena  pesantren tidak mengajari para siswanya  ilmu biologi, kimia, fisika, bahasa Indonesia, sosiologi,  dan sejenisnya. Pesantren hanya mengajari kitab kuning dsan kegiatan ritual.

Penilaian itu sebenarnya tidak benar. Nasionalisme tidak boleh hanya diukur dari jenis pelajaran yang diberikan di lembaga pendidikan. Menilai  sebuah komunitas, apakah  memiliki jiwa nasionalisme atau tidak,  seharusnya dikur dari seberapa jauh mereka mencintai dan bersedia membela dan berkorban untuk negara dan bangsanya.

Sebaliknya, lembaga pendidikan yang mengajarkan kepada murid-muridnya Bahasa Indonesia, Pancasila,  matematika, biologi, fisika dan lain-lain tetapi para lulusannya hanya  bersemangat untuk mendapatkan sesuatu dari negaranya, dan bahkan mengambil kekayaan negara untuk kepentingan dirinya sendiri  dengan cara korupsi, maka mereka itu jelas tidak memiliki jiwa nasionalisme.

Sejumlah siswa melakukan  upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan, mengakui dasar negara Pancasila dan UUD 1945, tetapi pengakuannya itu menjadi sia-sia dan tidak memiliki makna apa-apa,  jika  setelah lulus dari lembaga pendidikan  dan mendapatkan pekerjaan, tetapi selalu saja korupsi dan melakukan penyimpangan uang negara. Lembaga pendidikan seperti itu gagal dalam membangun nasionalisme.

Nasionalisme  seseorang atau sekelompok orang harus diukur lewat ukuran-ukuran yang lengkap, baik yang bersifat dhahir maupun batin.  Tidak cukup seseorang disebut memiliki nasionalisme yang kokoh,  tetapi tatkala melihat negaranya diganggu atau   dirusak orang tidak mau ikut bertanggung jawab, membela, dan berkorban. Jiwa nasionalisme seseorang dinilai lemah tatkala seseorang tidak merasa terganggu  melihat sesama warga negara tetap miskin, menderita, terbelakang,  dan bodoh.      

Kebersamaan dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu tanah air untuk membangun negara dan bangsa yang kokoh, maju, adil,  dan sejahtera itulah  sebenarnya jiwa nasionalisme yang tinggi. Apalagi jiwa itu selalu diperkaya dengan usaha-usaha apapun bentuk dan besarnya untuk  mewujudkan cita-citanya itu. Selain itu juga ada keberanian dan kesediaan untuk berkorban untuk bangsanya.

Persantren yang seringtkali dinilai kurang memiliki jiwa nasionalisme,  sebenarnya penilaian itu  tidak benar. Pada saat terjadi gerakan menentang dan melawan  penjajah, para kyai dan santri di pesantren berada di barisan depan. Mereka dengan caranya sendiri dan peralatan yang dimiliki memprakarsai  gerakan untuk mengusir penjajah.  Sekalipun mereka tidak mempelajari matematika, biologi, fisika dan lain-lain,  tidak berarti  bahwa mereka tidak memiliki jiwa nasionalisme.

Apalagi pada akhir-akhir ini,  pesantren juga telah membuka sekolah-sekolah umum, seperti SD, SMP, SMA dan bahkan juga perguruan tinggi umum. Akan tetapi lagi-lagi, kesediaan membuka sekolah umum itu bukan sebagai indikator kecintaan terhadap negara dan bangsanya.  Pesantren membuka lembaga pendidikan itu atas dasar kebutuhan untuk memberikan layanan kepada masyarakat.

Semestinya tidak boleh melihat nasionalisme seseorang hanya sekedar dari potongan bajunya. Suatu ketika,  saya diundang menghadiri wisuda sarjana di pesantren.  Semua panitia dan juga wisudawan mengenakan baju gamis dan bahkan beberapa panitianya mengenakan surban tebal. Dalam upacara wisuda itu, ketika tiba saatnya  acara menyanyikan lagu Indonesia Raya, ternyata yang memimpin lagu itu berbaju gamis dan bersorban tebal.      

 Seumur-umur baru kali itu,  saya ikut bernyanyi  lagu kebangsaan  Indonesia Raya yang dipimpin oleh orang yang bersorban tebal dan berpakaian gamis.   Pemandangan, ketika itu, agak aneh dan lucu, oleh karena tidak terbiasa. Namun saya berpikir, pesantren itu sekalipun berpenampilan beda dari yang lain,  tetapi  ternyata mengembangkan jiwa nasionalisme yang kuat. Berbeda pakaian kiranya bukan ukuran untuk melihat jiwa kebangsaan dan nasionalisme seseorang. Pesantren pun memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.  Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar