Betapa pentingnya kegiatan yang terkait dengan membaca, sehingga ayat al Qur’an yang pertama
kali diturunkan lewat Malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca. Orang membaca dengan sungguh-sungguh, teliti,
dan penuh konsentrasi akan menjadi tahu
tentang sesuatu secara mendalam.
Al Qur’an juga menyindir dengan sebuah pertanyaan, apakah beda antara orang
tahu dan orang yang tidak tahu. Demikian pula kitab suci juga menjelaskan
ciri-ciri ulul albab, di antaranya adalah orang-orang yang selalu memikirkan
penciptaan langit dan bumi.
Orang yang selalu membaca akan mendapatkan informasi, data,
keterangan, pengertian, dan juga pemahaman tentang sesuatu yang dibacanya itu.
Orang yang selalu membaca kegiatan politik maka lama kelamaan akan mengerti
tentang politik. Orang yang selalu membaca kegiatan ekonomi, maka lama kelamaan akan mengerti dan bahkan ahli di bidang ekonomi. Orang yang pandai
membaca kekuatan lawan, musuh, atau kompetitor, maka yang bersangkutan
akan tahu apa yang seharusnya
dipersiapkan tatkala akan menghadapinya.
Sebaliknya orang yang tidak mau membaca, maka mereka tidak
akan mengetahui sesuatu. Orang yang tidak mengetahui sesuatu, maka tidak akan
mendapatkan keuntungan dari sesuatu itu. Indonesia misalnya, disebut sebagai
negara yang kaya berbagai jenis sumber alam. Berbagai jenis tambang, seperti mas, perak, gas, minyak, batu bara,
dan lain-lain, ada di Indonesia. Akan
tetapi, semua itu tidak akan ada artinya apa-apa jika kekayaan
itu tidak dibaca dan diketahui oleh penduduknya. Adanya sama dengan tidak
adanya, hanya oleh karena, kekayaan itu tidak diketahui, lantaran tidak
dibaca.
Pendududuk yang sedemikian besar tidak dianggap
menguntungkan manakala tidak dibaca kegunaannya, dan atau oleh karena dibaca dengan perspektif
yang keliru. Jumlah penduduk yang
terlalu besar dianggap sebagai beban dan
bahkan petaka. Padahal jika hal itu
dibaca secara saksama, maka
justru sebaliknya, yaitu menguntungkan. Jumlah penduduk yang besar,
tetapi mereka itu cerdas, pintar dalam melakukan riset, memiliki
profesionalitas yang tinggi, dan berakhlak mulia, maka akan menjadi kekayaan
bangsa yang tidak ternilai harganya. Pemimpin bangsa yang ketakutan dan atau
gelisah hanya karena pertumbuhan penduduknya dirasa terlalu cepat, sebenarnya
hanya oleh karena yang bersangkutan tidak mampu mendidik rakyatnya secara
tepat.
Perbedaan antara orang kaya dan miskin, manakala dikaji
secara saksama, sebenarnya diawali dari adanya perbedaan dari kemampuan mereka
dalam membaca. Orang kaya biasanya memiliki kemampuan membaca terhadap potensi
ekonomi, dan begitu pula sebaliknya. Seseorang menjadi kaya, oleh karena,
mereka memahami bagaimana memilih dan
membuka usaha yang lebih menguntungkan. Mereka mengetahui tentang bagaimana mendapatkan modal, memilih
pegawai yang produktif, menentukan lokasi usaha, mengerti bagaimana memanage
perusahaan, memasarkan hasil produksinya,
membangun jaringan usaha, dan
lain-lain. Pengetahuan itu diperoleh dari membaca secara benar dan saksama.
Sebaliknya, bagi orang yang tidak mampu membaca, maka mereka
tidak akan mengetahui seluk beluk mengembangkan ekonomi. Orang yang tidak mampu
membaca potensi ekonomi, maka mereka hanya akan sekedar menjadi pegawai atau
buruh. Bahkan lebih sial lagi, manakala yang bersangkutan tidak memiliki
ketrampilan, maka hanya akan ditempatkan pada posisi rendahan, misalnya menjadi cleaning servies,
atau bagian security. Mereka itu dianggap tidak memiliki pengetahuan dan atau
ketrampilan yang mencukupi untuk menduduki
posisi-posisi penting di tempat usaha itu. Mereka itu dianggap kurang
mampu membaca, sehingga hanya tenaga
fisiknya saja yang dihargai. Oleh karena itu, kemampuan membaca menjadi sangat
penting dan mahal harganya.
Para mahasiswa di perguruan tinggi, apapun bidangnya,
diharapkan memiliki kemampuan membaca di
sekitar bidang keilmuannya. Mereka diajari berbagai teori agar dengan berbekalkan teorinya itu, mereka
menjadi pintar membaca obyek kajiannya. Demikian pula, para mahasiswa yang
mengambil jurusan eksakta, mereka disediakan berbagai peralatan laboratorium agar digunakan untuk membaca bidang-bidang
kajiannya. Tanpa fasilitas laboratorium,
maka mahasiswa biologi, kimia, dan
fisika misalnya, tidak akan mampu
melakukan apa-apa. Teori dan laboratorium itu adalah alat yang dipergunakan
untuk membaca obyek yang ingin diketahuinya.
Belajar di perguruan tinggi pada intinya adalah belajar
membaca. Sedangkan membaca pada tingkat tinggi, luas, dan mendalam
disebut dengan riset. Lulus dari perguruan tinggi semestinya tidak
saja berhasil menghafalkan konsep,
rumus-rumus, teori-teori, melainkan seharusnya sudah memiliki kecakapan untuk
membaca. Sarjana ekonomi semestinya
mampu membaca kecenderungan,
pertumbuhan, atau potensi ekonomi
yang bisa dikembangkan. Sarjana pendidikan seharusnya sudah mampu membaca
potensi anak didik, kurikulum, bahan ajar,
cara-cara mengajar, dan bahkan juga tantangan dan kebutuhan masa depan
generasi mendatang yang akan dididiknya. Para sarjana, lulusan perguruan tinggi semestinya tidak saja mampu membaca keadaan
sekarang, melainkan juga memahami apa yang akan terjadi di masa depan. Orang
jawa mengatakan “ngerti sakduruning
winarah”.
Begitulah pentingnya kemauan dan kemampuan membaca. Orang
yang mampu membaca akan sangat berbeda dengan orang yang tidak mampu
membaca. Islam menganjurkan umatnya agar
selalu membaca, memikirkan, dan merenungkan jagad raya ini. Demikian pula
orang-orang di perguruan tinggi, memiliki tugas membaca atau bahkan riset.
Orang yang pintar dan selalu membaca tidak akan mengalami kebingungan. Oleh
karena itu, manakala terdapat lulusan perguruan tinggi yang kemudian masih
bingung, termasuk kebingungan mencari kerja,
sebenarnya hanya oleh karena yang bersangkutan belum memiliki kemampuan
untuk membaca secara benar. Atau, kemampuan risetnya masih perlu ditingkatkan
lagi. Islam menganjurkan agar umat mau
dan pandai membaca, atau dalam bahasa
kampus disebut riset. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar