Isra' Mi'raj dan Tanggung Jawab Pemimpin



Pelajaran penting lainnya dari kisah isra’ mi’raj adalah terkait tanggung jawab pemimpin. Seorang pemimpin harus bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpinnya. Di antara tugas pemimpin adalah mengajak mereka yang dipimpin untuk melakukan sesuatu yang dipandang penting dan mulia. Akan tetapi,  pemimpin  harus juga memahami kekuatan mereka yang dipimpinnya itu.  

Dalam  kisah  isra’ mi’raj,  Nabi Muhammad mendapatan tugas yaitu menegakkan shalat  hingga 50 kali dalam sehari semalam. Tugas itu tentu olehnya segera disanggupi. Apapun yang diperintah, sebagai orang  yang telah berserah diri,  sebagai buah dari haqqul yakin,  akan ditunaikan sepenuhnya sekalipun misalnya,  tugas itu amat berat. Menjalankan shalat 50 kali sehari semalam, kiranya bagi siapapun  amat berat, tetapi itupun akan dilaksanakan oleh nabi.

Dikisahkan bahwa,  dalam perjalanan kembali dari menghadap Tuhan, Nabi Muhammad ketemu dengan Nabi Musa. Dalam pertemuan itu, utusan Tuhan terakhir itu ditanya oleh Nabi Musa tentang tugas-tugas yang diberikan kepada Muhammad tatkala menghadap-Nya. Dijawab, bahwa tugas itu adalah agar menjalankan shalat 50 kali sehari semalam. Tugas itu tidak saja kepada dirinya sendiri, melainkan  juga dibebankan kepada umatnya.

Mendengar penjelasan itu, Musa memberi pertimbangan bahwa sebagai seorang  rasul dan apalagi baru saja menyaksikan sendiri ayat-ayat Allah, maka tidak ada lain kecuali menyerah apa saja yang diperintahkan kepadanya dan akan dilaksanakan. Namun Nabi Musa mengingatkan Muhammad bahwa, umatnya tidak akan mampu menjalankan perintah yang sedemikian berat itu.  Nabi Musa menyarankan agar, Muhammad segera kembali  menghadap kepada Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang, agar tugas itu dikurangi. Tanpa dikurangi, ---------menurut pandangan Nabi Musa, beban itu tidak akan mampu dilaksanakan  oleh umat Muhammad dengan baik.

Mendengar kisah itu sebagai manusia, kita membayangkan,  betapa berat usul  Nabi Musa itu, Muhammad saw., harus kembali menghadap Tuhan  untuk mendapatkan keringanan atas perintah yang belum dikerjakan. Namun oleh karena usul itu adalah untuk kepentingan umat yang dicintai, maka betapa pun beratnya usul yang mulia itu ditunaikan olehnya. Ia kembali menghadap Tuhan. Atas kasih sayangnya, dalam kisah isra’ mi’raj itu, Tuhan memenuhi permintaan itu, dan menguranginya  lima waktu, hingga kewajiban shalat yang harus dilaksanakan menjadi tersisa  empat puluh lima kali saja  sehari semalam.

Tatkala turun dari menghadap Tuhan, lagi-lagi Nabiu Muhammad bertemu Nabi Musa kembali. Ditanya lagi olehnya atas keberhasilan usahanya itu.  Dijawab oleh Nabi Muhammad, bahwa tugas itu dikurangi lima kali hingga tinggal tersisa  empat puluh lima kali. Pengurangan itu dianggap belum cukup. Nabi Muhammad masih disuruh kembali lagi menghadap Tuhan. Tentu, kiranya ia  merasa berat. Akan tetapi, demi  untuk umat, maka seberat apapun dilaksanakan. Akhirnya Nabi Muhammad kembali lagi mengahadap Tuhan, memohon pengurangan atas tugas itu, dan  berhasil  dikurangi lima kali lagi. Sehingga, sehari semalam, Nabi Muhammad dan  umatnya hanya  diwajibkan menunaikan 40 kali shalat wajib  sehari semalam.

Menurut kisahnya, pertemuan Nabi Muhammad dengan Nabi Musa hingga 9 kali, dan sebanyak itulah Nabi Musa menyarankan kepada Nabi Muhammad kembali menghadap Tuhan untuk meminta pengurangan tugas yang dibebankan kepadanya. Setiap kali ketemu, Nabi Muhammad disarankan untuk kembali meminta pengurangan, dan selalu dipenuhinya, hingga akhirnya tugas  shalat wajib itu tinggal tersisa lima kali sehari semalam sebagaimana yang dijalankan oleh umat Islam  sekarang ini.

Membayangkan pertemuan dan dialog  antara Nabi Muhammad dan Nabi Musa maka dapat ditangkap pelajaran bahwa sebagai  pemimpin keduanya selalu memikirkan kemampuan umat dalam menjalankan sesuatu kewajiban. Tugas itu adalah datang  dari Tuhan, maka apapun  seharusnya dilaksanakan. Selain itu sebagai utusan Tuhan,  semestinya ia  berpihak kepada-Nya. Namun ternyata,  Nabi Musa masih  mempertimbangkan kekuatan umat untuk melaksanakan tugas itu. Kedua pemimpin manusia tersebut memikirkan dan sedemikian tinggi kepeduliannya terhadap umat yang dipimpin. Untuk menjalankan sesuatu, kekuatan umat dijadikan pertimbangan  dan bukan atas kemauan  dirinya sendiri.

Kisah isra’ dan mi’raj tidak bisa diverifikasi hingga menjadi temuan ilmiah. Hal itu oleh karena,  peristiwa itu terjadi sekali dalam sejarah kehidupan umat manusia, dan hanya dialami oleh Nabi Muhammad saw.  Terhadap  kisah itu,  sikap yang paling tepat adalah meniru apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, seorang shahabat Nabi yang pertama.  Ia mengatakan bahwa, apa saja yang datang dari Muhammad,  maka selalu dipercayainya hingga ia diberi gelar ash-shiddiq.

Sebagai umat Muhammad yang juga mengakui kebenaran apa saja yang disampaikan olehnya, maka kisah isra’ dan mi’raj, dan di antara  rangkaiannya, berupa dialog dengan Nabi Musa tersebut, dapat ditarik pelajaran bahwa  betapa seorang pemimpin harus memperhatikan kekuatan umat dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Sebagai pemimpin, maka  siapapun, --------sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw., maka apa saja seharusnya dilakukan demi kecintaan, keselamatan, amanah, dan kebaikan bagi semua  yang dipimpinnya. Wallahu a’lam. 

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar