Seorang teman bertemu di Bandara, sama-sama dalam
perjalanan pulang dari urusan dinas di
Jakarta. Teman saya yang juga seorang pimpinan pergurua tinggi negeri
terkemuka itu, memiliki pertanyaan yang dianggapnya penting yang sudah cukup
lama akan disampaikan kepada saya,
tetapi belum mendapatkan waktu yang tepat. Oleh karena itulah, segera setelah
duduk bersama, ia menyampaikannya.
Pertanyaan yang dimaksudkan itu ternyata sederhana, yaitu
bagaimana mengatasi kejenuhan. Dia tahu bahwa saya telah memimpin perguruan tinggi, baik perguruan
tingi swasta maupun sekarang ini di perguruan tinggi negeri dalam waktu
yang cukup lama. Sepengetahuan dia,
-------dan memang begitu adanya, saya tidak pernah menampakkan rasa jenuh. Dia mengatakan bahwa setiap ketemu, saya selalu menunjukkan semangat yang tinggi.
Selain itu, teman saya tersebut juga menanyakan, bagaimana
saya bisa memimpin perguruan tinggi sedemikian lama tanpa mendapatkan protes.
Di era demokrasi seperti sekarang ini, manakala ada sesuatu yang dianggap
menyimpang dari peraturan selalu mendapatkan protes dan bahkan di demo. Dia
tahu bahwa selama ini, saya tidak pernah didemo oleh mahasiswa atas alasan
jabatan itu. Sekali-kali, saya memang
didemo, tetapi bukan terkait jabatan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya sama sekali tidak
menggunakan teori psikologi yang biasa membahas tentang itu. Saya hanya memberikan jawaban atas dasar
pengalaman yang saya rasakan selama ini.
Selama ini, saya merasakan bahwa,
dalam kehidupan ini masih terdapat jarak
yang sedemikian jauh antara idealisme Islam dengan kenyataan di lapangan
sehari-hari.
Apa yang saya baca tentang Islam sedemikian indah. Islam
mengajarkan tentang disiplin, mencintai ilmu pengetahuan, tatkala bekerja harus
dilakukan dengan cara terbaik atau beramal shaleh, demikian pula tatkala harus
memilih maka menurut tuntunan Islam harus
memilih yang terbaik atau ihsan, selalu
mendasarkan pada keyakinan yang kokoh atau beriman, mengutamakan keselamatan
bagi semua, mencintai keadilan,
tawakkal, dan selalu mendekatkan diri pada
Tuhan melalui kegiatan ritual dan memelihara akhlak mulia. Ajaran itu semua, menurut
keyakinan saya, akan membuahkan
kehidupan yang ideal.
Akan tetapi yang saya lihat selama ini, pada kenyataannya masih jauh dari
harapan itu. Umat Islam masih banyak yang miskin, pendidikannya tertinggal,
belum memperhatikan sesama hingga terjadi
kesenjangan yang amat jauh, kurang disiplin, belum mampu menjaga kebersihan, dan lain-lain. Demikian pula
institusi yang berlabelkan Islam misalnya madrasah, rumah sakit, panti asuhan,
tempat ibadah, bahkan perguruan tinggi
Islam sekalipun belum menampakkan wajah ideal sebagaimana tuntunan Islam.
Selalu membayangkan kenyataan itulah yang menjadikan saya
bersemangat untuk bekerja keras. Saya ingin menjadikan lembaga pendidikan, setidak-tidaknya
lembaga pendidikan Islam yang sedang
saya pimpin, tampak sebagaimana yang
diajaran oleh Islam. Saya ingin para
dosen dan mahasiswanya dengan sungguh-sungguh mencintai ilmu pengetahuan,
selalu mengutamakan kualitas, penampilannya menyenangkan, memiliki tanggung
jawab yang tinggi, mengedepankan kejujuran dan keadilan, memiliki integritas
yang tinggi, selalu menjaga kegiatan ritual sebagaimana Islam mengajarkannya,
------misalnya selalu shalat berjama’ah,
bekerja keras, dan lain-lain.
Memperjuangkan cita-cita
seperti itu ternyata tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat. Sebaliknya, untuk meraih cita-cita itu ternyata memerlukan
waktu yang lama. Saya katakan kepada
teman saya tersebut bahwa, cita-cita
itulah yang menjadikan saya tidak pernah merasa jenuh dalam menunaikan tugas
sehari-hari. Apa yang saya kerjakan dari waktu ke waktu memang ada hasilnya.
Akan tetapi hasil itu, menurut perasaan saya, masih jauh dari harapan yang saya
gambarkan.
Kehidupan ini, saya gambarkan sebagai sebuah perjalanan yang
jauh. Tentu perjalanan itu memiliki
tujuan yang jelas. Tujuan itulah yang saya anggap sebagai cita-cita. Bahwa
cita-cita saya adalah sampai pada tujuan
yang saya inginkan. Suasana batin
seperti itulah yang menjadikan saya tidak pernah merasa jenuh. Bahkan
tatkala memahami bahwa, tugas-tugas masih banyak sementara waktu yang
tersedia terbatas, maka terasa benar bahwa saya harus menghemat waktu dan
bekerja lebih keras lagi. Untuk meraih cita-cita besar selalu memerlukan waktu yang cukup dan harus
digunakan sebaik-baiknya.
Cita-cita seperti itu juga selalu saya sampaikan kepada sesama pimpinan, para dosen, karyawan, dan juga mahasiswa dalam berbagai kesempatan.
Rupanya, mereka memahami bahwa saya
memiliki cita-cita, atau visi
yang jelas ke depan. Cita-cita dan atau
visi ke depan itu selalu saya sampaikan dalam berbagai kesempatan, agar semua tidak pernah lupa. Saya memahami
bahwa manusia itu tempatnya salah
dan lupa, atau dalam bahasa lain adalah
mahalul khatha’ wa nisyan, maka gambaran ke depan yang ingin diraih bersama itu
selalu saya ulang-ulang pada setiap waktu. Itulah kiranya, yang menjadikan
mereka betah saya pimpin dalam waktu
lama.
Oleh karena itu, maka saya simpulkan bahwa, cita-cita itulah yang menjadikan saya selama
ini tidak pernah merasa jenuh. Saya
mengatakan bahwa perang melawan kejenuhan adalah dengan cara memperjelas cita-cita. Rupanya teman saya tersebut
menyetujui penjelasan saya itu. Kemudian saya tambahkan bahwa, umpama saya
tidak memiliki cita-cita, mungkin saya juga jenuh. Kejenuhan itu menurut hemat saya, hanya dialami oleh orang yang tidak memiliki
cita-cita. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar