Seringkali saya mendapatkan pertanyaan tentang bagaimana
menelihara semangat dan mempertahankan
istiqomah. Sebenarnya saya
sendiri tidak pernah merasa mampu
menjalankan kedua hal yang dianggap
sulit dipelihara itu. Namun mereka menganggap saya berhasil
melakukan hal itu, setidaknya
dalam menggeluti bidang pendidikan hingga puluhan tahun, dan
mempertahankan kebiasaan menulis artikel pendek pada setiap hari.
Hingga beberapa tahun tanpa berhenti.
Menjawab persoalan sederhana itu saya rasakan tidak mudah. Apalagi jawaban itu kemudian juga
diharapkan bisa berhasil menggerakkan orang lain agar bisa melakukan hal yang sama. Saya merasakan semangat dan istiqomah itu ada
kaitannya dengan cita-cita dan juga
imajinasi seseorang. Seseorang yang memiliki cita-cita yang jelas dan juga kaya
imajinasi maka akan tumbuh semangat melakukan sesuatu dan juga beristiqomah.
Pandangan saya itu
juga saya kemukakan pada ceramah
yang saya sampaikan dalam acara
wisuda tahfidz al Qur’an pada hari Ahad,
tanggal 9 Desember 2012, di pesantren yang dipimpin oleh Kyai Muhammad
Khusaini yang terletak di sebelah timur Pasar Besar Malang. Di pondok itu tidak
kurang dari 125 santri yang kegiatannya sehari-hari adalah menghafal al Qur’an.
Yang juga menarik bahwa sebagian besar para santri penghafal al Qur’an itu
adalah mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Beberapa kali saya mendapatkan keterangan, termasuk dari santri Kyai
Muhammad Khusaini, bahwa dalam kegiatan menghafal al Qur’an yang dirasa
berat adalah mempertahankan semangat dan istiqomah. Mereka mengatakan bahwa
seringkali semangat itu muncul sedemikian kuat, tetapi pada saat lain
sebaliknya, menurun drastis. Atas dasar
apa yang dirasakan itu, mereka bertanya, bagaimana menurut pengalaman
saya, memelihara semangat dan istiqomah
itu.
Dalam ceramah yang dihadiri oleh para kyai penghafal al
Qur’an, tokoh masyarakat, santri, wisudawan, dan warga di sekitar pesantren
itu, saya menjelaskan bahwa selama ini saya memiliki cita-cita agar pendidikan
Islam berkembang dengan baik. Saya menjelaskan bahwa dari tataran konsep,
pendidikan Islam sedemikian sempurna. Pendidikan Islam mengembangkan berbagai
potensi yang dimiliki oleh setiap orang
secara komprehensif, baik aspek intelektual, spiritual, kepribadian atau akhlak,
dan ketrampilan. Pendidikan Islam mengembangkan aspek jasmani maupun ruhani
secara kseluruhan.
Pandangan tentang betapa keindahan konsep pendidikan Islam
itulah yang menjadikan saya tetap bersemangat untuk berpikir dan bekerja di
bidang pendidikan Islam. Kebetulan saya
beruntung mendapatkan kesempatan memimpin lembaga pendidikan Islam dalam waktu
yang cukup lama. Kesempatan itu juga saya maknai sebagai sebuah keuntungan
yang harus saya pergunakan
sebaik-baiknya. Saya gambarkan bahwa kesempatan atau waktu itu sedemikian
mahal dan tidak akan pernah datang
berulang kali.
Untuk memperjelas pandangan
itu, saya contohkan bahwa pada
hari Ahad, tanggal 9 Desember 2012 adalah hanya sekali datang dalam usia jagad
raya ini. Sejak dahulu dan bahkan hingga sampai kapanpun tidak akan datang
lagi hari, tanggal, dan tahun itu. Hari,
tanggal dan tahun itu hanya datang sekali. Oleh karena itu manakala waktu itu
tidak kita gunakan, maka tidak memberi arti apa-apa bagi siapapun. Imajinasi
tentang konsep pendidikan Islam yang
sedemikian indah dan waktu atau kesempatan yang sedemikian mahal itulah
yang menumbuhkan semangat dan
istiqomah itu.
Selain itu, saya merasakan
bahwa semangat dan istiqomah itu
tumbuh dari kebiasaan saya sejak
kecil. Sebagai anak desa, saya dididik
secara keras oleh orang tua. Sehari-hari selain
harus sekolah, ----------baik sekolah dasar di pagi hari dan sekolah
diniyah pada malam hari, saya diajari bertanggung jawab untuk membantu
tugas-tugas keluarga. Di sela-sela tidak
bersekolah, saya harus ikut bertanggung jawab
memenuhi kebutuhan makanan ternak, mencari kayu bakar, air bersih, dan lain-lain.. Memang tugas itu saya rasakan
amat berat. Tetapi ternyata, pengalaman
itu saya rasakan sangat besar maknanya dalam membangun kebiasaan bertanggung
jawab.
Berbekalkan
pengalaman itu, ketika saya sudah
dewasa dan mendapatkan amanah
mengerjakan sesuatu maka bukan lagi
terasa sebagai beban berat, melainkan sudah menjadi kebiasaan.
Pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab yang saya hadapi terasa sudah menjadi sesuatu yang harus saya
kerjakan. Bagi saya berpikir,
bekerja, dan bertanggung jawab adalah
merupakan bagian hidup yang tidak pantas saya hindari. Hidup adalah bekerja dan
bekerja adalah bagian dari hidup itu sendiri.
Perasaan dan bahkan juga pikiran seperti itulah kira-kira yang menjadi
kekuatan untuk memelihara semangat dan istiqomah itu. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar