Tatkala masih usia anak-anak, di
kampung, oleh guru mengaji, saya diberi informasi bahwa para ulama
dulu, seperti Imam al Ghazali, Imam syafi’i, dan lain-lain, sejak
umur 7 tahun sudah hafal al Qur’an 30 juz. Informasi itu saya rasakan
sebagai sesuatu yang aneh. Bagaimana umur sebanyak itu, anak-anak sudah hafal
al Qur’an. Saya rasakan hal itu seperti sesuatu yang ajaib dan tidak
masuk akal.
Guru mengaji menambahkan,
------mungkin dengan maksud mendidik, bahwa sejak kecil Imam al
Ghazali dan juga Imam Syafi’i, sedemikian mudah
berhasil menghafal al Qur’an, oleh karena mereka selalu berbakti
kepada orang tua, tidak pernah memakan makanan yang haram, bahkan yang
subhat sekalipun, dan selalu berbuat baik kepada siapapun.
Ayat-ayat al Qur’an yang suci akan lebih mudah dihafal oleh orang yang selalu
menjaga pikiran, hati, dan seluruh anggota badannya.
Nasehat seperti itu rasanya menjadi
tidak mudah terlupakan. Anak-anak, oleh guru mengaji,
diberi penjelasan tentang sesuatu yang ideal dan bagaimana cara
meraihnya. Nama Imam al Ghazali, Imam Syafi’i dan ulama-ulama besar
lainnya menjadi idola, sekalipun terasa, bahwa tidak mungkin prestasi itu
bisa ditiru oleh sembarang orang. Apalagi, di kampung kelahiran saya ketika itu
tdak pernah ditemukan ada orang yang hafal al Qur’an hingga 30 juz, termasuk guru
mengaji itu sendiri. Oleh karena itu, prestasi itu hanya sebatas ada di
angan-angan, dan bahkan menjadi sesuatu yang mustahil bisa diraih
oleh anak-anak desa, termasuk seperti saya.
Baru setelah tua dan
berkesempatan datang berkunjung ke negara-negara di mana banyak anak-anak sejak
usia dini menghafal al Qur’an, yaitu seperti Iran, Iraq,
Yaman, Sudan, Saudi Arabia dan lain-lain, maka ternyata prestasi yang diraih
oleh Imam al Ghazali dan juga Imam Syafi’i dan lain-lain, bukan
sesuatu yang mustahil. Tradisi menghafal al Qur’an sejak usia dini memang
banyak dilakukan di negara-negara tersebut. Bahkan ketika beberapa tahun
lalu, saya ke Iran, di kota Teheran, menurut informasi yang saya
dapatkan, terdapat tidak kurang dari 300 tempat pendidikan penghafal al
Qur’an.
Beberapa tempat di
antaranya itu, saya kunjungi. Dan memang betul, anak-anak berusia 7
hingga 9 tahun, sudah sedemikian lancar menghafal al Qur’an hingga
30 juz. Oleh pengasuhnya, saya pernah diminta untuk mengetes hafalan itu.
Pengasuh lembaga pendidikan tersebut juga menunjukkan
caranya. Saya diminta membuka al Qur’an halaman berapa saja, dan saya
disuruh meminta anak-anak penghafal al Qur’an itu membunyikan ayat-ayat
di halaman yang saya buka itu, tanpa mereka melihatnya. Ternyata
anak-anak yang masih berusia antara 7 hingga 9 tahun tersebut dengan tepat
mampu memenuhi permintaan saya. Terbayang oleh saya, bahwa apa yang diraih oleh
Imam Syafi’i dan Imam al Ghazali ternyata terulang di zaman modern ini.
Kekaguman dan sekaligus kebanggaaan
saya terulang kembali, namun tidak di Iran, Iraq, Yaman, Sudan, Saudi
Arabia, tetapi justru di Pondok Pesantren Sudimoro, Malang selatan.
Ternyata di Pondok Pesantren yang diasuh oleh KH Maftuh yang terletak di
desa, sekitar 40 km arah selatan kota Malang juga menjadi tempat mendidik
anak-anak menghafal al Qur’an. Sama dengan di negara-negara yang saya sebutkan
di muka, Pesantren Sudimoro, Malang Selatan ternyata
juga mampu mendidik anak-anak yang baru berumur di bawah 10 tahun
sudah hafal al Qur’an hingga 30 juz. Prestasi ini luar biasa dan
semestinya menjadi kebanggaan bagi bangsa ini.
Sebelumnya, saya menyangka bahwa
anak-anak yang hafal al Qur’an akan mengalami kesulitan tatkala
mempelajari ilmu-ilmu alam, sosial dan humaniora. Akan tetapi pada kenyataannya
justru sebaliknya. Banyak anak-anak yang hafal al Qur’an justru memiliki
kelebihan, yaitu bahwa tidak sedikit di antara mereka,
yang prestasinya lebih unggul dibanding mereka yang tidak hafal
kitab suci itu. Oleh karena itu, sebenarnya pendidikan karakter, yang
akhir-akhir ini dipandang penting, maka bisa ditempuh dengan cara
membiasakan anak-anak agar dekat dengan al Qur’an, dan bahkan
menghafalkannya. Apalagi terbukti, bahwa anak-anak penghafal al Qur’an ternyata
tidak sedikit yang lebih unggul dari lainnya yang tidak menghafal kitab
suci itu. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar