SAYA
berharap kolom ini bisa menjadi tips bagi guru atau praktisi pendidikan, tapi
sesungguhnya juga bagi kita semua, bahwa komunikasi akan efektif kalau
dilakukan dengan sepenuh hati.
Artinya, hatinya penuh dengan
ketulusan dan kesungguhan. Pekerjaan apa pun yang tidak menyertakan hati akan
terasa hambar. Hati ini di sini memiliki konotasi positif, hati yang bening
sesuai dengan kodratnya. Bagi seorang guru, ketika datang ke sekolah setidaknya
mesti memiliki tiga bekal primer. Pertama, mesti siap dengan materi yang akan
diajarkan. Tanpa kesiapan dan penguasaan materi, apa yang hendak disampaikan
kepada siswa? Ini juga berlaku bagi seorang dosen.
Terlebih ketika menghadapi siswa
atau mahasiswa yang kritis, guru atau dosen yang miskin penguasaan materi pasti
akan ketahuan dan menurunkan wibawanya di depan kelas. Guru atau dosen yang
baik tak kalah rajin belajarnya ketimbang siswa atau mahasiswanya. Hanya saja
cara belajarnya berbeda. Namun, prinsipnya, guru atau dosen yang berhenti
belajar berarti dia juga harus berhenti mengajar.
Hubungan guru-murid jauh berbeda
dari hubungan antara montir dan kendaraan rusak yang hendak diperbaiki.
Sehebat-hebat dan semahal-mahal harga mobil mutakhir, tak akan mampu
mengalahkan kepintaran montirnya sekali pun gajinya rendah karena mobil adalah
benda mati, tidak tumbuh dan tidak berkembang. Namun, yang dihadapi seorang
guru adalah anak-anak dengan potensi besar dan bakat berbeda-beda.
Anak-anak datang dengan mimpi,
cita-cita besar, dan membawa harapan orang tuanya untuk membangun masa depan
yang lebih baik. Oleh karena itu seorang guru, termasuk orang tua, mesti
menjadi pendengar dan pemerhati yang baik bagi anak-anak. Mesti selalu menambah
wawasan tentang perkembangan psikologi anak dan berbagai temuan metode yang
baru dan cocok untuk diterapkan pada anak-anak. Bekal kedua bagi seorang guru
ketika masuk kelas adalah keterampilan menerapkan metode pembelajaran yang
tepat, efektif, menyenangkan.
Saya sendiri punya pengalaman,
pernah memperoleh seorang dosen yang ilmunya dalam dan luas dalam mata kuliah
yang dipegang, tetapi mengajarnya kurang efektif. Tidak menarik dan tidak
efisien. Miskin dalam aspek metodenya. Jadi guru yang baik bukan saja yang
menguasai materi ajar, tapi tak kalah penting adalah metode pengajarannya tepat
sehingga anak-anak akan senang menerimanya.
Dalam sebuah penelitian psikologi
pembelajaran disebutkan, jika suasana belajar menyenangkan, daya serap anak
akan meningkat, bahkan berlipat. Coba saja perhatikan, belajar bahasa sambil
menyanyi hasilnya akan lebih baik ketimbang model hafalan yang menjemukan. Ini
berlaku terutama bagi anak-anak. Anak-anak biasanya lebih cepat pintar diajar
guru privat profesional ketimbang diajar orang tua sendiri yang mudah
marah-marah, tidak sabaran.
Dalam suasana bosan dan tegang,
otak akan menciut, daya serapnya sedikit. Berdasarkan prinsip di atas, maka
terkenal konsep Joyful Learning. Sebuah pembelajaran yang menyenangkan, tetapi
bukan berarti santai, tidak serius. Yang ditekankan adalah metodenya
menyenangkan agar materi yang telah disiapkan terserap secara optimal. Sejalan
dengan konsep ini, ruang kelas pun hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga
terasa indah dan nyaman.
Ruang kelas yang semrawut dan warna
cat temboknya kusam akan memengaruhi pikiran dan hati siswa juga ikut semrawut.
Bekal ketiga, di samping penguasaan materi dan metode, adalah kesiapan mental
berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas
mesti dengan hati. Dengan energi dan vibrasi cinta kepada anak-anak. Mengajar
tanpa hati akan terasa hambar. Anak-anak pun tidak akan mendengarkan dengan
hati.
Kita semua pasti punya pengalaman,
guru-guru yang mengajar dengan hati pasti kesannya akan lebih mendalam sekali pun
telah berlalu puluhan tahun. Oleh karena itu, pandai-pandailah mengatur dan
menjaga hati. Ketika dari rumah atau di jalanan muncul rasa kesal, misalnya,
maka ketika kaki menginjak halaman sekolah mesti mampu menata hati agar rasa
kesal itu tidak terbawa masuk ruangan kelas. Mengajar dengan hati kesal
pengaruhnya akan dirasakan langsung oleh anak-anak.
Akan dirasakan oleh teman-teman
sejawat. Pengaruhnya akan terlihat pada air mukanya, pada tutur katanya, dan
pada perilakunya yang ujungnya proses dan suasana pembelajaran tidak efektif.
Oleh karena itu, penting sekali seorang guru memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
dan psikologi komunikasi. Bahwa dalam komunikasi yang berlangsung tidak sekadar
tukar-menukar kata dan ide, tetapi faktor emosi juga akan sangat
memengaruhi.(*)
0 komentar:
Posting Komentar