Selama ini kyai dikenal sebagai pengasuh pondok
pesantren dan sehari-hari mengajarkan kitab kuning kepada para santrinya.
Mereka itu seringkali dianggap hanya memikirkan kehidupan akherat dan tidak
peduli pada kehidupan dunia. Memang ada sementara kyai yang demikian. Tetapi
ada pula kyai yang berjiwa entrepeneurship dan bahkan langkah-langkahnmya tidak
kalah dibanding sarjana ekonomi sekalipun.
Saya mengenal beberapa kyai yang memiliki jiwa
entrepreneur seperti itu. Selain mengasuh pesantren, mereka juga mengembangkan
usaha-usaha di bidang ekonomi. Ada salah seorang kyai yang saya kenal, selama
ini telah berhasil mengembangkan usaha perkebunan sawit hingga
puluhan ribu hektar. Selain itu, ia juga memiliki usaha-usaha lainnya
seperti proyek pembangunan perumahan, pertokoan dan lain-lain.
Melihat kehidupan para kyai tersebut, menjadi
tampak bahwa menjalani kehidupan akan bahkan menyelesaikan problem-problem
kehidupan ini terlihat dirasakan ringan. Selain menjadi tempat belajar dan
bertanya tentang keagamaan, kyai juga bisa menjelaskan tentang berbagai
alternatif jenis usaha yang bisa dipilih untuk mengatasi keterbatasan
lapangan pekerjaan. Sekalipun tidak mendapatkan bantuan anggaran dari
pemerintah, tidak sedikit kyai yang saya kenal membebaskan biaya hidup para
santri yang belajar di pesantrennya, khususnya mereka yang berasal dari
keluarga miskin dan yatim.
Suatu ketika di kampus, saya kedatangan seorang kyai
yang memiliki jiwa entrepereneurship dimaksud. Dalam perbincangan itu,
kyai menanyakan tentang pemberian beasiswa kepada para mahasiswa. Saya
memberikan penjelasan, bahwa ada di antara mereka yang
mendapatkan beasiswa, sekalipun tidak terlalu besar, hingga cukup
untuk biaya hidup setiap bulannya. Atas jawaban saya itu, kyai menyambung
pertanyaannya, apakah uang yang diberikan sebagai biaya hidup itu diserahkan
langsung kepada yang bersangkutan. Saya jawab, ya dan tidak
dipotong sedikitpun.
Mendengar jawaban saya itu, kyai mulai menyalahkan
saya. Kyai menegur saya, bahwa kebijakan itu adalah salah, atau
setidaknya kurang tepat. Para mahasiswa mestinya tidak boleh menerima
sesuatu tanpa prestasi kerja, atau mengeluarkan keringat. Dengan cara
itu, kata kyai, akan mengajari mahasiswa dimaksud bermalas-malas.
Mereka tidak perlu bekerja tetapi mendapatkan uang. Mahasiswa kata
kyai, tidak boleh diajari mendapatkan tanpa sesuatu prestasi kerja.
Kebijakan seperti itu, menurut kyai dimaksud, akan membunuh bibit-bibit
jiwa entrepreneurship yang seharusnya justru ditumbuh-kembangkan.
Kyai kemudian menyampaikan ide cerdasnya. Mestinya,
kata kyai, pihak kampus membimbing agar uang beasiswa yang diterima oleh
para mahasiswa tersebut dikumpulkan kembali untuk selanjutnya dijadikan modal
usaha. Di kota, kata kyai, banyak sekali peluang usaha dengan modal
terbatas. Umpama saja uang beasiswa itu dikumpulkan di antara beberapa
mahasiswa, kelompok demi kelompok, yang selanjutnya digunakan untuk
membuka usaha, maka mahasiswa akan berlatih berwirausaha. Awalnya usaha itu
berskala kecil tetapi lama kelamaan akan menjadi besar. Menurut pendapat kyai,
bahwa yang terpenting dengan cara itu agar mahasiswa memiliki jiwa dan
pengalaman berwirausaha.
Kyai dimaksud juga menjelaskan bahwa, sekalipun santri
di pesantrennya ratusan jumlahnya, tetapi tidak ada yang dipungut biaya. Mereka
dipekerjakan di berbagai usaha yang dimilikinya. Waktu bekerja juga tidaki
perlu lama, misalnya selesai shalat subuh hingga jam tujuh pagi. Setelah itu,
para santri dipersilahkan untuk belajar sebagaimana santri pada umumnya. Jam
kerja lainnya bagi santri, pada sore hari tatkala
mereka tidak mendapatkan pelajaran. Pesantren seperti ini, kata
kyai, benar-benar mengajari hidup. Di pesantren, mereka mendapatan ilmu
sekaligus ketrampilan hidup. Keluar dari pesantren, mereka tidak akan mengalami
kesulitan mencari kerja, karena memang, sehari-hari sudah terbiasa
bekerja.
Dari cerita pendek ini, saya ingin menunjukkan
bahwa, ternyata pengasuh pesantren telah memiliki wawasan pendidikan yang
sedemikian tepat untuk menjawab persoalan kehidupan selama ini. Selain itu
juga ingin menunjukkan bahwa, banyak kyai yang memiliki pengetahuan
dan pengalaman entrepreneur yang handal. Mereka memiliki usaha-usaha ekonomi
yang tidak kalah dari para dosen di perguruan tinggi. Kalau selama ini,
ada sementara orang kampus yang ingin memberdayakan pesantren, tetapi
juga sebaliknya, ada kyai yang berkeinginan memberdayakan perguruan
tinggi. Keadaan itu terasa terbalik, tetapi itu nyata. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar