Gaji Para Hakim



Beberapa hari terakhir ini ramai dibicarakan tentang gaji para hakim. Abdi negara yang bertugas menjaga pintu keadilan ini merasakan bahwa imbalan yang diterima pada setiap bulan kurang mencukupi. Gaji mereka tergolong lebih rendah bila dibandingkan dengan sesama pegawai negeri di kementerian lain. Jika di instansi lain, tentu belum semuanya, telah dilakukan remunerasi, sehingga mereka menjadi lebih sejahtera, maka kabarnya belum demikian di kehakiman. Akibatnya imbalan yang diterima oleh mereka belum sebanding dengan beratnya tugas yang sehari-hari harus ditunaikan.

Keadaan seperti itu mendorong mereka untuk menyuarakan aspirasinya. Mereka menginginkan  agar kesejahteraannya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tentu apa yang disuarakan itu mendapatkan respon yang beraneka ragam. Dari perspektif rakyat pada umumnya, hal itu dipandang sebagai keganjilan.  Sebab, sebenarnya masih banyak orang di negeri ini yang kesejahteraannya di bawah para hakim. Akan tetapi dari perspektif lain, misalnya dibadingkan dengan pegawai negeri pada kementerian lain yang sudah diberlakukan remunerasi, gaji para hakim masih tergolong rendah.

Oleh karena itu, sebetulnya unjuk rasa yang dilakukan oleh para hakim bukan semata-mata jumlah gaji mereka rendah, melainkan disebabkan oleh perlakukan secara berbeda dengan mereka yang sama-sama berstatus sebagai pegawai negeri. Umpama para hakim mengetahui bahwa semua abdi negara atau PNS bergaji sama, dan perbedaan itu hanya didasarkan pada golongan atau pangkat yang dimiliki, maka mereka tidak akan melakukan protes. Sebab semua pegawai negeri, termasuk para pejabatnya, diberlakukan secara sama. 

Beberapa tahun terakhir pemerintah memberlakukan kebijakan dengan apa yang disebut remunerasi. Kebijakan itu diberlakukan tidak merata terhadap semua kementerian. Beberapa kementerian telah memberlakukan terlebih dahulu, dan sebaliknya, kementerian lainnya masih harus menunggu. Kebijakan yang diberlakukan secara bertahap itu dimaksudkan sebagai bagian dari eksperimentasi. Manakala hasilnya benar-benar meningkatkan kinerja, maka kebijakan itu secara bertahap akan diberlakukan terhadap kementerian lainnya.

Eksperimentasi kadang dipercaya harus dilaksanakan sebelum kebijakan itu diberlakukan secara menyeluruh. Tetapi sebenarnya terkait dengan besarnya tunjangan, eksperimentasi itu juga berdampak negatif. Eksperimentasi tidak hanya akan dipandang sebagai proses  manajemen yang harus dijalankan, tetapi juga akan dilihat dari sudut pandang lainnya, ialah  terkait rasa keadilan. Lebih dari itu sebenarnya, hal-hal yang terkait kehidupan sosial, tanpa eksperimentasi pun sebenarnya sudah bisa ditarik kesimpulan. Bahwa siapa pun yang ditingkatkan pendapatannya akan merasa senang, dan dengan kesenangan itu kinerjanya akan meningkat. Remunerasi yang dilakukan secara bertahap akan dilihat dari sudut pandang lain, yaitu melahirkan rasa ketidakadilan itu.

Beberapa tahun terakhir, berita tentang kenaikan gaji para pegawai negeri sudah sedemikian kencang. Di lingkungan guru dan dosen, misalnya, sekalipun belum diberlakukan remunerasi, tetapi melalui program sertifikasi guru dan dosen, maka kesejahteraan mereka sudah berhasil ditingkatkan. Dampaknya, hingga kini sudah tidak muncul lagi suara yang terkait dengan kesejahteraan, sekalipun sebenarnya pendapatan mereka masih kalah besar dibanding gaji anggota parlemen atau pegawai BUMN. Kebijakan seperti itu kabarnya belum dilaksanakan di lingkungan kehakiman. Mereka sehari-hari baru mendengar tentang kenaikan gaji di kementerian lain, sementara di lingkungan kerjanya belum mendapatkan kejelasan.

Memang dalam kehidupan ini sesuatu yang tidak boleh diabaikan adalah menyangkut keadilan. Siapa pun akan merasa kecewa dan atau sakit hati, manakala diperlakukan secara tidak adil. Kekecewaan atau rasa sakit hati selalu berlangsung lama, dan hanya akan sembuh ketika penyebabnya dihilangkan. Hal itu tidak sebagaimana sakit pada anggota fisik, yang kadang tidak lama dirasakan dan juga tidak terlalu sulit disebuhkan. Para hakim setiap hari bertugas menjaga terwujudnya keadilan, maka wajar saja mereka merasa kecewa ketika tidak diperlakukan secara adil.      

Bangsa ini memiliki filsafat yang sedemikian indah, yaitu Pancasila. Pada sila ke lima dari falsafah itu, rumusannya sedemikian indah, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia. Mestinya keindahan itu harus terimplementasi pada kehidupan sehari-hari. Harus dijaga jangan sampai cita-cita mulia itu terganggu oleh kebijakan yang hanya berdalih untuk sebuah eksperimentasi, yang sebenarnya tidak harus dilakukan.

Atas dasar itu, mestinya remunerasi atau apa saja namanya harus diberlakukan secara serentak dan sama. Membeda-bedakan hal itu, selain tidak sejalan dengan Pancasila, juga akan melahirkan rasa kecewa dan sakit hati. Maka, dilihat dari perspektif ini, aspirasi para hakim agar segera ada perbaikan gaji atau tunjangan, kiranya mudah dipahami. Hal itu bukan semata-mata menyangkut tuntutan terhadap besarnya pendapatan, bahkan yang lebih penting lagi adalah agar sesama abdi negara diberlakukan secara sama dan adil. Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar