Sejak sepuluh tahun terakhir, ramai dibicarakan tentang
integrasi ilmu dan agama. Dari pembicaraan itu, dilahirkan satu di antaranya
adalah perubahan kelembagaan pendidikan tinggi Islam dari IAIN atau STAIN
menjadi bentuk universitas, yaitu Universitas Islam Negeri di beberapa kota.
Tentu perjuangan itu bukan pekerjaan mudah. Namun karena dilakukan secara total
dan sungguh-sungguh maka akhirnya berhasil juga.
Sementara ini ada enam perguruan tinggi agama Islam
negeri yang telah berubah menjadi bentuk universitas, yaitu UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya, UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, UIN Syarif Qasim Riau, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, dan UIN Alauddin
Makasar. Semua UIN tersebut mengemban amanah yang sama, yaitu mengintegrasikan
ilmu umum dan ilmu agama. Namun, diakui atau tidak, bentuk implementasi itu
berbeda-beda dan dianggap sebagai hal yang wajar.
Diharapkan bahwa ke depan melalui universitas Islam
negeri tersebut tidak terjadi lagi cara pandang ilmu secara dikotomik,
yaitu adanya ilmu umum dan ilmu agama. Melalui bentuk lembaga pendidikan Islam
ini dicita-citakan agar Islam dilihat secara utuh, luas, dan komprehensif. Islam
tidak hanya dilihat dari aspek ritualnya, melainkan tatkala berbicara Islam,
selain tentang ritual, juga berbicara tentang ilmu pengetahuan, manusia
unggul, keadilan, dan dalam setiap menjalankan kegiatan harus dilakukan
secara profesional atau disebut dengan amal shaleh.
Konsep integrasi ilmu dan agama itu sebenarnya telah
dipahami dan bahkan diminati oleh sebagian besar perguruan tinggi agama Islam
negeri di Indonesia. Ketika bertemu dengan Rektor IAIN atau ketua
STAIN, saya selalu mendapatkan pertanyaan, bagaimana mengubah kelembagaan
dimaksud menjadi universitas. Bahkan, sekalipun kelembagaannya belum
berubah, sebagian di antaranya telah mencoba membuka program studi
baru yang selama ini disebut sebagai program studi umum,
sekalipun berisiko. Contoh nyata, ketua STAIN Bukit Tinggi
hanya oleh karena membuka program studi umum, ia ditahan hingga beberapa
bulan, dan bahkan sampai sekarang perkara itu belum
dihentikan.
Mendengar cerita tentang ketua STAIN Bukit Tinggi ini
memang benar-benar memprihatinkan. Seorang pimpinan perguruan tinggi
Islam harus masuk penjara hanya karena kreatif, memenuhi panggilan
idealismenya, dan bahkan karena melayani aspirasi masyarakat lingkungannya.
Sungguh sesuatu yang ironis. Bangsa yang ingin maju ternyata masih
harus mengikuti belenggu berupa aturan normatif yang tidak masuk di akal
sehat. Lebih aneh lagi, belenggu itu ada di perguruan tinggi, yang seharusnya
dibuang karena tidak cocok dengan watak dan karakter perguruan tinggi.
Mengimplementasikan konsep integrasi, dan bahkan oleh
Prof M Amin Abdullah harus ditambah lagi dengan sebutan
interkoneksi antara ilmu agama dan umum adalah tidak mudah. Sekadar menyamakan persepsi hingga kemudian melahirkan
gerakan untuk mewujudkan konsep itu ternyata harus melewati
waktu yang lama. Bahkan, gerakan itu suatu ketika maju, tetapi pada
saat lain harus mundur. Hal itu juga tampak dari perilaku sementara pejabat kementerian
agama. Pada suatu saat mereka berbicara bahwa ilmu itu jangan dilihat
secara dikotomik. Akan tetapi pada saat yang lain, dirinya sendiri, sadar atau tidak, justru mendikotomikan keilmuan itu.
Pejabat dimaksud ternyata tetap memahami bahwa yang disebut ilmu keislaman
hanyalah ilmu syariah, ushuluddin, dakwah, adab, dan ilmu tarbiyah. Padahal al-Qur’an sendiri jika dikaji secara saksama tidak
memisahkan keilmuan seperti itu.
Al-Qur’an secara jelas memerintahkan
manusia merenungkan dan memikirkan ciptaan Allah baik yang ada di langit dan di
bumi. Perintah merenungkan, memikirkan, dan tentu saja mempelajari ciptaan Allah ini mestinya harus
ditunaikan dan atau diimplementasikan. Saya berpendapat bahwa dengan membaca
basmalah lalu mengkaji fisika, kimia, biologi, sejarah, psikologi,
sosiologi, filsafat, bahasa, sastra, seni, dan lain-lain adalah wujud
dari upaya mempelajari ciptaan Allah itu. Bahkan kegiatan itu mestinya
dilakukan hingga tidak terbatas, yaitu sampai pada alam kesadaran, bahkan
keyakinan terhadap keagungan dan kemuliaan Allah Swt.
Namun sekali lagi, mengimplentsikan konsep itu
ternyata bukan jenis pekerjaan yang mudah. Beberapa bulan terakhir, saya
mendapatkankan keluhan bahwa di beberapa tempat semangat untuk
mengimplementasikan konsep tersebut sudah mulai meredup, hanya gara-gara
pimpinan kampusnya berganti. Mereka mengeluh bahwa wacana integrasi ilmu dan
agama di kampusnya sudah kurang terdengar lagi. Kenyataan itu
meresahkannya, sebab perubahan IAIN dan STAIN menjadi bentuk universitas
atau UIN adalah untuk mengakomodasi pandangan banyak pihak bahwa
Islam seharusnya dilihat secara integrasif, luas, dan komprehensif.
Maka, wacana integrasi dan interkoneksi antara ilmu dan agama tersebut
tidak boleh redup sedikit pun, agar perubahan IAIN
dan STAIN menjadi UIN tetap senantiasa mendapatkan dukungan dari semua
pihak. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar