Ternyata Tuhan Bisa Dinegosiasi



Setiap kali mengingat kisah peristiwa isra’ dan mi’raj, saya selalu  membayangkan bahwa ternyata Tuhan bisa dinegosiasi.  Setelah Nabi Muhammad kembali  dari menghadap Tuhan di Sidratul Muntaha, ketemu Nabi Musa. Dalam pertemuan itu  Nabi Muhammad   memberitahukan bahwa, ia  telah diperintah untuk menjalankan shalat  pada setiap hari semalam  sebanyak 50 kali.

Mendengar isi perintah itu,   maka Nabi Musa mengusulkan kepada Nabi Muhammad agar meminta  pengurangan. Jumlah 50 kali shalat sehari semalam itu bagi umat terlalu berat. Maka usul Nabi Musa  tersebut dipenuhi. Nabi Muhammad kembali menghadap Tuhan. Sekembalinya, ia ketemu lagi dengan Nabi Musa, dan  menceritakannya, bahwa tugas itu telah dikurangi menjadi 45 kali saja.

Nabi Musa masih  mengusulkan agar jumlah itu dikurangi lagi.  Tugas itu bagi umat masih terlalu  berat. Nabi Muhammad mengikuti saran itu  hingga  berkali-kali, dan akhirnya kewajiban shalat tinggal tersisa lima waktu bagi kaum muslimin  dalam sehari semalam, seperti yang dilaksanakan sekarang ini.

Kisah tentang dialog  antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad  tersebut  selalu diuraikan oleh para penceramah tatkala memperingati peristiwa isro’ dan mi’raj di mana-mana.  Setiap mendengarkan kisah itu, saya mendapatkan pengertian,  bahwa ternyata Tuhan pun bisa dinegosiasi. Tuhan tidak otoriter. Atas sifat-sifat-Nya yang mulia, Tuhan  masih memungkinkan untuk diajak berdialog dan ternyata berkenan mendengarkan suara hati hamba-Nya. 

Lewat kisah dalam dialog itu, saya juga mendapatkan pengertian bahwa demi ummat, atau asalkan bukan untuk kepentingan diri sendiri,  Nabi  berkenan  untuk berkali-kali menghadap dan memohon keringanan atas tugas yang diberikan kepadanya. Selain itu, saya juga mendapatkan pengertian bahwa  para  nabi tidak saja memperhatikan umatnya sendiri, tetapi ternyata  juga terhadap  umat nabi lainnya.  

Menghadap Tuhan berkali-kali untuk meminta sesuatu yang serupa dan bahkan sama,  secara manusiawi adalah berat. Akan tetapi, sekali lagi  demi kepentingan ummat, atau orang lain,  maka  tugas berat  itu dilaksanakan. Saya membayangkan bahwa umpama  hal itu hanya untuk kepentingan diri sendiri, maka oleh nabi  tidak akan dilakukan.

Melalui kisah tersebut,  nabi sebagai pendidik , ternyata  sedemikian peduli kepada para umatnya dan umat para nabi lainnya. Umat tidak diperebutkan, tetapi justru dipikirkan secara bersama-sama. Nabi Musa pun juga memikirkan terhadap umat Nabi Muhammad. Nabi Musa  khawatir  akan  beban  umat Nabi Muhammad terlalu berat, sehingga mengakibatkan  tidak bisa ditunaikan dengan baik.  

Umpama suasana seperti  itu  bisa dilakukan oleh para pemimpin pada saat ini, yaitu selalu memperjuangkan rakyatnya,------dari golongan apa saja,  dan bersedia melakukan tugas seberat  apapun demi untuk orang lain yang dipimpinnnya, maka itulah sebenarnya pemimpin yang diharapkan sekarang ini  dan ditunggu-tunggu  oleh rakyat. Dan sebaliknya, bukan  pemimpin yang  selalu terlibat konflik sendiri-sendiri. Wallahu a’lam.    


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar