Umpama apa yang dilakukan
oleh Nabi Ibrahim menyembelih putranya juga dilakukan oleh seseorang pada zaman sekarang
ini, maka yang bersangkutan akan segera ditangkap polisi, diinterogasi,
diadili dan akan segera dimasukkan ke
penjara. Bagaimana tidak demikian, anaknya sendiri disembelih. Peristiwa itu
tentu sangat aneh dan sulit dipahami oleh
akal siapapun.
Namun oleh karena peritiwa itu terjadi pada zaman hidupnya
Nabi Ibrahim, sehingga mungkin belum ada
polisi, pemerintahan, lembaga perlindungan anak, HAM , dan seterusnya, maka
peritiwa itu tidak mendapatkan sanksi sebagaimana kalau misalnya terjadi pada
saat sekarang ini. Secara detail memang
tidak diketahui, bagaimana respon masyarakat lingkungannya tatkala terjadi peristiwa itu.
Kisah Nabi Ibrahim itu
diperoleh lewat ayat suci al Qur’an, maka kebenarannya adalah pasti. Kisah itu
betul-betul terjadi. Hanya kiranya, siapapun tidak bisa membayangkan, bagaimana
sebagai seorang tua harus menyembelih putra satu-satunya. Tentu, peristiwa itu sangat mengerikan, berada di
luar batas-batas kemanusiaan, dan tidak
akan mungkin dilakukan oleh orang tua, kecuali dalam keadaan yang sangat
marah. Orang tua yang benar-benar marah saja,
yang dimungkinkan sampai hati membunuh anaknya.
Namun dalam kisah itu tidak ada gambaran bahwa Nabi Ibrahim
sedang dalam keadaan marah. Konsentrasi Ibrahim hanya pada Tuhan.
Sehari-hari ia selalu merenungkan tentang siapa yang menjadi pencipta dirinya dan juga alam semesta. Kehidupan Nabi
Ibrahim menggambarkan tentang seseorang yang selalu gelisah. Kegelisahan itu
bukan karena kemiskinan, kalah bersaing dalam perebutan kekuasaan atau politik, dan lain-lain, tetapi tentang eksistensi dirinya terkait
dengan penciptanya.
Bagi Nabi
Ibrahim, posisi Tuhan selalu
diletakkan sebagai sentral kehidupannya. Tidak ada yang lebih
diutamakan, dihargai, dan dicitai selain-Nya. Bahkan dalam kisahnya, andaikan
ia suatu saat memiliki keturunan,
akan diserahkan kepada-Nya. Perintah menyembelih putranya yang diterima
lewat mimpi, itupun juga merupakan ujian atas pernyataan akan memberikan semua
yang dimiliki untuk tuhannya itu.
Oleh karena kisah penyembelihan Isma’il adalah peristiwa
kenabian, maka justru memberikan pelajaran yang amat mulia bagi manusia
setelahnya. Umpama peritiwa itu bukan
berada pada wilayah kerasulan, maka
Ismail akan benar-benar mati disembelih oleh ayahnya sendiri. Isma’il tidak
mati oleh karena oleh Allah swt., segera
diganti dengan domba, sehingga anak Ibrahim satu-satunya itu selamat.
Peristiwa yang ketika
dipahami dalam perspektif manusia
pada umumnya tidak masuk akal dan aneh
itu, sebetulnya memberikan pesan kemanusiaan yang luar biasa indahnya. Pesan
itu, di antaranya pertama, bahwa dalam hidup ini seharusnya hanyalah
untuk Allah semata. Manusia sebagai
makhluk hendaknya memberikan konsentrasi penuh terhadap Tuhan. Agara manusia
itu selamat baik di dunia maupun di akherat, apapun yang dilakukan sehari-hari,
supaya hanya untuk memenuhi perintah
Allah swt.
Kedua, masih terkait dengan pesan yang pertama,bahwa apapun
yang paling dicintai sekalipun, harus ikhlas dikorbankan manakala hal itu
dimaksudkan untuk kepentingan yang lebih mulia. Sedangkan kemuliaan itu pada
hakekatnya adalah apa saja yang menjadikan sebab datangnya ridha Allah swt. Kemuliaan itu dalam Islam meliputi tauhid, keharusan berbuat baik kepada kedua
orang tua, menyantuni orang miskin, anak yatim dan orang terlantar, membela
kebenaran dan keadilan, menggali ilmu pengetahuan, dan seterusnya. Hal lain yang bertentangan
dengan itu semua dianggap rendah dan bahkan hina.
Ketiga, konsep korban
selain dipandang sebagai upaya
mendekatkan diri pada Tuhan, sebenarnya adalah juga bentuk kegiatan mendekatkan diri dengan
sesama manusia. Lewat daging kurban itu mereka yang berkorban akan menjadi
dekat dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan atau menerima daging korban.
Berangkat dari
konsep tersebut, maka Islam
sebenarnya adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
yang amat tinggi. Manusia yang secara naluriah selalu dipisahkan oleh harta yang dimiliki, maka
jarak itu didekatkan kembali lewat
konsep korban ini. Dengan berkorban itu,
maka pihak-pihak yang sebelumnya berpisah atau berjarak, maka dipertemukan kembali, hingga akhirnya di antara mereka terjadi saling
berbagi kasih sayang.
Konsep tauhid, ajaran tentang keharusan menyambung dan
mendekatkan jarak sosial, dan kasih sayang antar sesama manusia diajarkan lewat
kisah Nabi Ibrahim itu. Harta kekayaan, dalam hal ini adalah ternak, supaya dikorbankan untuk kepentingan yang
lebih mulia yaitu, berbagi dan menolong
sesama. Tentu pengorbanan itu bukan sekedar ternak berupa kambing, sapi atau
lainnya, dan bahkan hingga yang paling
dicintai sekalipun, manakala hal itu
adalah untuk meraih nilai-nilai yang
lebih mulia. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar