Akhir-akhir ini orang semakin menyadari betapa pentingnya pendidikan
karakter atau juga dalam Islam disebut
dengan istilah pendidikan akhlak mulia. Tidak ada yang bersilang pendapat soal
itu. Semuanya menganggap penting. Bahkan
yang selalu muncul adalah sama-sama saling memperkuat pernyataan itu.
Mereka mengatakan
bahwa, kecerdasan intelektual
tanpa diikuti oleh karakter atau akhlak yang mulia maka tidak akan ada gunanya.
Dengan demikian sebenarnya, karakter atau akhlak adalah sesuatu yang sangat mendasar.
Masyarakat yang tidak berkarakter atau berakhlak mulia maka
disebut sebagai tidak beradab dan
tidak memiliki harga atau nilai sama sekali. Oleh karena itu, maka aspek
tersebut dipandang sangat penting.
Karakter atau akhlak mulia itu harus dibangun. Sedangkan
membangun akhlak mulia adalah melalui pendidikan, baik pendidikan di rumah, di
sekolah, maupun di masyarakat. Pendidikan akhlak mulia di rumah atau di
masyarakat berjalan lewat kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kualitasnya
tidak bisa diukur dan dikontrol, semuanya tergantung pada keluarga dan
masyarakat yang bersangkutan.
Pendidikan yang relatif bisa dikontrol dan dirancang adalah
lewat sekolah. Hanya persoalannya adalah bagaimana merancang pendidikan
karakter dan akhlak mulia yang dilakukan melalui sekolah itu. Biasanya cara
berpikir para ahli pendidikan adalah
lewat kurikulum. Sedangkan tatkala berbicara kurikulum, maka yang terpikir
adalah tentang materi atau bahan ajar,
cara mengajarkan, peralatan yang digunakan, dan juga bagaimana mengevaluasinya.
Dengan gambaran seperti itu, maka pendidikan akhlak mulia
akan berwujud seperti mata pelajaran lain pada umumnya. Para siswa diberi bahan
pelajaran oleh guru, disuruh memperhatikan, mendengarkan, dan
bahkan juga menghafalkan. Cara seperti
ini sebenarnya sudah banyak dikiritik orang, oleh karena hanya mengedepankan
aspek kognitif belaka dan dianggap tidak berhasil. Sedangkan aspek lainnya, seperti aspek afektif dan psikomotorik kurang
mendapatkan perhatian. Pendidikan akhlak mulia akhirnya hanya menjadi bersifat
teoritik yang tidak banyak menghasilkan
perilaku yang diharapkan.
Terkait dengan pendidikan akhlak mulia ini, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah
dikritik oleh santrinya sendiri. Bahwa pelajaran surat al Maun yang
diulang-ulang justru membosankan. Atas dasar kritik itu, KH Ahmad Dahlan berani
mengubah strategi pendidikannya, yaitu dengan cara mengajak para
santrinya, dengan membawa barang-barang
yang berharga, mendatangi fakir miskin
dan memberikan barang-barang yang dibawanya itu. Pelajaran seperti itu justru memberi kesan
dan mampu membangun watak, karakter atau
akhlak mulia para santrinya.
Oleh karena itu pendidikan karakter, watak, atau akhlak mulia, bukan sekedar dilakukan dengan mendasarkan pada kurikulum dan atau bahan ajar yang
diterangkan kepada para siswa di muka kelas,
melainkan seharusnya justru dibangun
lewat kegiatan nyata sehari-hari. Membangun kebiasaan atau budaya yang membanggambarkan adanya akhlak
mulia adalah justru lebih penting dari sekedar dilakukan dengan cara
menerangkan mata pelajaran tentang hal itu
di depan para siswa.
Kebiasaan atau budaya yang seharusnya dikembangkan di
lembaga pendidikan itu misalnya berupa kegiatan shalat berjama’ah secara
istiqomah di sekolah, saling menghargai dan menghormati di antara sesama guru,
antara guru dengan murid, dan juga dengan pimpinan. Suasana kasih sayang di
antara warga lembaga pendidikan benar-benar berusaha untuk diwujudkan. Secara lebih kongkrit lagi
misalnya, setiap ketemu di antara mereka selalu mengucapkan salam dan
diciptakan suasana hangat. Pertemuan
dengan siapa saja,----di antara warga lembaga pendidikan itu, menggambarkan suasana saling menghargai dan
mencintai. Kebutuhan orang lain lebih diutamakan dari kepentingan dirinya sendiri.
Contoh lainnya lagi, tatkala ada teman yang mendapatkan
keberuntungan maka yang lain selalu ikut merasakan kebahagiaan, dengan
memberikan apreasiasi. Begitu pula
sebaliknya, tatkala di antara sesama warga
sekolah atau kampus mendapatkan musibah atau kesedihan, maka semua saja
berusaha ikut menunjukkan empati. Perasaan bersama, saling menghormati, dan
mencintai selalu ditunjukkan oleh semuanya tanpa terkecuali. Itulah gambaran
sederhana tentang kebiasaan atau budaya berakhlak mulia yang bisa dikembangkan
di lembaga pendidikan secara nyata.
Oleh karena itu,
kegiatan yang justru membuahkan
jarak hubungan antar sesama, bahkan
merusak kekeluargaan mestinya dikurangi
dan bahkan dihilangkan. Biasanya hal yang merusak itu terkait dengan jabatan dan
juga pendapatan. Rupanya memang, dua hal
itulah yang paling nyata menjadi sebab banyak orang kehilangan karakter atau
akhlak mulia. Namun sayangnya, hal itu masih selalu dilakukan tanpa memperhatikan akibat
buruknya. Padahal implementasi
pendidikan akhlak mulia dengan keadaan seperti itu akan terganggu, atau bahkan tidak berjalan. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar